Perjuangan

Halilintar di Siang Bolong Bias Pemerintah untuk Pernikahan Konglomerat Seksis

Dukungan pemerintah atas pesta pora pernikahan Muhammad Attamimi Halilintar alias Atta dan Titania Aurelie Nurhermansyah alias Aurel menunjukkan sikap pilih kasih rezim yang cenderung mendukung hajatan kaum kaya-raya. Sementara di sisi lain aparat seringkali menghardik bahkan membubarkan pernikahan rakyat jelata berdalih berisiko menularkan virus Covid-19. Masalah semakin banyak karena ajang itu bukan hanya simbol rujuk dan persekutuan berbagai kubu konglomerat, pejabat, serta elit politisi, melainkan juga membawa soal penyalahgunaan frekuensi publik, juga pandangan Atta Halilintar yang merendahkan perempuan.

Hakikat pernikahan Atta dan Aurel adalah pernikahan borjuasi, pernikahan antar konglomerat. Aurel adalah penyanyi/ selebritis (jelas dia menempuh jalur cepat karir itu bukan karena bakat, kemampuan, dan kerja kerasnya–melainkan karena keistimewaan kedua orang tuanya yang sudah merupakan juragan bisnis permusikan) sekaligus pengusaha kosmetik.  Sedangkan Atta selain merupakan YouTube juga merupakan pengusaha di bidang bisnis fashion, kuliner, percetakan, dan agen perjalanan. Orang tua kedua belah pihak pun bukan hanya konglomerat tapi juga pejabat/elit politisi. Bapak Aurel yaitu Anang Hermansyah selain selebritis juga adalah pengusaha sekaligus politisi PAN (anggota DPR), mendukung aksi 212. Lalu, ibu kandung Aurel yaitu Krisdayanti selain selebritis juga merupakan istri borjuasi sekaligus oligarki asal Timor Leste  sekaligus politisi PDIP (anggota DPR). Kemudian, Ashanty istri Anang Hermansyah sekarang adalah pebisnis kosmetik, lensa kontak, jus diet, (bersama Anang) di bidang kuliner dan karaoke. Sedangkan Bapak Atta Halilintar awalnya adalah kelas menengah yang bekerja di Departemen Akuntansi Caltex dan kemudian bersama istrinya, Lenggogeni Faruk, menjadi pengusaha yang memiliki peternakan kambing di Australia, kafe dan butik di Paris, klinik bersalin, apotek dan toko obat, studio rekaman, supermarket, konsultan SDM, industri rekaman, dan sebagainya.  

Pernikahan Atta-Aurel juga upaya menyimbolkan rujuknya kubu-kubu borjuis sekaligus mengesankan agar rezim tampak solid. Dari pemerintah eksekutif, Presiden Joko Widodo (Jokowi) hadir sebagai saksi pernikahan bersama Prabowo Subianto (Prabowo) bekas seteru sekaligus yang sempat memimpin oposisi kanan borjuis namun kini dijadikan Menteri Pertahanan (Menhan) dan mantan calon wakil presidennya (cawapres) Sandiaga Uno, yang kini dijadikan Menteri Pariwisata (Menpar). Sedangkan dari legislatif, hadir Bambang Soesatyo, Ketua Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) yang berasal dari Partai Golongan Karya (Golkar). Ini pun difasilitasi akun Twitter resmi Sekretariat Negara yang mengunggah foto-foto pernikahan Atta-Aurel.

Selain itu meskipun tidak memiliki jabatan publik  ataupun hubungan keluarga secara langsung , bisa dilihat banyak tamu borjuis lainnya, dengan berbagai macam perspektif politik. Dari yang liberal sekuler, seperti Shandy Purnamasari, pebisnis industri kosmetik dan perawatan wajah, bersama suaminya yaitu Gilang Widya Pramana, pengusaha bisnis perawatan wajah laki-laki sekaligus juragan bus pariwisata. Lalu borjuis bekas pendukung Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang kemudian membelot mendukung Anies Baswedan, seperti pasangan Raffi Achmad dan Nagita Slavina–pengusaha lebih dari 20 bidang bisnis. Kelompok tengah seperti Basrizal Koto–konglomerat media, percetakan, perhotelan, properti, saham, dan pertambangan. Hingga borjuis konservatif Islamis seperti Al-Fatih alias Teuku Wisnu dan Shireen Sungkar, pengusaha bisnis wisata, kuliner, hingga fashion di jalur hijrah. Teuku Wisnu sendiri selain mantan pendukung Prabowo dan partisipan gerakan 212, secara politik juga condong kepada orientasi pendirian hukum dan negara Islam, tampak dari keikutannya beberapa kali dalam konferensi Hizbut Tahrir Indonesia.

Tentu saja ada harga yang harus dibayar untuk tindakan simbolis mengesankan solidnya pemerintah dan rujuknya kubu-kubu borjuis begitu. Ernest Prakasa, komedian sekaligus sineas liberal kelas menengah yang dulunya pendukung Jokowi-Ahok, mengecam pernikahan Atta-Aurel harusnya tidak diurusi negara. Ini membuatnya berhadapan dengan para pendengung maupun pendukung rezim seperti Dr. Tirta maupun organisasi borjuis lebih resmi seperti Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) yang membela pernikahan Atta-Aurel berdalih protokol kesehatan sudah resmi diterapkan maupun berdalih Atta sebagai aktor ekonomi kreatif. Kasus ini bukan hanya mengesankan terdapat keresahan bahkan keretakan di antara mereka yang (pernah) mendukung rezim, yang mana masuk akal. Pernikahan mewah dengan dukungan penuh dari berbagai borjuis dan elit politisi demikian berlangsung bukan hanya di tengah pandemi Covid-19 dimana kurva penularan maupun kematian di Indonesia tidak pernah melandai melainkan terus menanjak. Melainkan juga berlangsung saat rakyat di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami bencana alam yang merenggut 174 korban tewas dan 48 hilang (sampai 11 April sejauh ini) yang diperparah dengan kelambatan bahkan kegagapan pemerintah. Bukan hanya ini akan mendorong semakin tumpulnya kepekaan sosial namun secara tersirat juga merupakan ilham sekaligus restu bagi konglomerat, pejabat, serta semua yang kaya dan berkuasa (apapun tingkatannya) untuk menggelar pesta semaunya dengan mantera-mantera “asalkan menerapkan protokol kesehatan.” Ini semakin membuktikan rezim tidak serius menangani pandemi. Kelas bawah disandera alias dipaksa terus bekerja di garis depan dengan minim jaminan keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan, demi mendatangkan laba bagi para kapitalis sementara kelas atas dibebaskan (bahkan dibela) untuk berfoya-foya sekaligus bersikap menyepelekan pandemi.

Ini juga diperparah dengan penyalahgunaan frekuensi publik oleh berbagai media TV borjuis, seperti RCTI, yang menayangkan (seputar) pernikahan Atta-Aurel hingga 3,5 jam. Padahal  sebagaimana dilansir ABC, Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) mengkritik, “KNRP menolak keras rencana seluruh penayangan tersebut yang jelas-jelas tidak mewakili kepentingan publik secara luas dengan semena-mena menggunakan frekuensi milik publik.” Nina Mutmainnah, salah satu pegiat KNRP sekaligus dosen Universitas Indonesia (UI), menyatakan, “Untuk bisa beroperasi, media penyiaran memerlukan frekuensi untuk memancarsiarkan sebuah tayangan. Frekuensi ini adalah sumber daya alam yang terbatas dan milik publik. Sehingga pemakaiannya harus diatur supaya bisa digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat luas. Dan di tengah itu semua mereka malah hura-hura, slot yang terbatas itu dipakai untuk merayakan pernikahan dua orang selebriti.” Padahal menurut Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Pasal 11 soal perlindungan kepentingan publik dan Standar Program Siaran (SPS) Pasal 13 menegaskan, “Program siaran tentang permasalahan kehidupan pribadi tidak boleh menjadi materi yang ditampilkan dan/atau disajikan dalam seluruh isi mata acara, kecuali demi kepentingan publik.”

Kepentingan publik, sejak lama memang bukan prioritas para pengusaha media massa TV borjuis. Sebaliknya yang mereka kedepankan adalah pengerukan laba, tidak peduli kalau itu dilakukan bukan hanya dengan pengabaian terhadap isu-isu yang lebih penting namun juga pembodohan. Penayangan  jor-joran pernikahan selebritis seperti Atta-Aurel, Vicky Prasetyo, Raffi-Nagita, sudah menjadi tren kegemaran baru borjuis pertelevisian karena mendatangkan banyak laba. Masih dilansir berita yang sama, “Menurut sumber ABC Indonesia, dengan perolehan rating dan share sebesar itu, jika dihitung dengan metode CPRP (cost per ratings point) dengan rujukan tarif spot iklan di RCTI, pendapatan iklan untuk satu jam dari acara tersebut bisa mencapai Rp1 miliar.”  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sendiri melempem karena tidak pernah menjatuhkan hukuman berarti bagi pelanggaran demikian dan malah menyalahkan rakyat yang masih mau menonton.

Permasalahannya kian parah karena Atta menyebarkan pandangannya yang merendahkan perempuan. Dalam wawancaranya bersama Ashanty (12/2/2021), Atta menyatakan “Kalau udah berkeluarga, aku udah kepala keluarga bukan pas waktu tunangan. Izin suami, suara suami adalah dari Tuhan. Kalau aku enggak izin ini, kamu harus nurut, enggak bisa kayak sebelumnya,” kata Atta kepada Aurel. “Istilahnya hidup kamu sudah diserahkan ke laki-laki yang sudah bertanggung jawab atas kamu. Jadi enggak ada perdebatan yang soal-soal kayak gini, kayak gitu.” Pandangan seksis Atta mewakili meningkatnya konservatisme agama dan pengarusutamaan kekolotan serta kebigotan. Bukan hanya perkataan itu merampas hak perempuan untuk turut berpendapat dan andil menentukan arah pasangan atau keluarga. Melainkan juga menyebarkan pandangan subordinasi atau penundukan perempuan sekaligus objektifikasi dan kepemilikan perempuan oleh suami. Alih-alih sebagai manusia seutuhnya dengan segenap hak-hak asasi sekaligus harkat martabatnya yang harus dihormati. Menyebarnya pandangan itu rawan menyuburkan kekerasan domestik dan rawan meningkatkan penyalahan korban atau victim blaming dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Sisi lain, semua permasalahan ini bisa mencuat karena dipukul mundurnya pergerakan rakyat. Rezim bisa mengorbankan kelas buruh (termasuk pekerja kesehatan) sembari terus berpesta pora di tengah pandemi karena represi dan kriminalisasi di satu sisi serta ketidakmampuan menggalang penyatuan perlawanan di sisi lain. Begitu pula sentimen seksis bisa makin diperluas karena di satu sisi aktivis kesetaraan diserang habis-habisan (seperti aksi-aksi Hari Perempuan Internasional yang diserang aparat di Malang, Denpasar, Makassar, Jayapura, dan lainnya) serta di sisi lain banyak aliansi atau kelompok perempuan menurunkan kadar perlawanan (seperti Women’s March (WM) Jakarta yang digelar daring meniru WM AS). Oleh karena itu di tengah badai represi dan reaksi ini, justru penting menggencarkan pemblejetan, pendidikan, solidaritas, dan pengorganisiran, bukan hanya untuk mempertahankan barisan agar tidak semakin berceceran. Namun juga merawat sekaligus menyemai bibit-bibit baru perlawanan agar bisa kembali bersemi di gelombang berikutnya.

Ditulis oleh Leon Kastayudha, Kader Perserikatan Sosialis dan Anggota Sosialis Muda.

Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan yang diterbitkan dalam Arah Juang edisi 108, III-IV APRIL 2021, dengan judul yang sama.

Briantika, Adi. 2021. Setelah Lamaran Atta-Aurel yang Membajak Frekuensi Publik. Tirto.id (Daring), diakses dari https://tirto.id/setelah-lamaran-atta-aurel-yang-membajak-frekuensi-publik-gbdV

Republika. Atta Halilintar Dikecam Gara-Gara Suara Suami dari Tuhan. Republika.co.id (Daring), diakses dari https://www.republika.co.id/berita/qr9osu6324000/atta-halilintar-dikecam-garagara-suara-suami-dari-tuhan

Souisa, Hellena. 2021. Kritik di Balik Penayangan Acara Lamaran Selebritas di Layar Kaca yang Menggunakan Frekuensi Publik. ABC News (Daring), diakses dari https://www.abc.net.au/indonesian/2021-03-17/kritik-di-balik-penayangan-acara-lamaran-selebritas-di-televisi/13249128

Loading

Comment here