Perempuan dan LGBTPerspektif

Kemenangan-kemenangan Perjuangan Perempuan di Dunia Dalam Tahun-tahun Pandemi

Hampir dua tahun sudah pandemi Covid-19 berkecamuk sejak akhir Desember 2019 hingga kini dan kesengsaraan serta penindasan kaum perempuan meningkat bukan hanya karena beban kerja ganda namun mereka salah satu yang paling dikorbankan kapitalisme. Kaum perempuan yang merupakan mayoritas dalam tenaga kesehatan sebagai bagian dari kelas pekerja dipaksa kerja dengan APD yang belum memadai jumlahnya. Namun pendapatannya dipotong bahkan terlambat diberikan.  Sedangkan pekerja perempuan di sektor lainnya juga dipaksa bekerja dengan risiko tinggi terpapar virus sembari sebagian dikenai (ancaman) pemecatan. Sementara itu frustasi sosial akibat keterasingan dan isolasi, membuat mereka yang kesadarannya terbelakang melampiaskannya berupa kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan. Namun kaum perempuan bukanlah makhluk pasif tidak berdaya. Terdapat juga perlawanan kaum perempuan secara berani, bersama-sama, menentang penindasan dan kesewenangan. Bahkan di beberapa negara, kaum perempuan dan rakyat berhasil memenangkan capaian-capaiannya di masa pandemi.

Pertama, kemenangan gerakan pembebasan perempuan berupa capaian hukum atau kebijakan resmi. Kaum perempuan dan rakyat di Kuwait berhasil memenangkan undang-undang (UU) baru untuk perlindungan dari kekerasan dalam rumah tangga. Ini setelah bertahun-tahun didesak oleh gerakan perempuan Kuwait. Meskipun demikian kemenangan ini masihlah belum final. UU ini baru memandatkan pembentukan komite nasional untuk merumuskan kebijakan-kebijakan melawan kekerasan dalam rumah tangga serta melindungi kaum perempuan. Termasuk memandatkan pendirian shelter atau rumah aman serta penyediaan hotline atau pusat panggilan via telepon, ditambah juga perlindungan darurat.  Berikutnya di Spanyol, gerakan pembebasan perempuan dan rakyat berhasil mendesakkan pemaknaan kembali pemerkosaan dalam undang-undang. Sebelumnya di pemerkosaan hanya diartikan sebagai penetrasi paksa, sehingga mengecualikan kekerasan-kekerasan seksual non-penetrasi. Kini pemerkosaan dimaknai ulang sebagai hubungan seksual tanpa persetujuan. Lalu, di Sudan, kaum perempuan berhasil menggolkan larangan terhadap sunat perempuan. Bukan hanya sunat perempuan patut dilarang karena didasarkan pada mitos tidak benar bahwasanya mutilasi bagian tertentu alat kelamin perempuan untuk mengontrol nafsu seks perempuan, namun juga karena berbahaya bagi kesehatan perempuan. Kemudian, di Afghanistan, kaum ibu berhasil memenangkan hak untuk turut dicantumkan namanya pada sertifikat kelahiran anaknya. Hal ini memudahkan perempuan mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan dokumen-dokumen resmi lainnya. Termasuk semakin memungkinkan kaum perempuan untuk beperjalanan sendirian. Ini juga merupakan manfaat bagi perempuan yang menjadi janda, bercerai, atau ibu tunggal alias single mother. Meskipun terlihat biasa atau umum bila dibandingkan di Indonesia, hal itu adalah capaian lebih maju lagi bagi kaum perempuan yang sebelumnya ditindas habis-habisan di bawah rezim bigot-fundamentalis Taliban yang hanya digantikan oleh rezim pendudukan imperialis pimpinan Amerika Serikat (AS).  Sementara itu, kaum perempuan di Argentina berhasil memenangkan hak reproduktif, termasuk hak untuk aborsi. Selain itu upah setara juga diraih para pemain sepakbola perempuan di Brazil dan Sierra Leona. Kemenangan juga diraih kaum perempuan dalam perjuangan melawan Islamofobia berupa akan dicabutnya larangan hijab di Wallonia atau Belgia selatan mulai September 2021. Kemenangan melawan heteroseksisme juga diraih gerakan pembebasan perempuan dan LGBT di beberapa negara. Misalnya hak pernikahan sesama jenis di Irlandia Utara dan dilarangnya homofobia serta transfobia di Brazil. Selanjutnya pengesahan UU Pernikahan Sesama Jenis di Swiss dan penyederhanaan pengakuan jenis kelamin yang tidak lagi terikat norma heteroseksual. Meskipun masih harus melalui referendum tahun 2021.

Kedua, kemenangan gerakan pembebasan perempuan berupa reforma atau tunjangan/fasilitas bagi kaum perempuan. Misalnya di Mexico, gerakan pembebasan perempuan berhasil mendesakkan disahkannya program perluasan akses jaminan sosial dan layanan kesehatan bagi para pekerja rumah tangga. Meskipun ini reforma bagi kelas buruh di ranah itu secara keseluruhan. Namun kaum perempuan juga turut menikmatinya karena mayoritas pekerja rumah tangga adalah kaum perempuan. Selain itu, kemenangan sementara berupa dikalahkan kudeta kaum Kanan di Bolivia dan dikuasainya kembali kabinet oleh Movimiento al Socialismo–Instrumento Político por la Soberanía de los Pueblos (MAS-IPSP) atau Gerakan ke Sosialisme – Alat Politik Kedaulatan Rakyat , turut membawa kemenangan bagi kaum perempuan. Karena kabinet MAS di Bolivia menyertakan kebijakan memberikan tunjangan bagi perempuan hamil.

Ketiga, kemenangan gerakan pembebasan perempuan berupa pembebasan dan pengurangan hukuman bagi aktivis perempuan. Ini bisa ditemukan di Timur Tengah. Loujain Al-Hathoul, aktivis perempuan yang dipenjara karena memperjuangkan hak mengemudi di Arab Saudi, akhirnya dibebaskan setelah sekian lama rezim Arab Saudi didesak kampanye solidaritas internasional untuknya.  Meskipun tentu saja juga ada faktor kelonggaran yang terpaksa harus diberikan rezim Arab Saudi karena tengah menerapkan beberapa liberalisasi di sektor ekonomi, bisnis, budaya, agama, dan lainnya. Rezim penindas yang berkuasa di Arab Saudi bukan hanya harus meliberalisasi ekonomi bisnis (dan karenanya dalam derajat tertentu juga harus meliberalisasi budaya dan agama) untuk beralih dari ketergantungan ke minyak yang sudah makin sedikit di satu sisi, namun juga di sisi lain masih menghadapi persaingan geopolitik dengan Iran pada umumnya dan perang melawan pemberontak Houthi pada khususnya. Pembebasan Loujain Al-Hathoul bukan hanya harus dilihat sebagai kompromi rezim Saudi namun juga upaya mengurangi konflik yang dihadapinya. Dengan kata lain bukan karena kesadaran apalagi kebaikan penguasa. Apalagi masih banyak aktivis perempuan yang belum dibebaskan dari penjara.  Sementara itu di Iran, Yasaman Aryani, aktivis perempuan yang ditangkap dan diinterogasi pada 10 April 2019 karena aksi membagikan bunga tanpa kerudung (menuntut kebebasan berbusana bagi kaum perempuan), serta dipaksa mengaku disuruh oleh oposisi luar negeri, mendapatkan masa pengurangan tahanan menjadi sembilan tahun tujuh bulan (dari sebelumnya vonis 16 tahun penjara). Meskipun ini bukan capaian yang memadai, namun menunjukkan bahwasanya kampanye solidaritas internasional dalam hal pembebasan perempuan bisa memberikan pengaruh.

Keempat, kemenangan gerakan pembebasan perempuan berupa penyingkiran kaum seksis. Kritik dan protes gerakan perempuan di Jepang berhasil mengakibatkan Mori Yoshiro, Presiden Komite Pengorganisiran Olimpiade Tokyo 2020, mundur dari jabatannya, setelah ia sebelumnya berkomentar mencap perempuan terlalu banyak omong dan punya rasa saing tinggi. Hal serupa juga terjadi di AS, TJ Ducklo, wakil sekretaris pers Gedung Putih mundur setelah sebelumnya diprotes karena dia mengancam akan menghancurkan Tara Palmer, jurnalis perempuan media Politico, yang meliput skandal perselingkuhan TJ Ducklo dengan jurnalis lain. TJ Ducklo juga sebelumnya menganggap Tara Palmer meliput itu karena cemburu. Orang seksis lainnya yang berhasil dipaksa mengundurkan diri adalah Blake Neff, salah satu penulis untuk Fox News. Warganet melaporkan Blake Neff adalah sosok di balik nama palsu CharlesXII yang selama ini membuat komentar-komentar merendahkan kaum perempuan, kaum kulit hitam, Asia, serta menyebarkan konten pribadi sekaligus melakukan pelecehan-pelecehan verbal terhadap seorang perempuan di forum daring AutoAdmit. Investigasi dilangsungkan dan sang pelaku dipecat.

Selain di luar empat bentuk kemenangan demikian, masih ada beberapa perkembangan, yang sebenarnya belum bisa disebut kemenangan, tapi merupakan kemajuan positif bagi perjuangan melawan seksisme serta penindasan terhadap perempuan. A: Penyintas semakin banyak yang berani bersuara dan melawan balik pelaku kekerasan seksual. Semakin banyak penyintas yang memecah kebungkaman dan menuntut keadilan serta hak-haknya dalam berbagai cara. Baik berupa kesaksian, mobilisasi sosial, maupun laporan hukum, meskipun kepolisian sering bias gender sekaligus belum tentu berpihak ke korban. B: demonstrasi, foto berantai dukungan, petisi, diskusi-konsolidasi, yang bisa bermunculan lintas wilayah (bukan hanya di kota atau kabupaten kejadian perkara), menunjukkan bahwa aktivisme solidaritas mendukung penyintas melawan kekerasan seksual sudah menjadi keumuman. Banyak penyintas yang berani bersuara ke terinspirasi perjuangan dan solidaritas melawan kekerasan seksual lainnya. Mereka juga saling dukung saat kekerasan seksual dilakukan pelaku lain/baru. Baiq Nuril misalnya yang kemudian bergabung Koalisi Perempuan Anti-Kekerasan  kemudian mendukung jurnalis perempuan di Lombok Utara yang dilecehkan saat berolahraga dan kemudian melakukan perlawanan terhadap pelaku. Jaringan solidaritas yang terbentuk dalam melawan kekerasan seksual itu seringkali juga berlanjut menjadi jaringan seperjuangan di isu perlawanan lainnya, misalnya aliansi penolak UU ITE dan aliansi anti-Omnibus Law, serta lain sebagainya.

Semua ini merupakan capaian-capaian pergerakan pembebasan perempuan yang patut dirayakan dan dihargai, betapapun kecil dan sementara sifat kemenangan ataupun perkembangan demikian. Menyimak dan menilai serta mempelajari kemenangan-kemenangan demikian penting bukan hanya untuk menjaga daya juang pergerakan pembebasan perempuan di masa pandemi ini. Namun juga untuk memahami hal-hal yang memungkinkan kemenangan-kemenangan demikian, sehingga bisa dipelajari aktivis dan organisasi gerakan pembebasan perempuan di belahan dunia lainnya.

Tentu saja juga sama pentingnya untuk menyimak sekaligus mempelajari, ranah-ranah, kasus-kasus, dan atau isu-isu dimana pergerakan pembebasan perempuan serta rakyat, yang mengalami stalemate alias seri dan kebuntuan, gagal, maupun belum mencapai kemenangan. Termasuk terkait perjuangan melawan kekerasan seksual. Anindya Joediono, penyintas pelecehan intel polisi Surabaya dalam penyerbuan dan pembubaran diskusi Papua yang dikriminalisasi lewat UU ITE, bersama para pendukungnya yang bersolidaritas sempat menggelar berbagai demonstrasi, dan juga melaporkan balik pelaku ke Propam. Namun kasusnya tidak diteruskan dan dibiarkan mengambang. Kriminalisasi terhadap penyintas tidak benar-benar dihapuskan tapi di sisi lain laporan pelecehan juga tidak dilanjutkan prosesnya. Besar dugaan, aparat ingin meminimalisasi perlawanan balik, terutama setelah meletus aksi massa anti-rasisme besar-besaran di Papua, mengecam serangan rasisme-premanisme yang memaki monyet terhadap para penghuni asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Serupa dengan itu, Baiq Nuril, penyintas kekerasan seksual yang justru dikriminalisasi UU ITE, tidak mendapatkan hak-haknya seutuhnya apalagi menerima penegakan keadilan sejati. Secara hukum, ia dikalahkan di pengadilan, bahkan mahkamah memperberat kriminalisasinya. Meskipun banyaknya demonstrasi dan berbagai aktivisme solidaritas untuk Baiq Nuril, membuat negara tidak menjalankan vonisnya. Namun pelaku kekerasan seksual tetap bebas tidak dihukum.

Dari segi internasional, salah satu kekalahan dan kemunduran yang paling dsayangkan adalah kooptasi Pawai Perempuan atau Women’s March di AS. WM sebagai gerakan massa menentang rezim Donald Trump serta semua seksisme yang diwakilinya sempat meledak dan menjalar, menginspirasi perlawanan dan jaringan WM di negara-negara lainnya, termasuk Indonesia. Sayangnya WM di AS kemudian dikanalkan untuk menjadi salah satu pendukung kampanye Partai Demokrat yang mencalonkan Joe Biden dan Kamala Harris sebagai calon presiden (capres) dan wakil presiden (wapres). Bukan hanya Biden sendiri punya rekam jejak bermasalah, dari terduga pelaku pelecehan seksual, penentang penghapusan pemisahan sosial di ruang publik berdasarkan perbedaan warna kulit, namun juga memiliki rekam jejak sebagai seorang imperialis. Harris pun juga bermasalah, karena sebagai polisi dan jaksa penuntut wilayah, ia turut berperan dalam kriminalisasi rasis terhadap kaum kulit hitam, serta memperparah kesengsaraan perempuan kulit hitam di AS. Selama menjabat dulu, Harris membuat banyak kebijakan yang mengkriminalisasi perempuan pekerja miskin. Orang tua, khususnya kaum ibu, yang jatuh bangun membanting tulang dan sebagai efek sampingnya tidak selalu bisa menyekolahkan anaknya, bukannya dibantu tapi malah ditangkap dan dipenjara dengan dalih membuat anak sering bolos. Lebih parahnya lagi, banyak anak dari yang ibunya dipenjara tadi juga mengalami masalah kesehatan, yang sekali lagi alih-alih dibantu negara, malah disengsarakan.  Kanalisasi WM sebagai juru kampanye Biden-Harris ini merugikan gerakan pembebasan perempuan dan rakyat. Terakhir kali WM menggelar demonstrasi adalah Oktober 2020 menjelang Pilpres AS dan menyerukan pilih Biden-Harris. Begitu Biden-Harris menang demo WM diganti demo daring dan tahun 2021 ini demo ditiadakan serta diganti survei nasional. Dalihnya situasi pandemi, bahaya untuk demo. Padahal saat Biden-Harris belum menang dan pandemi sudah terjadi di AS, WM masih berdemo. Dikooptasinya pusat gerakan WM ini secara langsung atau tidak langsung turut memundurkan WM secara internasional. Ia menandai bukan hanya kegagalan politik identitas namun juga ketiadaan penyelarasan untuk melahirkan praksis pergerakan pembebasan perempuan militan, revolusioner, dengan menarik garis kelas yang tegas. Akibatnya dikooptasi kelas borjuasi. Ini karenanya berbeda misalnya bila dibandingkan dengan Black Lives Matter.

Kesimpulannya, aksi massa berperan vital dalam gerakan pembebasan perempuan, termasuk di masa pandemi. Sejarah pergerakan pembebasan perempuan diwarnai bukan hanya aksi demonstrasi, tapi juga pemogokan, pendudukan, bahkan revolusi, demi merebut hak-haknya. Masa krisis kini juga masa polarisasi kanan-kiri, bahaya bila gerakan perempuan menggantungkan diri pada lobi-lobi apalagi kolaborasi kelas. Sementara kaum Kanan seksis (termasuk fasis dan rasis) tidak sungkan aksi massa dan aksi langsung. Termasuk untuk menyerang gerakan perempuan. Rezim dan penindas pada umumnya tidak akan mau menuruti tuntutan-tuntutan gerakan pemebasan perempuan kalau tidak merasa terdesak dan terancam. Karena itu aksi-aksi massa, pengorganisiran akar rumput kaum perempuan, harus kembali digalakkan. Termasuk dengan mendayagunakan teori-praktik revolusioner.

Ditulis oleh Najma Hamra | Anggota Sosialis Muda

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 105, I-II Maret 2021, dengan judul yang sama.

SUMBER:

Bender, Albert. 2020. Bolivia Feeds Its Hungry While Republicans Let Americans Starve. People’s World (Daring), diakses di https://www.peoplesworld.org/article/bolivia-feeds-its-hungry-while-republicans-let-americans-starve/

Kucharska, Marta. 2020. As Poland’s Women’s Movement Celebrates a Tentative Victory, LGBTIActivists Are Still Fighting Pis’s Ugly Culture War. Equal Times (daring), diakses di https://www.equaltimes.org/as-poland-s-women-s-movement#.YDi4AqtR3Dd.

OrissaPost. 2020. Fox News Top Writer Resigns Over Racist and Sexist Comments Online. Daring. Diakses di https://www.orissapost.com/fox-news-top-writer-resigns-over-racist-and-sexist-comments-online/.

Redden, Molly. 2019. The Human Costs of Kamala Harris’ War On Truancy. Huffpost (daring), diakses di https://www.huffpost.com/entry/kamala-harris-truancy-arrests-2020-progressive-prosecutor_n_5c995789e4b0f7bfa1b57d2e

Smoke, Ben Charlie. 2020. Pandemi Tak Melulu Suram, Muncul kabar Baik Penegakan HAM di Berbagai Negara. Vice (daring), diakses di https://www.vice.com/id/article/z3vkj8/berbagai-kampanye-write-for-rights-amnesty-international-2020-berhasil-memicu-penegakan-ham.

TRTWorld. 2020. Lifting of Hijab Ban in Southern Belgium Offers Hope for Muslim Women. Daring. Diakses di https://www.trtworld.com/magazine/lifting-of-hijab-ban-in-southern-belgium-offers-hope-for-muslim-women-43365.

UN Women. 2020. Ten Defining Moments for Women in 2020. Medium (Daring), diakses di https://un-women.medium.com/ten-defining-moments-for-women-in-2020-91677ff82b51.Varia, NIsha. 2020. 2021 Promises Better Protection for Women from Violence, Harassment at Work. Human Rights Watch (Daring), diakses di https://www.hrw.org/news/2020/11/13/2021-promises-better-protection-women-violence-harassment-work.

Loading

Comment here