“Anda dapat memenjarakan kaum revolusioner, tetapi Anda tidak dapat memenjarakan revolusi. Anda dapat mengasingkan seorang pejuang pembebasan seperti Eldridge Cleaver ke luar negeri, tetapi Anda tidak dapat mengasingkan pembebasan ke luar negeri. Anda dapat membunuh seorang pejuang kemerdekaan seperti Bobby Hutton, tetapi Anda tidak dapat membunuh semangat kemerdekaan. Dan jika pun Anda bisa, Anda akan menemukan jawaban yang tidak menjawab, penjelasan yang tidak menjelaskan, Anda akan mendapatkan kesimpulan yang tidak menyimpulkan.”
– Fred Hampton, pemimpin Partai Black Panther yang dibunuh oleh polisi.
ditulis oleh Louise O’Shea
Usaha untuk menjelaskan dan memahami berbagai bentuk penindasan yang ada dalam masyarakat hari ini tanpa merujuk pada sifat dasar sistem kapitalisme merupakan jalan yang tepat menuju jawaban yang tidak menjawab dan penjelasan yang tidak menjelaskan.
Prasangka individu, kurangnya pendidikan atau kebijakan publik yang keliru tidak bisa secara memadai menjelaskan fenomena sosial yang kompleks. Pun juga tidak dengan argumen yang memutar bahwa struktur kekuasaan ada untuk melanggengkan penindasan dan prasangka untuk kepentingannya sendiri, tanpa adanya hubungan yang diperlukan satu sama lain atau dengan struktur sosial lainnya. Demikian juga, argumen bahwa penindasan tidak lebih dari pengalihan untuk melindungi hak-hak istimewa kelompok sosial yang besar dan sangat terpisah seperti laki-laki, kulit putih atau heteroseksual, hal itu secara analitis tidak masuk akal dan kurang memiliki kredibilitas historis, betapapun hal itu berpengaruh atas pengalaman subjektif individu.
Penjelasan tersebut tidak bisa menunjukkan jalan menuju pembebasan, dan yang demikian itu hanya akan memperkuat status quo.
Sebaliknya, kaum Marxis berpendapat bahwa semua bentuk penindasan berakar pada struktur ekonomi masyarakat kapitalis, dan struktur kekuasaan dan kontrol yang menyertai serta memperkuatnya. Pendekatan ini sering dicemooh karena “mengurangi” arti penindasan sebatas hubungan-hubungan kelas atau meremehkan kepentingannya. Tetapi jauh dari menyederhanakan masalah, pendekatan Marxis sebenarnya sangat mengakui kompleksitasnya, yaitu dengan mempertimbangkan sifat penindasan yang mengakar dan interaksi kompleks dari ekonomi, kondisi sosial, dan ideologi yang mengabadikannya.
Dorongan kompetitif untuk mengakumulasi kekayaan melalui eksploitasi tenaga kerja manusia adalah titik awal untuk memahami kapitalisme dan penindasan.
Eksploitasi
Manusia adalah sumber daya terpenting di planet ini bagi kelas kapitalis. Mereka lebih penting dibandingkan seluruh gabungan dari minyak, batu bara, persenjataan militer, emas, dan baja.
Tanpa manusia yang bekerja, tidak akan ada yang diproduksi. Bahkan robot tercanggih pun harus dirancang, diproduksi, diperbaiki, diberi daya, dan mungkin dihidupkan oleh seseorang yang bekerja di suatu tempat. Demikian pula halnya dengan minyak, gas, dan emas, yang hanya berharga jika ada manusia yang mengambilnya dari dalam tanah, dan yang membangun jaringan transportasi, mesin, dan berbagai infrastruktur pendukung lainnya.
Jadi kekayaan besar yang terakumulasi oleh kapitalis, perusahaan multinasional, dan pemerintah bergantung sepenuhnya dari keberadaan produsen yang patuh dan bersedia bekerja untuk menghasilkan kekayaan bagi orang lain, sementara hanya menerima sebagian kecil untuk diri mereka dalam bentuk upah. Dengan kata lain, semua itu tergantung pada eksploitasi atas mayoritas oleh minoritas.
Tetapi karena buruh bukan hanya sebongkah batu bara atau seikat kawat tembaga, mereka tentu tidak menerima posisi subordinasinya begitu saja. Karena itu, kondisi sosial yang menormalkan dan memperkuat ketimpangan ini harus dijatuhkan. Buruh sedemikian rupa “ditindas” sebagaimana yang tersirat dalam kata penindasan.
Hal ini bermula dari tempat kerja, di mana para buruh tunduk pada tirani majikan atau manajer yang perhatian utamanya adalah produktivitas dan lain sebagainya – bahkan mereka yang mengaku peduli dengan keseimbangan pekerjaan-kehidupan. Buruh tidak menikmati hak demokratis di tempat kerja, baik untuk memilih manajer mereka atau untuk memutuskan jam kerja atau kondisi pekerjaan mereka. Sebaliknya, jam kerja dan upah sangat diatur dan diawasi, melalui hukum, pengadilan, dan departemen sumber daya manusia. Kurangnya kontrol ini mendasari munculnya perasaan bahwa kehidupan buruh benar-benar menjadi milik mereka, dan mereka menjadi dirinya sendiri, hanya di luar jam kerjanya.
Tetapi penindasan tidak berakhir di luar jam kerja. Kondisi sosial yang dialami buruh – dari kesehatan, perumahan, dan pendidikan hingga budaya dan rekreasi – juga berperan dalam memperkuat ketidaksetaraan kelas ini. Mereka cenderung kekurangan dana dan inferior dari mereka yang kaya dan memiliki hak istimewa. Sekolah mengajarkan kepatuhan dan rasa hormat terhadap otoritas, sementara persaingan sudah tertanam dan dilembagakan melalui sistem penilaian yang kompetitif dan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan dan perumahan. Komunitas kelas buruh menjadi sasaran pelecehan oleh polisi dan lembaga pemerintah lainnya.
Di atas realitas sosial ini dibangun sebuah ideologi – yang dipromosikan oleh media massa, politisi, dan otoritas – untuk melegitimasinya: bahwa tiap kemajuan sosial mencerminkan prestasi dan kerja keras, bahwa mereka yang kaya atau sukses dengan sendirinya lebih unggul daripada kita semua dan bahwa ketidakmampuan para buruh untuk memenuhi harapan masyarakat pasti merupakan akibat dari kegagalan pribadi, bukan diskriminasi struktural.
Ini menciptakan kondisi di mana stereotip tentang inferioritas alami para buruh dapat diterima dan dipertahankan, seperti massa terbelakang, massa pemalas yang bila tanpa majikan, tidak akan memiliki insentif atau keinginan untuk bekerja, atau siapapun yang bila tanpa polisi yang melecehkan mereka, akan selalu berada dalam pesta kejahatan yang tidak ada akhirnya.
Memisahkan dan Mengendalikan
Hubungan ekonomi antara para majikan dan buruh menciptakan ketegangan sosial yang mengakibatkan berbagai bentuk penindasan.
Kepentingan majikan — untuk membayar buruh sekecil mungkin untuk memaksimalkan keuntungan mereka dan mengalahkan para pesaing mereka — dan buruh — yang menginginkan proporsi lebih besar dari kekayaan yang mereka telah hasilkan dan kondisi-kondisi yang lebih baik lainnya — adalah hal yang berlawanan.
Kaum kapitalis berkepentingan untuk mengikis upah buruh. Mereka melakukan ini melalui berbagai mekanisme hukum dan industri, tetapi juga yang tak kalah penting dengan menciptakan kubu dan perpecahan di dalam kelas buruh. Hal ini membantu menurunkan upah dan melemahkan kekuatan kolektif yang dapat digunakan oleh buruh untuk memperbaiki kondisi mereka. Inilah inti dari penindasan.
Baik itu migran yang baru tiba, perempuan, pelajar internasional, atau buruh muda, bagian dari kelas buruh yang berbeda atau bahkan rentan mengalami diskriminasi, upah rendah, pekerjaan yang tidak diinginkan, dan terkadang dikucilkan dari angkatan kerja sebagai cara untuk menciptakan perpecahan, dan memaksimalkan keuntungan para majikan.
Pelajar internasional yang dipekerjakan dengan upah serendah $7 per jam di toko Seven-Eleven hanyalah contoh terbaru dari majikan yang memanfaatkan perpecahan rasis semacam itu. Demikian pula, praktik majikan yang membawa buruh dengan visa khusus untuk melemahkan organisasi serikat buruh dan memotong upah mereka dengan membuat buruh lokal melawan buruh asing dan melemahkan kelas buruh secara keseluruhan. Secara historis, perempuan juga telah dimanfaatkan dan dieksploitasi dengan cara ini.
Selama massa buruh memusatkan ketidakpuasan mereka pada sektor buruh tertentu, mereka yang sebenarnya bertanggungjawab atas pengangguran, kondisi kerja yang buruk, atau layanan yang tidak memadai — yaitu para majikan — dapat luput dari pengawasan. Inilah fungsi penting penindasan.
Sistem yang kompleks
Kapitalisme lebih dari sekumpulan tempat kerja dan neraca. Ia adalah sistem sosial yang kompleks di mana akumulasi kekayaan adalah hak prerogatif yang menopang tidak hanya pengalaman kehidupan kerja tetapi juga kondisi yang menjadi karakteristik setiap aspek masyarakat, termasuk akses ke berbagai layanan, kesenangan budaya, dan bahkan kehidupan pribadi kita.
Hal ini terbukti di mana-mana. Komunitas Aborigin terpencil yang tidak menghasilkan kekayaan atau berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi diperlakukan sebagai beban — dirampas dari layanan dan infrastruktur dan terus-menerus berada di bawah ancaman penggusuran paksa. Hak untuk mempertahankan budaya tradisional sama sekali tidak dinilai dalam masyarakat yang mana tanah hanya dilihat murni sebagai komoditas, digunakan untuk pertambangan, pertanian atau pariwisata, dan lain-lain.
Kelompok sosial yang tidak berkontribusi pada akumulasi modal, seperti orang tua, penyandang disabilitas, buruh yang terluka, atau komunitas tradisional Aborigin, diabaikan atau dipaksa bergantung pada layanan minimum atau sumbangan. Kesejahteraan rakyat adalah fokus sekunder bagi kapitalisme, dan penindasan merupakan konsekuensi yang memang diperlukan.
Dan mereka yang melanggar atau menolak untuk menghormati institusi kapitalisme akan menjadi sasaran penindasan yang sangat kejam.
Para pengungsi, misalnya, secara brutal disiksa akibat “kejahatan” karena gagal menghormati batas negara yang di dalamnya terdapat pemerintah dan kelas kapitalis terorganisasi. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa masalah perbatasan itu lebih penting dari sekadar orang, dan penolakan untuk mematuhi aturan tersebut mengundang dan membenarkan hukuman yang paling keras.
Hal ini pada akhirnya melegitimasi represi negara terhadap berbagai kelompok tertindas lainnya yang menolak tunduk pada perintah penguasa, termasuk buruh dan kelompok imigran non-pengungsi. Dan hal itu mendorong sikap rasis terhadap orang-orang dari luar negeri, dengan membanggakan nasionalisme dan mendorong pandangan bahwa orang-orang yang rentan dari negara lain merupakan ancaman.
Sikap demikian mendorong para buruh untuk membenci mereka yang paling tidak berdaya daripada meraka yang paling kuat, dan hal itu memperkuat kaum otoriter dari kelas kapitalis untuk memaksakan kehendaknya pada masyarakat dan memperkuat dominasi politiknya.
Imperialisme, Rasisme, dan Perang
Sifat kompetitif dari sistem ini, di mana selain membuat perusahaan yang tidak dapat berkembang dan memperluas usaha mereka pada tingkat yang memadai akan dipaksa keluar dari persaingan bisnis, juga mengarah pada bentuk penindasan lainnya.
Persaingan ini sering mengarah pada konflik militer dan perang, karena adanya kepentingan kapitalis untuk bersaing menguasai pasar, jalur perdagangan dan sumber daya alam baik di dalam maupun di luar perbatasan negara mereka.
Hal ini tidak dapat dilakukan tanpa penindasan terhadap orang-orang yang menghalangi; entah itu orang yang tidak cukup beruntung yang tinggal di negara yang menjadi sasaran perang, orang-orang yang tinggal di daerah dengan sumber daya alam yang menguntungkan atau orang-orang yang dipaksa untuk menerima upah rendah karena kondisi sosial mereka yang membuat mereka putus asa serta batas wilayah yang menghalangi mereka untuk pergi.
Saat ini, umat Muslim menanggung beban penindasan ini, karena negara-negara mayoritas Muslim telah diserang dan dihancurkan sebagai bagian dari “perang melawan teror”. Motivasi Barat adalah untuk menguasai wilayah yang memiliki kepentingan geostrategis untuk pasokan dan perdagangan energi, dan untuk memastikan blok-blok imperialis yang bersaing tetap terikat pada kepentingan AS sebagai pasokan energi mereka. Untuk mendapatkan dukungan untuk rencana tersebut, secara domestik pemerintah-pemerintah Barat mengandalkan histeria tentang terorisme, dan memfitnah dan menjelekkan umat Muslim.
Dan mereka telah menggunakan kampanye ini sebagai alibi untuk menjalankan sejumlah tindakan otoriter dan represif yang dapat digunakan untuk mengintimidasi dan mengontrol seluruh penduduk, baik Muslim maupun non-Muslim.
Perang dan pendudukan kolonial sebelumnya membawa serta tindakan dan ideologi rasis yang serupa, dari yang terjadi pada orang Jerman dalam Perang Dunia I hingga invasi kulit putih di Australia pada tahun 1788. Sebelum “perang melawan teror”, umat Muslim adalah kelompok sosial yang relatif rendah hati, dengan Orang Asia yang menanggung beban pahit dalam arus utama rasisme. Kemudahan yang digunakan media, para politisi, dan ideolog yang dapat mengubah fokus masyarakat mencerminkan tidak hanya ambisi imperialis dari kekuatan Barat, tetapi juga sifat sentimen rasis yang dangkal, dan sehingga hal-hal yang menjadi potensi kuat untuk menjadi penyebabnya harus diselesaikan.
Gender dan seks
Kontrol sosial kuat yang menjadi karakteristik kapitalisme meluas ke area kehidupan yang paling personal.
Eksploitasi tidak akan berhasil secara efektif jika buruh bebas bergerak, hidup tanpa beban keuangan, dan menjalankan kehidupan pribadi sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Sebaliknya, majikan memiliki kepentingan pada buruh yang tetap dapat diandalkan dalam pekerjaan upahan selama beberapa dekade, yang dapat dibuat menerima kehidupan kerja dan otoritas para manajer, dan menyediakan generasi baru untuk menggantikannya ketika mereka pensiun.
Keluarga inti adalah institusi sosial yang paling menjamin hal ini. Itulah mengapa nilai-nilai keluarga, dan peran gender serta adat istiadat seksual yang menyertainya, menjadi bagian yang meresap dan bertahan lama dari sistem kapitalisme modern.
Keluarga adalah institusi yang kontradiktif. Di satu sisi, keluarga memberikan makna dan pemenuhan kebutuhan personal dalam masyarakat yang sangat sedikit menawarkan hal itu. Tapi keluarga juga menjadi sumber kesengsaraan dan penindasan bagi banyak orang, khususnya perempuan dan orang-orang LGBTI.
Memang, peran gender, ketidaksetaraan, dan harapan yang sesuai dengan struktur keluarga dan posisi perempuan yang tidak setara dalam angkatan kerja yang memperkuat mereka, adalah dasar penindasan perempuan dalam masyarakat kapitalis. Hal ini mengakibatkan situasi di mana perempuan memikul tanggung jawab utama dalam pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga serta menghadapi kerugian ekonomi yang parah di tempat kerja dan sepanjang hidupnya. Bahkan, di Australia saat ini, 40 tahun setelah tercapainya kesetaraan formal, selama seumur hidupnya perempuan masih mendapatkan penghasilan sekitar setengah dari apa yang diperoleh rekan pria mereka.
Penindasan terhadap kelompok LGBTI juga berakar pada keluarga, yang menormalisasi stigma terhadap praktik seksual dan ekspresi gender yang berada di luar “norma” heteroseksual yang disetujui secara resmi. Pemisahan berdasarkan gender dan penerimaan atas heteroseksualitas terstruktur ke dalam hampir setiap aspek kehidupan kita, mulai dari mainan anak-anak hingga tonggak kehidupan yang diharapkan kita capai. Kurangnya kontrol orang-orang terhadap urusan mereka yang paling intim sekalipun mendorong lemahnya kontrol terhadap hal yang lebih luas dan sifat otoriter dari sistem.
Dan meskipun kapitalisme modern secara bertahap beradaptasi dengan bentuk-bentuk keluarga non-tradisional, hal ini masih dalam batasan yang ketat. Penerimaan tersebut meluas ke bentuk rumah tangga yang menjalankan fungsi sosial dan ekonomi dasar yang sama dengan keluarga inti – yaitu, yang memastikan para buruh sehat dan memiliki insentif untuk mempertahankan pekerjaan dan kembali bekerja setiap hari, dan generasi baru yang dibesarkan untuk menerima status quo.
Kebebasan seksual yang nyata oleh karenanya tetap bertentangan dengan sistem kapitalisme.
Perlawanan dan pembebasan
Untungnya, penindasan tidak hanya membiakkan kesengsaraan dan penderitaan, tetapi juga membesarkan perlawanan. Kampanye hak atas tanah, upah setara, dan dekriminalisasi homoseksualitas hanyalah beberapa contoh. Kaum sosialis ingin memperkuat, memperluas, dan meningkatkan perjuangan demikian.
Namun meskipun melawan manifestasi penindasan individual bisa memenangkan capaian-capaian penting dan hak serta kebebasan yang lebih besar bagi kaum tertindas, hal-hal seperti itu saja tidak dapat mengakhiri penindasan.
Pada akhirnya, penindasan adalah produk dari kapitalisme. Hal itu adalah produk dari sistem yang bersandarkan pada represi atas impian serta keinginan mayoritas orang, dan memaksa mereka untuk menerima kepentingan modal. Sistem ini menghasilkan pembenaran politik dan ideologis atas kekejaman yang dilakukannya terhadap manusia serta alam dan memanfaatkan setiap sumber perpecahan di dalam kelas buruh untuk merusak bayangan atas kepentingan dan tujuan kolektif yang sama.
Maka hanya dengan menumbangkan kapitalisme lah pembebasan sepenuhnya dapat dimenangkan. Perjuangan untuk reformasi dapat membantu membangun kepercayaan, organisasi, dan kesadaran kaum tertindas. Tetapi tujuan akhir kita haruslah untuk menyatukan berbagai perjuangan ini ke dalam sebuah gerakan dengan tujuan menghancurkan masyarakat kapitalis yang eksploitatif. Hal tersebut merupakan satu-satunya jalan menuju pembebasan dari penindasan.
Naskah diambil dari website Red Flag. Dapat diakses melalui Why capitalism causes oppression dimuat pada 16 September 2016. Diterjemahkan oleh Andre Al-fian, Mahasiswa Universitas Mulawarman
Comment here