Samarinda- Pada Jumat (19/3), Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Politik (BEM FISIP) Universitas Mulawarman mengadakan debat terbuka bertajuk “Pro Kontra Rancangan Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)”, di depan gerbang kampus Universitas Mulawarman.
Debat berlangsung sejak pukul 15.30 WITA hingga 17.30 WITA. Peserta debat yang pro diwakili BEM FISIP sedangkan di sisi kontra diwakili BEM KM UNMUL. Massa lainnya yang hadir berasal dari berbagai organisasi kaum muda mahasiswa, diantaranya seperti Himpunan Mahasiswa Papua, berbagai BEM Fakultas, Sekolah Pembebasan Perempuan dan Anti Seksisme (SPARK), Lingkar Studi Kerakyatan (LSK), Kelompok Belajar Anak Muda (KBAM), LSM, serta berbagai organisasi maupun individu lainnya.
Debat dibuka dengan rasionalisasi kemendesakan RUU PKS oleh BEM FISIP dengan menyampaikan:
“Komisi Nasional Perempuan telah merilis data sepanjang tahun 2020 terjadi 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan, 90% diantaranya terjadi di ranah privat, seperti KDRT dan Relasi Personal. Berdasarkan data-data yang terkumpul dari Lembaga layanan/formulir pendataan Komnas Perempuan sebagai sampel sebanyak 8.234 kasus tersebut, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah di ranah pribadi atau privat, yaitu KDRT dan Relasi Personal, yaitu sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat kekerasan terhadap istri menempati peringkat pertama 3.221 kasus (49%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (14%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan suami, mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Kekerasan di ranah pribadi ini mengalami pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Dalam ranah komunitas/publik sebesar 21 % (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%) yang terdiri dari dari pencabulan (166 kasus), perkosaan (229 kasus), pelecehan seksual (181 kasus), persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan dan kekerasan seksual lain. Sedangkan dalam ranah dengan pelaku negara, kasus-kasus yang dilaporkan sejumlah 23 kasus (0.1 %). Data berasal dari LSM sebanyak 20 kasus, WCC 2 kasus dan 1 kasus dari UPPA (unit di Kepolisian). Kekerasan di ranah negara antara lain adalah kasus perempuan berhadapan dengan hukum (6 kasus), kasus kekerasan terkait penggusuran 2 kasus, kasus kebijakan diskriminatif 2 kasus, kasus dalam konteks tahanan dan serupa tahanan 10 kasus serta 1 kasus dengan pelaku pejabat publik.
Negara membutuhkan regulasi sebagai payung hukum kepada penyintas di tengah situasi darurat kekerasan seksual yang dapat melindungi seluruh Masyarakat juga penyintas hari ini yang kerap dihadapkan pada victim blaming. Terlebih sejak 2012, perjuangan mengesahkan RUU PKS merupakan dorongan gerakan perempuan yang memiliki kepentingan atas penghapusan kekerasan seksual.”
Sedangkan BEM KM UNMUL membantah argumen tim pro ruu pks dengan menyampaikan:
“Ketika kita berbicara tentang aturan hukum, kita akan berbicara: 1) Norma; 2) Pancasila; 3) UUD NRI 1945. RUU PKS, merupakan lex specialis yang blunder dalam mengisi kekosongan hukum dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diatur dalam pasal 281 hingga 299. RUU PKS akan mengisi kesalahan dengan melegalkan perzinahan antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah, pembenaran terhadap LGBT, dan pelegalan pelacuran. Poin-poin itu memberatkan karena tidak sesuai dengan norma dalam masyarakat dan agama. Perlu ada pembedahan untuk merombak seluruh pasal terhadap RUU PKS agar sesuai norma dalam masyarakat dan agama. Terutama, pembenaran terhadap LGBT itu tidak pantas karena LGBT merupakan penyakit, sebagai perilaku yang menimbulkan adanya kekerasan seksual, budaya asing, dan mendekatkan dengan azab. Selain itu perilaku zinah, LGBT, pelacuran yang akan disahkan jelas akan bertentangan dengan pancasila dan UUD NRI 1945, maka itu sangat-sangat tidak tepat menjadi undang-undang.”
Pernyataan yang disampaikan BEM KM UNMUL tidaklah berbeda dengan kelompok yang menolak RUU PKS. Seperti Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) atau seperti akademisi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Maimon Herawati yang membuat petisi menolak RUU PKS.
Mereka menuduh RUU PKS memberi ruang perilaku seks bebas dan perilaku seks menyimpang yang bertentangan dengan norma-norma yang tumbuh dalam masyarakat. Ini mereka lakukan dengan menyebarkan draf palsu RUU PKS sambil menuding aturan ini pro-zina, LGBT, dan mendukung tindakan aborsi untuk menggagalkan pengesahan RUU PKS.
Pernyataan penolakan demikian sudah pernah dibantah oleh Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakhae’ie, yang menyatakan yang menyatakan RUU ini dibuat bukan untuk melegalkan perzinahan hingga LGBT. Dia mengatakan RUU ini akan khusus pada kasus kekerasan seksual. Klaim bahwa RUU PKS melegalkan perzinahan, LGBT dan aborsi seperti isi petisi Maimon herawati adalah kebohongan.
Penyusunan draft RUU PKS, disusun dengan melibatkan berbagai organisasi penyedia layanan bagi korban kekerasan seksual, pemerhati isu disabilitas dan pemerhati isu hak asasi manusia. Naila Rizki Zakiyah dari LBH Masyarakat juga menyatakan bahwa argumen yang kerap disampaikan para penolak RUU PKS adalah penyesatan informasi, RUU PKS adalah payung hukum penghapusan kekerasan seksual sehingga jelas ketika ada ketidaksetujuan dan pemaksaan hubungan seksual dikategorikan kekerasan dalam hubungan apapun.
Desakan pengesahan RUU PKS mempunyai alasan yang kuat karena kekerasan seksual yang terus terjadi. Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 800 persen kasus. Kurang dari 30 persen laporan kasus perkosaan yang diproses secara hukum serta dugaan masih banyak yang takut untuk melapor karena mendapat ancaman dari para pelaku. Terlebih saat melapor, korban seringkali menghadapi berbagai pertanyaan yang justru membuat trauma ataupun pernyataan yang menyalahkan korban dari para penyidik.
Saat ini kekerasan seksual dalam KUHP hanya mencakup dua jenis bentuk kekerasan seksual, yaitu pemerkosaan dan pencabulan. Sedangkan dalam RUU PKS pendetailan bentuk-bentuk kekerasan seksual dengan mendefinisikan 9 bentuk kekerasan seksual yaitu 1) pelecehan seksual; 2) eksploitasi seksual; 3) pemaksaan kontrasepsi; 4) pemaksaan aborsi; 5) perkosaan; 6) pemaksaan perkawinan; 7) pemaksaan pelacuran; 8) perbudakan seksual dan; 9) penyiksaan seksual.
RUU PKS juga mengatur tindak hukuman pidana yang lebih luas dan berat bagi pelaku kekerasan seksual dalam kasus yang terjadi pada anak-anak, perempuan hamil dan penyandang disabilitas. Terdapat juga pidana tambahan yang membatasi ruang gerak pelaku agar tidak mendekati korban, pemidanaan terhadap korporasi, pencabutan hak politik dan pencabutan hak asuh.
RUU PKS adalah regulasi progresif atau maju bukan hanya untuk penanganan kekerasan seksual tapi juga pembangunan struktur, kesadaran, dan gerak bersama melawan kekerasan seksual yang menjadi bagian dari seksisme. Tetapi alih-alih mengesahkan RUU PKS di tengah tingginya angka kekerasan seksual, rezim justru mengesahkan UU yang pro pemodal dan mengkriminalisasi rakyat yang memperjuangkan haknya.
Sehingga perlu adanya dorongan mobilisasi massa yang lebih besar dengan melakukan aksi massa hingga tuntutan RUU PKS disahkan. Sebab kelas berkuasa di Indonesia tidak memiliki kepentingan dalam menuntaskan kasus kekerasan seksual yang terus meningkat, justru memperparah dengan berbagai agenda penindasan yang terus menerus dilancarkan kepada rakyat pekerja. Maka dari itu tidak cukup hanya mendorong pengesahan RUU PKS, sebab tetap akan ada pertentangan dalam situasi yang berakar dari sistem hari ini. Gerakan melawan kekerasan seksual dan anti-seksisme tapi juga harus menggabungkan diri dalam perjuangan kelas menghapuskan penindasan dan mewujudkan pembebasan. (nw, gp)
Comment here