Arnold Clemens Ap atau lebih dikenal Arnold Ap, lahir pada 1 Juli 1946 di Numfor, Biak. Ia sarjana muda Geografi dari Universitas Cendrawasih sekaligus seorang seniman kerakyatan dari Grup Mambesak. Semasa kuliahnya juga Arnold pernah terlibat demonstrasi untuk mencoba menantang kunjungan utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ortiz Sans, untuk melakukan evaluasi terkait hasil Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Di Universitas Cendrawasih juga, Arnold menjadi kurator museum dan penyiar radio yang menyiarkan perihal budaya di sebuah acara mingguan dalam stasiun radio lokal Papua.
Setelah PEPERA disahkan PBB, Arnold menyadari bahwa kontrol Indonesia terhadap Papua akan semakin besar. Ketakutan Arnold akan melenyapnya identitas Papua sebagai suatu bangsa yang kaya akan budaya, mendorong Arnold membuat suatu kelompok seni yang dinamakan ‘’Mambesak‘’ sebagai gerakan seni-kebudayaan yang mencoba menjaga kelestarian budaya Papua dari kikisan zaman yang berdalih pembangunan. Dorongan akan hadirnya gerakan budaya, tidak datang begitu saja, tapi dari Mahasiswa Papua untuk mendirikan grup musik Manyori (Burung Nuri). Lebih dari lima tahun Arnold melakukan studi serius tentang seni tari dan musik Papua sebelum akhirnya bersama beberapa temannya memutuskan untuk mempublikasikan musik dan tari hasil studi mereka. Arnold dan teman-temannya pertama kali menampilkan musik dan tari dalam rangka acara peringatan 17 Agustus 1978 yang diselenggarakan di halaman Lok Budaya, Museum Antropologi Universitas Cenderawasih. Pementasan itu kemudian dicatat sebagai tanggal lahirnya komunitas kerja seni-budaya “Mambesak”. Pada akhir 1978, Mambesak lahir sebagai sebuah grup musik yang merawat identitas dan mendorong kemajuan rakyat Papua dari keringat sendiri. Mambesak yang berarti Cendrawasih, sebagai simbol, hewan yang dihormati semua suku di seluruh Papua Barat.
Group Mambesak mampu menggarap lagu-lagu daerah Papua Barat dengan bahasa suku yang ada di Papua kemudian mengaransemennya dengan alat musik lokal yang sangat sederhana seperti tifa, suling bambu, tambur, ukulele, tabura (kulit kerang) dan alat musik tradisional lainnya.
Lagu-lagu daerah Papua yang dinyanyikan kelompok Mambesak mewakili suku dan bahasa masing-masing daerah seperti Waniambei (Tobati–Jayapura), Na Sisarmatiti (Teluk Bintuni), Lenso Inoni Nifako (Waropen), Akai Bipa Mare (Mimika), Basiri Buruai (Kaimana), Henggi Iha (Fak Fak), Yapo Mamacica (Asmat), Mate Mani Inanwatan (Sorong), Nit Pughuluok En (Kurima – Jayawijaya), Wayut Lo (Muyu-Merauke), Piruje (Moor-Nabire), Omentaiseo (Teminabuan-Sorong), Syowi Yena (Biak-Numfor) dan Maitwu Som (Arso-Jayapura). Dengan gaya khas Mambesak dalam membawakan musik tradisonal, membuat Mambesak cepat dikenal masyarakat Papua dan mulai menyatukan 250 suku Papua, juga lagu Mambesak yang cukup menggugah hati rakyat Papua yang dikriminalisasi, dicuri, diperkosa, di atas tanahnya sendiri menyadari identitas dan potensinya sebagai suatu bangsa yang harus merdeka.
Tahun yang sama dengan berdirinya Mambesak, Arnold Ap diangkat menjadi penanggung jawab siaran Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra program Radio Republik Indonesia (RRI) Jayapura. Siaran tersebut resminya adalah program yang dikelola Universitas Cenderawasih untuk memperkenalkan kebudayaan daerah dan membangkitkan serta mengembangkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan daerah. Tapi kemudian, setelah penunjukan Arnold, program tersebut sepenuhnya diasuh oleh gerakan Mambesak.
Melalui program radio yang dirancang secara kreatif Arnold membangun kesadaran baru rakyat Papua. Dengan cerdik dan jenaka Arnold sering menyisipkan ajakan untuk lebih mengenali akar budayanya sendiri. Tidak jarang Arnold juga menggunakan program siaran radionya untuk menyebarkan analisis sederhana tentang pengetahuan umum. Sebagai sarjana muda geografi yang tertarik pada persoalan ekologi, Arnold melalui siaran radionya berusaha merangsang masyarakat Papua pedalaman untuk menjaga kelestarian alam, hutan. Tak jarang melalui corong yang sama Arnold mengecam kebijakan-kebijakan resmi dan tindakan aparat pemerintah yang sering justru merugikan masyarakat Papua, seperti ketika pemerintah memberikan bantuan beras untuk bantuan kelaparan. Ini tidak banyak bermanfaat bagi masyarakat Papua yang tidak biasa dan tidak memiliki fasilitas memasak beras. Banyak tindakan pemerintah kediktatoran militer Orde Baru (Orba) saat itu justru melemahkan Papua yang selalu dicap sebagai wilayah primitif dan tertinggal di Indonesia.
Tiga prinsip yang dijaga Arnold dan berhasil menjadikan program siaran radionya populer di masyarakat, yaitu pertama, penggunaan bahasa Indonesia logat Papua (Melayu Papua) sebagai bahasa pengantar, penyajian uraian-uraian pokok tentang unsur kebudayaan Papua. Kedua, pengetahuan-pengetahuan aktual. Ketiga, penyiaran lagu rakyat dan pengetahuan yang aktual selalu dibalut dengan gaya jenaka khas kebudayaan Papua yang akrab disebut MOP. Radio pelangi budaya dan RRI Papua, merupakan corong Mambesak sebagai alat propagandanya yang membakar semangat rakyat Papua tidak hanya di Indonesia tapi rakyat Papua yang berada di luar negeri pun merasa identitasnya sebagai bangsa yang berhak merdeka harus diperjuangkan.
Pertengahan 1980, menjelang Natal Papua saat itu mengalami perubahan drastis. Perkembangan komunikasi saat itu mengantarkan Papua dengan banjirnya kaset berpita yang membawa Papua kepada tren–tren modern. Lagu-lagu Natal dan Gereja dari kaset yang senada mulai terdengar di berbagai tempat umum seperti lingkungan kampus, bandara Abepura dan tempat-tempat umum lainnya.
Namun, pada 30 November 1983, Mambesak dianggap sebagai sebuah gerakan yang mencoba membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mambesak dipandang oleh aparat keamanan sebagai gerakan yang mengadopsi semangat Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mencoba tidak tunduk pada Nasionalisme Indonesia. Sejalan dengan kemajuan Papua yang tak terlepas dari dorongan Mambesak yang dipelopori Arnold. Aparat keamanan melihat gerakan kebudayaan ‘’Mambesak‘’ merupakan cikal bakal bangkitnya semangat pembangkangan dan perlawanan rakyat Papua terhadap rezim. Berkembangnya kebudayaan dan kesadaran di kalangan rakyat, adalah ancaman besar karena sulit diukur dan dikendalikan. Intelijen bersusah payah mencari hubungan Arnold dan kelompok Mambesak dengan OPM atau gerakan perlawanan lainnya. Arnold berulang kali ditahan dan diinterogasi, tapi karena posisinya dalam masyarakat dan perhatian luas dari berbagai pihak, ia pun dilepas kembali. Upaya menemukan “bukti-bukti keterlibatan” itu pun gagal.
Penahanan tokoh budayawan Papua Barat ini berbuntut “hijrahnya” sejumlah dosen, mahasiswa, maupun pegawai Pemerintah daerah Tk I Irian Jaya menyeberang perbatasan menuju negara tetangga Papua Nugini, Februari 1984. Hampir pada waktu yang sama, di Jakarta empat pemuda Papua – yang mempertanyakan nasib penahanan Arnold AP ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), akhirnya terpaksa meminta suaka politik pada kedutaan besar Belanda. Dua bulan setelah permohonan suaka politik pada kedutaan Belanda, tepatnya pada 26 April 1984, sang budayawan Arnold Ap tewas ditembak oleh aparat keamanan dengan dalih akan melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Abepura di Jayapura. Kematian Arnold Ap menjadi sebuah simbol atas identitas bangsa Papua dan cikal bakal tumbuhnya nasionalisme pada bangsa Papua.
Ditulis oleh Dipayana Raka | Kader Perserikatan Sosialis dan Anggota Lingkar Studi Kerakyatan
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 86, III-IV April 2020, dengan judul yang sama.
Comment here