Internasional

Revolusi Musim Semi Myanmar

Ditulis oleh Robert Narai

Pemogokan dan demonstrasi telah melanda Myanmar, sejak Tatmadaw (militer Myanmar) menangkap Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan mengambil alih pemerintahan pada 1 Februari. Diinisiasi oleh buruh-buruh medis dan pelajar, gerakan pembangkangan sipil (civil disobedience movement – CDM) memobilisasi massa agar terlibat dalam demonstrasi di jalan  untuk menentang sang junta baru.

Pemogokan-pemogokan telah melumpuhkan berbagai sektor birokrasi negeri, termasuk kementerian investasi dan transportasi, kantor perpajakan, dan Departemen Administrasi Umum yang bertugas mengawasi berbagai layanan publik serta fungsi-fungsi pemerintahan. (Tiga per empat dari Pegawai Negeri Myanmar saat ini dilaporkan mogok kerja). Seluruh industri – seperti perbankan swasta – telah lumpuh, dan jumlah buruh-buruh bank negeri yang saat ini bergabung dalam pemogokan juga terus meningkat.

Diperkirakan bahwa sebanyak 60 persen dari buruh-buruh kelistrikan negara mogok kerja. Beberapa departemen energi di Yangon, kota terbesar negara itu, mengatakan dalam unggahan Facebook bahwa mereka menolak untuk mengikuti perintah dari militer untuk memadamkan listrik saat razia malam hari. “Tugas kami adalah memberi aliran listrik, bukan memadamkannya”, terbaca dalam satu unggahan.

Buruh-buruh kereta api negara juga melakukan mogok kerja, mereka menolak untuk mengangkut tentara-tentara yang digunakan sebagai pemecah pemogokan. Selama seminggu penuh, jaringan rel kereta di Yangon dan Mandala, di pusat dari negara itu, telah lumpuh. Untuk merespon hal itu, polisi anti huru-hara diterjunkan ke kompleks pemukiman para pengemudi kereta namun dipukul balik oleh kerumunan para pelajar dan buruh yang marah.

Di distrik kelas buruh di seluruh Yangon juga Mandalay, penduduk-penduduk setempat telah menyiapkan “patroli malam” guna melindungi diri mereka sendiri dari preman-preman bersenjata yang telah bekerja sama dengan pasukan keamanan. Sebelum patroli malam dimulai, warga memukul panci dan wajan – sebuah tradisi rumah tangga di Myanmar untuk mengusir “roh jahat/iblis” – dan menyanyikan lagu perlawanan “Kabar Ma Kyay Bu” (“Hingga akhir dunia”), yang liriknya menjanjikan sebuah perjuangan tanpa akhir melawan militer:

Kita akan menyimpan dendam hingga akhir dunia

Sejarah ditulis dengan darah kita

Revolusi!

Mereka yang kehilangan nyawanya dalam perjuangan untuk demokrasi

Negara kami adalah tanah yang dibangun oleh para martir

Kami akan menyimpan dendam hingga akhir dunia

Tatmadaw telah menguasai Myanmar selama sebagian besar sejarah modern negara itu. Setelah mendapatkan kemerdekaan dari kekuasaan Inggris tahun 1947, negara tersebut mengalami periode perkembangan industri yang pesat – disertai dengan meningkatnya militansi buruh – sebelum Tatmadaw, yang takut akan ancaman yang ditimbulkan oleh gerakan kelas buruh yang melawan, merebut kekuasaan pada 1962.

Tatmadaw memerintah selama dua dekade selanjutnya melalui rezim negara kapitalis otoriter yang menghancurkan semua kekuatan independen gerakan buruh. Tetapi pada bulan Agustus 1988, rezim diguncang oleh demonstrasi-demonstrasi pelajar serta pemogokan-pemogokan yang menuntut demokrasi. Aung San Suu Kyi, anak dari Aung San, pimpinan militer yang memimpin gerakan kemerdekaan dari kekuasaan Inggris, menempatkan diri sebagai pemimpin gerakan, dan mengalihkan gerakan dari konfrontasi dengan rezim. Tatmadaw kemudian kembali memegang kendali atas situasi, membantai ribuan warga sipil, dan membakar hidup-hidup para pemimpin protes. Banyak dari mereka yang lolos dari nasib seperti itu, termasuk Suu Kyi, yang setelahnya dijebloskan ke penjara atau dijadikan tahanan rumah.

Sejak tahun 90-an, Tatmadaw telah mengonsolidasikan posisinya sebagai fraksi sentral dari kelas kapitalis Myanmar. Melalui dua konglomerasi milik militer – Myanmar Economic Corporation dan Myanmar Economic Holding Ltd. – Tatmadaw menggunakan privatisasi untuk menguasai perusahaan yang sebelumnya dikelola negara dengan harga jual yang sangat rendah. Konglomerat-konglomerat ini mengendalikan bisnis dan investasi di berbagai sektor mulai dari bir, tembakau dan bahan habis pakai, hingga pertambangan, penggilingan, pariwisata, pengembangan properti, serta komunikasi.

Tatmadaw menyusun konstitusi tahun 2008 untuk memastikan bahwa mereka akan terus memegang tuas utama kekuasaan. Seperempat kursi di kedua majelis parlemen dialokasikan untuk pejabat militer, sehingga memastikan bahwa mereka dapat memblokir amandemen konstitusi apa pun. Tatmadaw juga tetap mengendalikan kementerian-kementerian yang kuat, termasuk pertahanan dan urusan dalam negeri, dan karenanya dikecualikan dari pengawasan sipil. Suu Kyi, yang dibebaskan dari tahanan rumah pada tahun 2010, dan Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy – NLD) miliknya telah setuju untuk mempertahankan pengaturan ini meskipun militer secara resmi mengizinkan pemerintahan sipil satu dekade lalu.

Sejak itu, Myanmar telah menjadi rumah bagi investasi besar dari kapitalis Asia Timur dan Asia Tenggara – terutama dari Tiongkok, Thailand, Singapura, dan Jepang – dalam bidang manufaktur garmen, agribisnis, pertambangan, dan minyak. Hasilnya adalah perampasan tanah yang meluas di daerah pedesaan, yang mendukung ekspansi pekerjaan berupah rendah, informal, dan tidak tetap di pusat-pusat perkotaan yang berkembang pesat. (Menurut Departemen Tenaga Kerja Myanmar, ada 83 persen dari angkatan kerja yang sekarang bekerja di sektor informal). Dalam beberapa tahun terakhir, hal ini juga mengakibatkan gelombang pemogokan dan pengorganisiran buruh di industri garmen yang didominasi perempuan.

Dalam kekuasaannya, NLD dan sekutunya Tatmadaw mencoba mengarahkan kemarahan kelas terhadap masalah ekonomi dengan memicu nasionalisme etnis. Muslim Rohingnya dari negara bagian Rakhine menjadi target khusus rezim Suu Kyi, dan memuncak hingga 2017 dalam kampanye pemindahan paksa yang mencakup pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran rumah oleh militer. Ratusan ribu orang Rohingnya diusir dari Myanmar ke negara tetangga Bangladesh dan belum kembali.

Selama pemerintahan NLD, Tatmadaw percaya bahwa mereka dapat menaikkan posisinya melalui kendaraan elektoral, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (Union Solidarity and Development Party – USDP). Namun USDP telah membuktikan sebuah kegagalan besar dalam lingkup elektoral, yang sepenuhnya dibayangi oleh NLD dalam pemungutan suara, dengan memenangkan mayoritas parlemen baik dalam pemilu 2015 maupun 2020.

Dikombinasikan dengan penurunan iklim ekonomi secara umum, yang diintensifkan oleh serangan COVID-19, keputusan Tatmadaw untuk merebut kekuasaan disebabkan oleh rusaknya kondisi yang telah menjaga keseimbangan antara pemerintahan sipil dan militer. Tetapi kondisi ini juga telah meningkatkan harapan bagi seluruh generasi yang kini telah hidup tanpa kediktatoran militer secara terbuka. Hasilnya adalah ledakan pemogokan dan demonstrasi yang sekarang melanda seluruh negeri.

Menanggapi gerakan yang berkembang, Tatmadaw telah menggunakan represi yang bengis – termasuk gas air mata, meriam air, pemadaman jaringan telekomunikasi dan listrik, pemberlakukan jam malam dan penangkapan massal – dalam upaya untuk mengintimidasi pengunjuk rasa dan menahan para pemimpin pemogokan. (Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, lebih dari 700 orang telah ditangkap sejak tanggal 1 Februari). Banyak buruh di industri yang secara strategis penting, seperti bank milik negara, pembangkit listrik, transportasi, dan telekomunikasi, dipaksa bekerja di bawah acungan senjata.

Tatmadaw juga menggunakan kekuatan mematikan. Di ibukota Naypyidaw, pelajar berusia 20 tahun Mya Thwet Thwet Khine meninggal di rumah sakit setelah ditembak di kepala oleh polisi. Di kotapraja Shew Pyithar Yangon, Ko Tin Htut Hein, seorang anggota patroli malam sipil berusia 30 tahun, ditembak mati oleh polisi di dalam sebuah van sipil. Dan di Mandalay, Wai Yan Tun yang berusia 16 tahun dan Ko Min Min Min Ko yang berusia 37 tahun tewas, dan 30 orang lainnya terluka, ketika polisi anti huru-hara melepaskan tembakan dengan peluru tajam ke penduduk setempat yang melindungi buruh galangan kapal yang mogok.

Represi yang semakin kuat hanya membangkitkan gerakan. Pada 20 Februari, sebuah “komite pemogokan umum” dibentuk, yang mengumpulkan partai politik, buruh, serikat mahasiswa dan petani, kelompok perempuan, kelompok agama, biksu, dokter, pengacara, dan kelompok penulis, yang bersamaan dengan pembentukan komite pemogokan lokal, bertujuan untuk mengakhiri pemerintahan militer, membebaskan semua tahanan politik, menghapuskan konstitusi 2008 dan membentuk serikat demokratis federal (yang akan memberikan hak politik kepada semua etnis minoritas, termasuk Rohingya). Dalam pernyataan resmi, komite pemogokan mengatakan: “Kita tidak boleh runtuh. Jika kita mundur sekarang, rezim militer akan memperkuat represinya. Oleh karena itu, penting untuk bersatu antar organisasi dan mengintensifkan pemogokan”.

Pada 22 Februari, lebih dari satu juta orang bergabung dalam seruan untuk pemogokan umum dan berbaris dalam mobilisasi nasional terbesar sejak perlawanan terhadap kudeta dimulai. Di Yangon, ratusan ribu demonstran turun ke Jalan Pagoda Sule, Persimpangan Hledan dan Myaynigone, merebut kembali lokasi-lokasi berkumpul tersebut setelah tempat-tempat itu dibarikade dengan kawat berduri dan dipenuhi dengan polisi anti huru-hara pada akhir pekan sebelumnya. Di Mandalay, puluhan ribu demonstran menutup kawasan pusat bisnis, sehingga polisi dan angkatan bersenjata tidak dapat melakukan represi.

Pembentukan komite pemogokan memberikan sumber kekuatan alternatif bagi Tatmadaw yang memungkinkan gerakan dapat berkoordinasi dalam skala nasional. Namun untuk benar-benar menantang kekuatan ekonomi dan politik Tatmadaw, komite pemogokan harus berakar di tempat-tempat kerja di bawah kepemimpinan buruh yang mogok. Dalam beberapa hari dan minggu mendatang, kemampuan kelas buruh Myanmar yang kuat untuk memaksakan kehendaknya pada situasi ini – melalui lebih banyak pemogokan yang melumpuhkan ekonomi – akan menjadi sangat krusial. 

Naskah diambil dari website Red Flag. Dapat diakses melalui Myanmar’s spring revolution dimuat pada 27 Februari 2021. Diterjemahkan oleh Arjuna SR, anggota Red Elephant.

Loading

Comment here