Sejak memasuki tahun 2021, aksi massa terus berlangsung di berbagai belahan dunia. Gerakan buruh dan rakyat lain terus bergerak melawan rezim yang semakin mengebiri demokrasi dan menindas mereka. Ini semua terjadi bahkan saat dunia masih dilanda pandemi Covid-19.
Pada hari Sabtu 6 Februari, ribuan petani memblokir jalan-jalan utama dengan traktor, truk, batu besar, dan tenda darurat di berbagai wilayah di India. Puluhan ribu polisi dikerahkan di seluruh India untuk meredam aksi-aksi petani dengan memasang barikade penghalang jalan di persimpangan jalan utama. Pemerintah juga menekan tenda-tenda protes petani dengan memotong akses internet dan pasokan air. Bulan lalu (26/01/2021), aksi yang dilancarkan petani ini sempat memukul mundur barikade-barikade polisi. Bentrokan terjadi hingga menimbulkan satu orang tewas dan ratusan lainnya terluka.
Para petani melancarkan aksi ini untuk menolak kebijakan parlemen India yang mengesahkan tiga butir Undang-undang Pertanian pada bulan September tahun 2020 lalu. Pemerintahan Narendra Modi mengatakan UU Pertanian baru ini sangat penting untuk memodernisasi pertanian India. Ini diwujudkan dengan melakukan efisiensi mata rantai pemasaran dan sekaligus mengundang lebih banyak investor di sektor pertanian. Pemerintah menganggap hal ini akan semakin menguntungkan dan mensejahterahkan para petani. Namun para petani khawatir mereka akan kehilangan daya tawar ketika menghadapi tekanan dari pasar bebas dan korporasi-korporasi besar yang ingin membeli komoditas mereka dengan harga yang lebih rendah karena UU ini. Sebelumnya, para petani mempunyai jaring pengaman melalui UU Pemasaran yang ditetapkan oleh tiap negara bagian pada dekade 1960an. UU Pemasaran ini pada dasarnya mengatur sistem pemasaran dan kepastian harga komoditas tani. Akan tetapi, para petani menganggap jaring pengaman yang mereka punya akan dihapuskan oleh UU Pertanian yang baru dibuat tersebut.
Protes yang dilakukan oleh para petani India terus mendapatkan dukungan yang luas, tidak hanya dari petani dan buruh, tapi juga dari kalangan menengah, aktivis lingkungan, dan para artis. Pada bulan Desember lalu, BBC mencatat mogok nasional untuk menolak UU ini dilakukan oleh sekitar 250 juta orang di seluruh India, salah satu mogok terbesar yang pernah dicatat dalam sejarah. Meskipun pertanian bukan merupakan sektor utama di India (hanya menyumbang sekitar 15 persen Produk Domestik Bruto), namun sekitar setengah dari pekerja di India merupakan kaum tani. Apalagi, sejak masa pandemi, banyak penduduk kota yang terdesak kembali ke desa untuk mengambangkan sektor pertanian. Oleh sebab itu, digerogotinya sektor pertanian oleh UU baru ini terus mendapatkan perlawanan yang luas.
Sementara itu, kudeta militer terjadi di Myanmar pada 1 Februari lalu. Kudeta terjadi setelah angkatan bersenjata menahan sejumlah pimpinan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), termasuk Aun Suu Kyi, pimpinan partai tersebut. Militer tidak mengakui kemenangan mutlak NLD atas partai oposisi (Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan) yang didukung Militer dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 8 November 2020. Militer menganggap pemilu tersebut penuh dengan kecurangan, meskipun Komisi Pemelihan mengatakan tidak ada bukti yang mendukung klaim mereka. Kondisi Darurat Militer diumumkan selama satu tahun dan Militer berjanji akan mengadakan Pemilu ulang setelah kudeta tersebut.
Rakyat Myanmar sebelumnya telah beberapa kali merasakan pahitnya hidup di bawah kediktatoran rezim Militer. Mereka ingin mempertahankan demokrasi yang mereka raih sejauh ini. Sejak 6 Februari, Rakyat Myanmar karena itu semakin masif mendesak diakhirinya pemerintahan Militer dan menuntut pembebasan para tokoh yang ditahan. Walaupun tanggapan ini tergolong lambat karena masih kuatnya cengkraman Militer dan lemahnya kepemimpinan NLD, Partai Liberal, selama ini dalam mempertahankan demokrasi di Myanmar, ratusan ribu rakyat Myanmar tetap turun ke jalan untuk menentang kudeta Militer ini.
Kampanye pembangkangan sipil pun diserukan. Kelas pekerja berada di garis depan dalam berbagai demonstrasi. Perawat, dokter, guru, dosen, mahasiswa, pekerja pabrik dan kereta api, pengacara, pegawai negeri sipil, dan bahkan beberapa anggota kepolisian telah melakukan mogok kerja dan pembelotan untuk melumpuhkan legitimasi pemerintahan militer. Komunitas LGBT dan etnis minoritas sering diskriminasi juga menjadi bagian dari protes ini. Jalan-jalan dilumpuhkan dengan sengaja memarkirkan mobil yang mogok di tengah jalan. Masyarakat yang tidak turun ke jalan juga turut bersolidaritas dengan membunyikan klakson mobil dan memukul panci dan kaleng dari dalam rumah mereka. Seruan untuk memboikot perusahaan-perusahaan yang dimiliki militer juga dilakukan untuk memotong sumber pendanaan mereka.
Beberapa kali Militer memblokir akses internet untuk meredam aksi melawan kudeta. Mereka juga memberikan ancaman 20 tahun penjara dan sejumlah denda bagi siapa saja yang menghalangi dan menghina kepemimpinan Junta Militer. Terdapat kabar bahwa Militer menggunakan para preman untuk memecah belah massa aksi dan menciptakan kerusuhan. Di beberapa tempat, polisi menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa aksi. Sampai 18 Februari, sudah hampir 500 demonstran yang ditangkap aparat. Salah satu peserta aksi bahkan dinyatakan tewas pada 19 Februari karena peluru tajam bersarang di kepalanya setelah 10 hari kritis dirawat di rumah sakit. Meskipun ada upaya pembungkaman, hampir tiap hari jalan-jalan utama di Myanmar lumpuh karena demonstrasi ini.
Sama dengan Myanmar, ribuan orang di Haiti juga melakukan demonstrasi di Ibukota, Port-au-Prince, untuk menuntut pengunduran diri Presiden Jovenel Moise pada 14 Februari lalu. Mereka menganggap pemerintahan Jovenel sudah membangun kediktatoran baru dan menolak dukungan internasional yang dilayangkan oleh sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, untuk Jovenel. Massa mengibarkan bendera nasional dan meneriakkan slogan “Turunkan Kediktatoran!”. Beberapa puing-puing dan barikade ban pun juga dibakar sebagai bentuk protes. Bentrokan terjadi di beberapa tempat setelah polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa aksi. Sejumlah demonstran dilaporkan terluka akibat represifitas tersebut. Beberapa laporan menyebutkan terdapat bentrok antara massa aksi dan sekelompok preman yang diorganisir oleh polisi. Demontrasi semacam ini sudah berlangsung selama berbulan-bulan di Haiti.
Kubu oposisi utama Jovenel di pemerintahan mengklaim pemerintahan Jovenel sudah berakhir pada hari minggu, 7 Februari 2021. Ini mengikuti siklus pemilu 5 tahunan di Haiti yang berlangsung tahun 2015 yang dimenangkan oleh kubu Jovenel. Hasil ini lalu disengketakan karena tuduhan kecurangan, penipuan, dan korupsi yang dilakukan oleh kubu pemenang. Pemilu ulang pun kembali digelar bulan November 2016, yang menyatakan Jovenel kembali menang di putaran pertama. Terlepas dari adanya bukti kecurangan dan protes yang terjadi, Jovenel tetap dilantik menjadi presiden pada Februari 2017. Kubu Jovanel mengacu pada pelantikan ini untuk menandai mulainya kekuasaan mereka, sedangkan kubi oposisi berpendapat proses peralihan kekuasaan sudah terjadi sejak pemilu 2015 dan Jovenel sudah mengambil alih kekuasaan tahun 2016 sebagaimana siklus pemilihan biasa meskipun terdapat sengketa yang terjadi.
Pada 7 Februari lalu, Jovenel mengaku telah menggagalkan upaya pembunuhan dan kudeta terhadap dirinya. 23 orang ditahan setelah peristiwa tersebut termasuk seorang pejabat polisi nasional dan hakim senior Mahkamah Agung, Ivickel Debresil, yang dimaksudkan untuk menjadi “presiden sementara” menggantikan Jovanel oleh kubu oposisi. Peristiwa ini menjadi legitimasi Rezim Jovanel untuk merepresi semua pihak yang bertentangan dengannya.
Terlepas dari perselisihan kedua kubu borjuis tersebut, Rakyat Haiti sebenarnya sudah bertahun-tahun melawan kekuasaan rezim Jovenel. Mereka menganggap rezim ini sebagai “korup” dan “tidak bertanggung jawab”. Selama pemerintahan Jovenel, terjadi lonjakan angka kriminalitas, standar hidup yang semakin buruk, di mana hampir 60% masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan, dan diperparah dengan munculnya pandemi. Jovenel juga gagal menyelenggarakan pemilihan legislatif Oktober 2019 lalu yang membuat Haiti tidak mempunyai parlemen. Untuk itulah, rakyat Haiti terus melawan kediktatoran Jovenel ini.
Di Turki, selama lebih dari satu bulan terakhir, gerakan mahasiswa bangkit memprotes pemilihan Rektor salah satu Universitas terpopuler di Turki, Universitas Bogazici, oleh Presiden Erdogan. Sejak kudeta gagal di tahun 2016, Erdogan memperkuat upaya untuk melawan musuh-musuh politiknya. Ini salah satunya dilakukan dengan kewenangan yang ia miliki dalam memilih rektor di universitas-universitas Turki untuk mengontrol sistem sosial dan akademik kampus. Para pendukung Erdogan berdalih kebijakan tersebut dapat mengatasi elitisme di perguruan tinggi dan meningkatkan kualitas pendidikan Turki. Namun mahasiswa bersama dosen dan staf Universitas Bogazici menganggap pemilihan ini sebagai kebijakan anti demokrasi. Mereka ingin mempertahankan tradisi dipilihnya rektor secara independen. Apalagi Melih Bulu, rektor pilihan Erdogan, merupakan loyalis Partai Keadilan dan Pembangunan, partai berkuasa Erdogan saat ini.
Demonstrasi menuntut pengunduran diri rektor pilihan ini meluas. Tidak hanya di sekitar Universitas Bogazici, tapi juga di kampus-kampus lain. Hasil jajak pendapat yang dipublikasikan pada Rabu 3 Februari menunjukkan 69 persen orang Turki menolak penunjukkan rektor universitas yang terkait secara politik. Beberapa laporan menyamakan gelombang protes ini dengan aksi massa yang terjadi tahun 2013. Aksi menolak pembongkaran Taman Gezi di pusat kota Istanbul saat itu berkembang menjadi tuntutan agar Erdogan mundur dari jabatannya.
Demonstrasi berlangsung di beberapa tempat di Istanbul dan 38 kota lain di seluruh Turki. Polisi tertangkap memukul, menyeret, menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk merepresi massa aksi. Sampai 18 Februari, kepolisian dilaporkan telah menangkap dan melakukan penggerebekan terhadap lebih dari 560 orang massa aksi, dengan 9 orang saat ini dalam penahanan praperadilan dan lebih dari 25 dalam tahanan rumah. Ratusan orang sudah dibebaskan, tetapi banyak dikenakan wajib lapor ke kantor polisi terdekat dalam waktu yang tidak ditentukan. Sebelumnya, 2 mahasiswa juga ditangkap di Universitas Bogazici karena membuat poster dukungan untuk LGBT dalam aksi tersebut.
Erdogan menyebut para demonstran ini sebagai teroris dan berpikiran sempit. Kepolisian juga melarang diadakannya aksi karena alasan pandemi. Meskipun demikian, mahasiswa tetap tidak menerima tuduhan dan berkompromi dengan kebijakan anti demokrasi tersebut. Beberapa Universitas Turki, termasuk Bogazici, memang terkenal mempunyai sejarah panjang aktivisme politik sejak tahun 1960-an. Mereka bahkan mendukung hak-hak kaum LGBT dan tidak memperbolehkan polisi masuk kampus tanpa izin rektor universitas.
Kemudian, protes di Catalunya, Spanyol, pada 21 Februari telah memasuki malam kelima. Ribuan orang turun di jalan-jalan kota untuk memprotes ditangkapnya seorang Rapper, Pablo Hasel, dengan tuduhan mengagungkan terorisme dan menghina keluarga kerajaan. Ia divonis hukuman penjara sembilan bulan karena perbuatannya ini. Pablo Hasel memang terkenal radikal dalam lagu-lagunya, acap kali mengkritik pemerintah, dan bersimpati terhadap gerakan anti-fasis Marxis di media sosialnya.
Protes di alun-alun kota awalnya berlangsung damai. Massa bertepuk tangan dan meneriakkan “Tidak ada lagi kekerasan polisi” dan “Kebebasan untuk Pablo Hasel”, yang ditahan di kota Lleida sejak selasa, 16 Februari. Namun bentrok terjadi setelah polisi anti huru hara menyerang kerumunan dengan tongkat dan massa aksi mulai melemparkan botol kaca dan benda-benda ke arah polisi. Polisi kemudian menembakkan gas air mata, peluru karet, dan bom suara ke ribuan massa aksi. Para demonstran kemudian mendirikan barikade dan menghancurkan jendela etalase toko-toko utama di pusat kota Barcelona untuk menghindari represifitas polisi. Sampai 21 Januari, Ratusan orang sudah ditangkap dan banyak yang terluka karena protes ini.
Di tengah badai represi, dukungan yang diberikan untuk pembebasan Pablo Hasel terus meluas. Sejumlah artis, selebriti, dan politisi juga memberikan dukungan mereka dan memprotes Undang-undang yang menjerat Hasel sebagai “lelucon” karena semakin membahayakan kebebasan berekspresi dan berpendapat di Spanyol.
Gelombang protes yang terjadi di berbagai belahan dunia tersebut menunjukkan rapuhnya sistem hari ini. Letupan-letupan perlawanan akan selalu bermunculan untuk meperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Kepemimpinan politik revolusioner oleh karenanya sangat diperlukan untuk membawa perlawanan tersebut pada kemenangan.
Ditulis oleh Tirta Adi Wijaya | Anggota Lingkar Studi Kerakyatan
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 105, I-II Maret 2021, dengan judul yang sama.
Comment here