Rasisme adalah prasangka yang menganggap seolah ras tertentu (dibandingkan ras lainnya) memiliki sifat maupun kelakuan buruk sebagai bawaan hakiki, biologis, maupun turun-temurun, sekaligus persekusi ataupun penindasan sistematis berdasarkan prasangka tersebut. Rasisme dalam beberapa kasus juga diiringi mitos kemahaunggulan ras dari pelaku rasisme tersebut sebagai pembenaran menguasai atau menindas ras lainnya. Pertama kali rasisme muncul dari perbudakan modern pada masa awal kapitalisme oleh para kapitalis Eropa dan Amerika untuk memperbudak kaum kulit hitam Afrika di perkebunan-perkebunan wilayah mereka. Dalam perkembangannya, rasisme bukan lagi hanya menggunakan superioritas biologis, namun juga perbedaan etnis, budaya, dan bahkan agama. Rasisme demikian juga berkembang di Indonesia.
Sedangkan di Indonesia, rasisme dimunculkan sejak masa kolonial Hindia Belanda. Rezim kolonial saat itu menggunakan rasisme untuk memberikan garis tegas atau pembedaan antara bangsa yang memerintah dan mayoritas mereka yang diperintah. Tahun 1854 pemerintah kolonial membentuk undang-undang segregatif untuk melembagakan rasisme ini. Undang-undang tersebut mengatur pemisahan rasial dalam tiga tingkatan status sosial. Kelas pertama adalah golongan European atau orang-orang kulit putih Eropa. Kedua, golongan Vreemde Oosterlingen atau Timur Asing, meliputi orang (peranakan) Tionghoa, India, Arab, dan orang non-Eropa lainnya. Sementara golongan terbawah atau ketiga adalah “Pribumi”.
Istilah pribumi digunakan kolonialisme eropa untuk mengategorikan orang yang sebelumnya tinggal di wilayah tempat mereka berkuasa. Kata ini berasal dari kata inlander yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Melayu Pasar sebagai pribumi. Sedangkan kata vreemde berarti asing. Kata yang disematkan pada orang Timur ini tidak dilekatkan pada orang-orang Belanda maupun Eropa padahal mereka juga pendatang di wilayah Nusantara. “Ketiadaan kata ‘vreemde’ ini menyiratkan bahwa orang Eropa berkuasa atas tanah jajahan beserta orang Pribumi dan Timur Asing yang tinggal di dalamnya.” (Abdulsalam). Dhakidae (2003) mengungkap pembedaan ras itu turut mengakibatkan konflik antara inlander melawan vremde oosterlingen. Akibat dari pemisahan rasial ini, banyak kaum pribumi yang dipekerjakan di tempat-tempat yang paling berat, kotor, dan sangat menyedihkan sebagai kuli rendahan, sedangkan orang-orang Belanda menjadi para pimpinan perusahaan. Bahkan, meskipun mereka punya pekerjaan yang sama, gaji orang pribumi jauh lebih rendah. Misalnya serdadu militer pribumi rendahan punya gaji hampir separuh dari serdadu Eropa. Begitupun gaji pegawai pribumi di birokrasi pemerintahan dan institusi lain. Tindakan ini serupa dengan yang dilakukan oleh kapitalis-kolonial Eropa untuk mendapatkan tenaga kerja murah di Afrika.
Dalam kehidupan sehari-hari orang-orang kulit putih juga menempatkan diri pada posisi lebih tinggi. Di tempat-tempat tertentu, pribumi dianggap sama dengan binatang. Ada tanda larangan bagi pribumi bertuliskan “Verboden voor honden en inlander” di societeit atau kolam renang yang artinya “Dilarang masuk bagi anjing dan pribumi”. Di Gemeenterad (Dewan Kota) Bandung pada tahun 1935, ketua fraksi IEV Bandung, Insinyur Dessauvagie pernah berpidato menghina pribumi dengan mengatakan “Inlander sama saja dengan 30 juta kerbau,” (Wicaksono, Agustus 18, 2019). Pramodya Ananta Toer menggambarkan rasisme ini dalam novel Tetralogi Pulau Buru, salah satunya lewah tokoh utama bernama “Minke” yang merupakan plesetan dari kata “Monyet” yang dilekatkan oleh guru rasis serta teman-teman Eropa di sekolahnya.
Rezim kolonial Hindia-Belanda juga melakukan kebijakan segregasi pemukiman yang membatasi orang harus tinggal di kampung-kampung berdasarkan ras atau etnisnya. Oleh karenanya, saat itu terdapat istilah Kampung Cina, Kampung Melayu, Kampung Arab, dan lain-lain. Kebijakan ini mirip politik pemisahan bernama “Apartheid” yang dilakukan oleh orang-orang Eropa di Afrika Selatan sejak tahun 1930 sampai 1990. Segregasi ini bertujuan untuk mempermudah pengekangan setiap ras dan merepresi jika mereka melakukan perlawanan. Ini terjadi misalnya pada peristiwa Geger Pecinan di Batavia tahun 1740, ketika Belanda membantai kurang lebih 10.000 orang Tionghoa karena dituduh melawan rezim kolonial. Pembantaian keji itu bahkan membuat kota terbakar hebat selama satu minggu dan mengakibatkan Sungai Angke menjadi merah karena darah korban tewas. Sayangnya kaum pribumi juga terlibat dalam pembantaian itu.
Sebenarnya, sejak imigrasi besar-besaran warga Tionghoa pada abad ke-17 di Batavia, kaum Tionghoa punya hubungan harmonis dengan penduduk setempat. Namun kemampuan mereka dalam berdagang dan berbaur membuat pemerintah kolonial cemas. Mereka khawatir kaum pribumi akan lebih bersimpati kepada kaum Tionghoa sehingga usaha mereka untuk menguasai Nusantara tidak tercapai. Maka dibuatlah kontruksi sosial agar kaum pribumi membenci kaum Tionghoa baik oleh penguasa kolonial maupun feodal Jawa. “Orang-orang Tionghoa oleh para Sultan Jawa dijadikan bandar-bandar pemungut pajak di jalan-jalan utama. Karena efektifnya orang-orang Tionghoa dalam memungut pajak, Inggris dan Belanda pun melakukan hal yang sama pada daerah-daerah yang mereka kuasai.” (Dhani). Akibatnya, kebencian kaum pribumi terhadap kaum Tionghoa menyebar luas tanpa sempat ada rekonsiliasi atau penyelesaian. Selain peristiwa Geger Pecinan, kaum Tionghoa, tak peduli perempuan atau anak-anak, juga banyak dibunuh pada masa Perang Jawa tahun 1825. Ada pula kerusuhan rasial di Solo tahun 1912 dan kerusuhan di Kudus pada 1918, saat Belanda mengadu domba pedagang Islam keturunan Arab—anggota Serikat Islam (SI)—dengan pedagang Tionghoa.
Periode Pasca Kemerdekaan: Peralihan Ras yang Tertindas dan Menindas
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945, walaupun sudah menjunjung tinggi persatuan nasional tanpa membeda-bedakan suku, ras, maupun agama melalui Sumpah Pemuda 1928, bukan berarti praktek rasisme kolonial lenyap. Rasisme malah tetap tumbuh dengan menukar posisi ras yang dimuliakan dan dinistakan. Selama periode agresi militer Belanda tahun 1945-1949 contohnya, banyak sekali kekerasan politik rasial terhadap ratusan ribu warga minoritas Eropa atau Indo seiring dengan menguatnya sentimen anti asing. Kekerasan ini, termasuk pembunuhan dan pemerkosaan, juga dialami oleh minoritas Tionghoa seperti yang terjadi di Tangerang tahun 1946, Bagan Siapi-api 1946, dan di Palembang pada 1947. Ini ironis sebab banyak sekali tokoh-tokoh Tionghoa serta tokoh dan komunitas internasional lain yang juga terlibat mendukung proses kemerdekaan. Misalnya dukungan yang diberikan oleh serikat buruh pelabuhan Australia dari berbagai latar belakang kebangsaan dengan melancarkan pemogokan terhadap kapal-kapal Belanda yang membawa pasukan dan senjata untuk melakukan agresi militer dan berkuasa kembali di Indonesia pada 1945. Mereka beranggapan bahwa musuh mereka bukanlah mereka yang punya latar belakang kebangsaan berbeda, namun orang-orang kolonial-kapitalis yang menindas sesama kelas mereka.
Pada masa Soekarno, terdapat Peraturan Presiden Republik (PP) Indonesia No. 10/1959 yang isinya melarang orang asing memiliki dan menjalankan usaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibukota daerah) serta mewajibkan pengalihan usaha mereka kepada warga negara Indonesia. Namun, kebijakan ini sebenarnya mengandung rasisme yang menyasar kaum Tionghoa. Sebab dari daftar 86.690 pedagang kecil asing, 90% nya adalah kaum Tionghoa. Menurut Leo Suryadinata, akademisi Universitas Nasional Singapura, kaum Tionghoa pada zaman kolonial mayoritas hanyalah pedagang kecil, namun mengalami peningkatan bisnis yang pesat setelah kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, para pengusaha dan pedagang yang mengaku pribumi tidak bisa bersaing sehingga praktik rasisme dilembagakan lewat PP tersebut. Akibatnya, praktik berdagang kaum Tionghoa tidak hanya dilarang, tapi barang-barang dagangannya juga dirampas. Beberapa orang Tionghoa tewas karena mempertahankan dagangannya. Kejadian ini membuat pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) geram dan melayangkan protes. Huang Chen, duta besar RRT di Jakarta, mendesak agar penerapan PP No. 10/1959 ditinjau kembali oleh Menteri Soebandrio namun Soebandrio mengelak dan menganggap peraturan tersebut bukan anti-Tionghoa melainkan kelanjutan nasionalisasi perusahaan milik bangsa asing. RRT kemudian menyerukan kaum Tionghoa untuk pindah ke RRT. 199.000an orang Tionghoa di Indonesia mendaftar untuk pindah ke RRT namun kapal yang dikirim RRT hanya mampu mengangkut 102.000an.
Masa itu rakyat Papua juga disasar rasisme yang sama buruknya. Satu sisi, sejak awal Papua tidak pernah terlibat dalam pembentukan negara-bangsa Indonesia, baik itu melalui Sumpah Pemuda maupun dalam rapat-rapat BPUPKI dan PPKI. Para nasionalis Papua kemudian memproklamasikan kemerdekaanya pada 1 Desember 1961. Namun ambisi rezim Soekarno untuk meluaskan kekuasaanya ke setiap wilayah bekas Hindia Belanda menggagalkan proklamasi tersebut dengan melakukan operasi militer Tri Komando Rakyat (Trikora). Banyak yang menjadi korban meninggal sejak operasi militer tersebut di Papua. Amerika Serikat khawatir Indonesia semakin masuk ke dalam pengaruh Uni Soviet karena dukungan persenjataan yang diberikan dalam operasi tersebut. Inilah yang membuat Amerika Serikat menekan Belanda untuk menyerahkan Papua ke Indonesia. Tahun 1962 Amerika Serikat memfasilitasi New York Agreement yaitu Perjanjian di New York antara Belanda dan Indonesia tanpa melibatkan rakyat Papua atau Dewan Nasional Papua. Perjanjian ini kemudian memandatkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di tahun 1969 untuk menentukan apakah rakyat Papua bergabung ke Indonesia atau menjadi negara merdeka. 2 Agustus 1969, hasil Papera menetapkan Irian Barat (sebutan Papua saat itu) sebagai bagian dari Indonesia.
Meskipun demikian, Papera bagi bagi rakyat Papua sangat manipulatif dan penuh kecurangan. Dari sekitar 800.000 penduduk Papua, hanya 1025 orang yang diberi hak memilih. Itupun dibawah tekanan militerisme Indonesia. Pemerintah Indonesia memandang bahwa rakyat Papua belum mampu untuk menentukan nasibnya sendiri karena dianggap primitif dan terbelakang. Ali Murtopo, petinggi militer Indonesia saat itu, menyatakan “Bahwa Indonesia tidak menginginkan orang Papua, Indonesia hanya menginginkan tanah dan sumber daya alam yang terdapat di Papua. Kalau orang Papua ingin merdeka, silahkan cari pulau lain di Pasifik. Atau minta orang Amerika untuk menyediakan tempat di Bulan.” Itulah mengapa bahkan dua tahun sebelum Pepera dilaksanakan, pemerintah Indonesia sudah menandatangani Kontrak Karya dengan PT Freeport Indonesia melalui Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) 1967. Kehadiran Freeport dalam menguras sumber daya alam Papua inilah menjadi penyebab konflik di Papua hingga kini.
Pemulihan Rasisme oleh Orde Baru
Memang penggulingan rezim Demokrasi Terpimpin oleh Soeharto selain merestorasi kapitalisme, juga memperparah rasisme di Indonesia. Setelah melegitimasi kekuasaan pasca Malapetaka 30 September 1965, Soeharto dan para pendukungnya menyebarkan sentimen anti cina komunis. Kaum Tionghoa menjadi sasaran persekusi dan pembantian karena dianggap anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembantaian besar terjadi terhadap etnis Tionghoa yang banyak bergabung dengan gerakan sukarelawan konfrontasi Malaysia. Terdapat lebih dari 27.000 orang tewas dibunuh dan 101.700 warga sebagai akibatnya mengungsi ke Pontianak. Kemudian, seluruh atribut, identitas, dan perayaan kultural kaum Tionghoa seperti peringatan tahun baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcu, tarian Barongsai, seni beladiri Wushu dan berbagai perayaan dan produk seni budaya lainnya dilarang. Tahun 1967 Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Tidak hanya itu, kampanye melawan PKI juga dipakai untuk melawan aliran kepercayaan, karena beberapa orang-orang PKI dianggap menganut aliran tersebut. Orang-orang yang menganut aliran kepercayaan dituduh komunis dan tidak beragama. Pada 1965 kelompok agama menuntut adanya Perpres—yang kemudian menjadi Undang Undang PNPS 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/Atau Penodaan Agama. UU ini semakin mendiskreditkan aliran kepercayaan karena hanya ada lima agama yang diakui negara. Meskipun TAP MPR 1973 sempat memberikan perlindungan yang cukup bagi penganut aliran kepercayaan di masa orde baru (Orba), misalnya mereka tidak perlu berafiliasi ke salah satu dari lima agama yang diakui negara untuk melakukan pernikahan, namun menurut Dosen Pengajar Agama dan Budaya Lokal Universitas Gajah Mada (UGM), Samsul Maarif, hal ini hanya untuk menarik suara konstituen partai Golkar—partai penguasa saat itu. Setelah desakan dari kelompok agama utama (khususnya Islam), muncul TAP MPR 1978 yang menyatakan tegas bahwa kelompok kepercayaan/kebatinan bukanlah bagian dari agama melainkan kebudayaan. Dari sinilah identitas Kartu Tanda Penduduk (KTP) mulai mencantumkan kolom agama. Para penganut aliran kepercayaan harus memilih lima agama yang diakui pemerintah untuk mendapatkan pelayanan publik. Misalnya aliran kepecayaan Kaharingan di Kalimantan yang dipaksa menjadi Hindu Kaharingan, Islam budaya Jawa dengan Islam Kejawen, Tao ke Budha, dan sebagainya.
Sebenarnya, rezim orba tak sepenuhnya mengakomodir kepentingan agama utama. Justru saat itu mereka juga dikekang ketat. Misalnya Soeharto memaksa partai-partai Islam melakukan fusi politik ke dalam kelompok tunggal: Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di banyak tempat, terdapat juga penindasan yang dilakukan oleh rezim Orba kepada aktivis Islam yang dianggap merongrong kekuasaan. Penindasan paling keji terjadi pada peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 ketika rakyat setempat memprotes penangkapan empat orang jamaah mereka ke Markas Kodim setelah bersitegang dengan tentara yang memasuki masjid tanpa melepas sepatu yang menggunakan air selokan untuk menghapus poster ajakan berjilbab. Bentrok tak seimbang terjadi antara rakyat dengan aparat bersenjata. Menurut SONTAK (SOlidaritas Nasioal untuk peristiwa Tanjung prioK) diperkirakan 400 orang tewas dibunuh karena ditembak atau dipelindas truk dan banyak lainnya terluka dari peristiwa itu.
Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto memperkuat dominasi politiknya dengan mengatur berbagai aspek dengan budaya feodal Jawa. Banyak sekali posisi strategis (Gubernur, Bupati, Petinggi Militer, dan lainnya) merupakan orang-orang Jawa pilihan Soeharto. Selain itu, Soeharto juga mengirimkan banyak masyarakat Jawa ke luar Jawa (transmigrasi) yang sebelumnya diberikan modal untuk mengolah tanah di daerah tujuan mereka. Beberapa diantaranya meminggirkan masyarakat adat setempat. Ini yang menjadi faktor pendukung munculnya sentimen superior suku Jawa atas suku lainnya (khususnya di Indonesia bagian Timur).
Periode Reformasi: Rasisme yang Tetap Tumbuh Subur
Akhirnya krisis moneter yang terjadi tahun 1997 membuka borok rezim kediktatoran militer Orba. Naiknya harga kebutuhan pokok, meningkatnya angka PHK, kemiskinan, dan lain sebagainya kala itu disikapi mahasiswa dan elemen gerakan rakyat lain turun ke jalan mendesak lengsernya Soeharto. Namun kemarahan rakyat akibat krisis berusaha dialihkan oleh militerisme dengan sentimen rasis anti Tionghoa. Dihembuskanlah isu seolahTionghoa menguasai ekonomi dan biang kerok atas kesulitan rakyat. Memakai itu, diduga kuat oleh banyak lembaga pegiat HAM, militer mengorganisir progrom–serangkaian tindakan untuk mendorong massa agar merusuh pada 13-14 Mei 1998 di Jakarta. Saat itu kaum Tionghoa dijadikan sasaran kekerasan, penjarahan, dan diskriminasi hebat. Perusahaan, toko dan rumah milik Tionghoa dibakar. Bahkan, banyak perempuan Tionghoa yang diperkosa dan atau dibunuh. Banyak penyintasnya terutama yang menuntut keadilan seperti Ita Martadinata, diperkosa, dibantai, dan dibunuh. Kasus ini tak pernah tuntas sampai sekarang dan pelakunya tak pernah diungkap.
Baru setelah Soeharto berhasil dipaksa turun dan reformasi terwujud, gerakan rakyat bisa mendesak dibukanya demokrasi, kebebasan, dan kesetaraan yang relatif lebih besar dibandingkan sebelumnya. Ini termasuk bagi kaum Tionghoa-Indonesia. Seiring dengan meluasnya gerakan massa, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mencabut Inpres No. 14/1967 sehingga kaum Tionghoa mendapat haknya atas kebebasan beragama, berorganisasi, dan berpendapat di muka umum. Lalu Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 19/2001 untuk meresmikan Imlek sebagai hari libur bagi mereka yang merayakannya. Ini kemudian diperluas menjadi hari libur nasional pada 9 April 2003 melalui Keppres No.19/2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek.
Kebebasan yang relatif terbuka ini juga dimanfaatkan oleh gerakan agama lain untuk menuntut hak-hak mereka yang sebelumnya dibungkam di masa Orba. Salah satunya adalah aliran kepercayaan. Tahun 2006, keluar UU Administrasi Kependudukan (Adminduk), yang pasalnya menyebut aliran kepercayaan boleh mengosongkan kolom agama di KTP. Namun mereka mengajukan uji materi agar mereka tak sekedar mengosongkan kolom agama, tapi diakui negara. Uji materi ini akhirnya dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) akhir 2019 lalu.
Walaupun demikian, bukan berarti rasisme sepenuhnya hilang di periode pasca-reformasi, rasisme justru tetap berkembang. Di berbagai daerah, konflik sektarian berbasiskan suku dan agama cenderung meluas. Contohnya di Kalimantan, milisi Dayak dan Melayu membantai pemukiman Madura pada 1999-2003, sementara ribuan orang tewas selama konflik sektarian di kepulauan Maluku pada 1999-2004. Kekerasan sektarian antara Kristen dan Muslim juga meletus di Poso dari 1990-2001. Apalagi banyak tim relawan dan pegiat HAM mendapati banyak temuan yang mengarah ke kuatnya dugaan bahwasanya rezim melakukan operasi intelijen dan militerisme untuk mengubah konflik vertikal menjadi konflik horizontal dengan memecahbelah rakyat.
Lalu pengaruh politik organisasi masyarakat (ormas) berbasiskan suku dan agama (khususnya Islam) konservatif juga kian meningkat. Mereka memainkan peran legal dan terbuka dalam politik Indonesia. Kelompok ini sering mendesak pemerintah daerah membatalkan pengeluaran izin rumah ibadah bagi kaum minoritas, memaksa relokasi, dan bahkan menghalangi ibadah disekitar lokasi mereka. Kelompok ini termasuk Forum Umat Islam (FUI), Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami), Front Pembela Islam, Hizbut-Tahrir Indonesia, dan Gerakan Islam Reformis (Garis). Mereka melabeli kaum non-Muslim sebagai “kafir” dan “penoda agama”. Sejumlah kasus yang didokumentasikan oleh Human Rights Watch menguraikan penganiayaan dan intimidasi kelompok minoritas oleh berbagai kelompok Islamis militan yang melibatkan, secara aktif maupun pasif, pejabat pemerintah dan aparat keamanan setempat. Menurut Setara Institute Jakarta, terjadi peningkatan kekerasan terhadap Ahmadiyah, Kristen, Syiah, dan minoritas agama lain. Institusi tersebut melaporkan terdapat 216 kasus serangan terhadap minoritas agama pada 2010, 244 kasus pada 2011, dan 264 kasus pada 2012.
Selanjutnya, rasisme anti Tionghoa pun kian diperbesar akibat digunakan sebagai salah satu senjata politik dalam Pilkada. Ini memuncak pada momentum Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Kaum oposisi reaksioner menyerang Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dengan menyebarkan sentimen rasis tolak pemimpin Cina Kafir dan teori konspiratif 9 Naga. Sentimen lawan “Asing-Aseng-Asong” dan “Pribumi versus Non Pribumi” juga menempatkan Tionghoa sebagai sasarannya. Ini diperparah dengan menguatnya sentimen anti tenaga kerja asing di kalangan kelas pekerja. Kedatangan tenaga kerja Tiongkok saat itu dianggap menggusur lapangan kerja pribumi. Isu ini tidak hanya dimainkan oleh oposisi kanan kapitalis, tapi juga oleh Elit Birokrasi Serikat Buruh di sekitaran Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Isu rasisme di masa kapitalisme modern, menurut Marx, disebarkan untuk menciptakan kompetisi di antara kelas pekerja dan mengalihkan perhatian mereka dari akar persoalan—kapitalisme-neoliberalisme.
Praktek rasisme terhadap rakyat Papua juga ditingkatkan beberapa tahun terakhir. Sejak bergabung ke Indonesia, kekayaan alam Papua tidak hanya dikeruk habis-habisan, namun masyarakatnya juga menjadi sasaran rasisme. Rakyat Papua yang bekerja atau belajar diberbagai daerah sering mengalami diskriminasi. Tak jarang mereka disamakan dengan binatang. Contohnya, tahun lalu, aparat dan kelompok premanisme mengepung asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Mahasiswa Papua yang tinggal didalamnya diteriaki “Monyet” dan makian merendahkan lainnya oleh aparat dan berbagai ormas reaksioner, karena difitnah menjatuhkan bendera Indonesia ke dalam parit. Umpatan rasis tersebut lantas memicu kemarahan rakyat Papua. Eskalasi protes sampai melumpuhkan beberapa Kota di Papua. Namun, beberapa aktivis yang melakukan protes justru dikriminalisasi dengan pasal makar. Sepanjang tahun lalu saja, setidaknya terdapat 72 aktivis Papua jadi korban kriminalisasi.
Sejak era reformasi, tuntutan Hak Penentuan Nasib Sendiri (Referendum) dari rakyat Papua memang meluas. Dukungan terhadap tuntutan Referendum ini datang tidak hanya dari rakyat Indonesia, tetapi juga komunitas Internasional. Belakangan ini, isu Papua kembali bergema karena inspirasi dari peningkatan gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat—gerakan menentang brutalitas aparat dan pembunuhan rasis terhadap kaum kulit hitam. Namun, kelas berkuasa menghadapi solidaritas ini dengan kriminalisasi dan tipu daya seolah sudah ada demokrasi, kesetaraan, dan kesejahteraan di Papua.
Hari ini, memang kesadaran anti-rasisme kian membesar. Solidaritas dan persatuan ini perlu diperluas di antara kelas tertindas. Kita tidak bisa melawan rasisme dengan berharap kepada kelas penguasa, karena sepanjang sejarah mereka yang justru memelihara dan memproduksi prasangka rasialis ini untuk memecah-belah kelas tertindas. Mobilisasi massa untuk mempertahankan diskusi, seminar, penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah, dan melawan diskriminasi terhadap kaum minoritas lainnya perlu dilancarkan. Sebab hanya dari tangan kelas tertindas itu sendiri, kehidupan yang lebih baik dapat diwujudkan.
Ditulis oleh Tirta Adi Wijaya, Anggota Lingkar Studi Kerakyatan
Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan yang diterbitkan dalam Arah Juang edisi 89, III-IV Juni 2020, dengan judul yang sama.
REFERENSI:
Racism. Internet Marxists Archive. Glossary Ra. Diakses dari https://www.marxists.org/glossary/terms/r/a.htm
Abdulsalam, Hussein. (3 Juli 2020). “Asal Usul dan Politik Kata Pribumi.” Tirto.id. PT Tujuh Cahaya Sentosa. 3 Juli 2020. Web. <https://tirto.id/asal-usul-dan-politik-kata-pribumi-cyxT>
Dhakidae, D. (2003). Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wicaksono, B. (2019, Agustus 18). Nasionalisme Indonesia Itu Anti-Kolonialisme Dan Anti-Rasisme! Diakses dari https://www.berdikarionline.com/nasionalisme-indonesia-itu-anti-kolonialisme-dan-anti-rasisme/
Dhani, Arman. “Sejarah Kebencian terhadap Etnis Tionghoa.” Tirto.id. PT Tujuh Cahaya Sentosa. Web. 1 September 2016. <https://tirto.id/sejarah-kebencian-terhadap-etnis-tionghoa-bFLp>
Koran Arah Juang Edisi 71, III-IV Agustus 2019: 74 Tahun Kemerdekaan “Monyet”: Siapa Yang Merdeka?
Arah Juang. (3 Juli 2020). On The Chinese Questions (Online). Diakses dari: https://www.arahjuang.com/2018/02/16/on-the-chinese-questions/
Tirto.id. (3 Juli 2020). Rasisme terhadap Etnis Tionghoa dari Masa ke Masa (Online). Diakses dari: https://tirto.id/rasisme-terhadap-etnis-tionghoa-dari-masa-ke-masa-bZQN
CNN Indonesia. (4 Juli 2020). Rasisme Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan RI (Online). Diakses dari: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160812104757-21-150900/rasisme-sebelum-dan-sesudah-kemerdekaan-ri
Arah Juang. (5 Juli 2020). Perjuangan Kelas Buruh Harus Mendukung Pembebasan Nasional Papua (Online). Diakses dari: https://www.arahjuang.com/2016/12/01/perjuangan-kelas-buruh-harus-mendukung-pembebasan-nasional-papua/
Suara Papua. (5 Juli 2020). Menyusuri Historis Rasis terhadap Orang Asli Papua (Online). Diakses dari: https://suarapapua.com/2019/10/08/menyusuri-historis-rasis-terhadap-orang-asli-papua/
Historia.id. (5 Juli 2020). Setengah Abad Papua Bersama Indonesia (Online). Diakses dari: https://historia.id/politik/articles/setengah-abad-papua-bersama-indonesia-DAk1P
Tionghoa.info. (6 Juli 2020). Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru (Online). Diakses dari: https://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru/
Republika. (6 Juli 2020). Aliran Kepercayaan, PKI, dan Orde Baru (Online). Diakses dari: https://republika.co.id/berita/oztqzq282/aliran-kepercayaan-pki-dan-orde-baru
Tirto.id. (6 Juli 2020). Cara Orde Baru Membungkam Para Ulama (Online). Diakses dari: https://tirto.id/cara-orde-baru-membungkam-para-ulama-ckrP
Kompasiana. (6 Juli 2020). Jawanisasi, Sebuah Orientalisme di Indonesia (Online). Diakses dari: https://www.kompasiana.com/maura22350/5e759576d541df66de40a412/jawanisasi-sebuah-orientalisme-jawa-di-indonesia
Koran Arah Juang Edisi 66, III-IV Mei 2019: Pogrom Mei 1998: Rejim Militer Soeharto dan Rasisme terhadap Tionghoa
Hrw.org. (7 Juli 2020). Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia (Online). Diakses dari: https://www.hrw.org/id/report/2013/02/28/256410
Arah Juang. (7 Juli 2020). Lawan Politik Rasis dengan Politik Sosialis (Online). Diakses dari: https://www.arahjuang.com/2016/11/04/lawan-politik-rasis-dengan-politik-sosialis/
Arah Juang. (8 Juli 2020). Rasisme Menggunakan Sentimen Antu Tenaga Kerja Asing (Online). Diakses dari: https://www.arahjuang.com/2017/02/08/rasisme-menggunakan-sentimen-anti-tenaga-kerja-asing/
Tirto.id. (9 Juli 2020). Siklus Rasisme terhadap Mahasiswa Papua (Online). Diakses dari: https://tirto.id/siklus-rasisme-terhadap-mahasiswa-papua-egA4
Suara Papua. (9 Juli 2020). 1 Januari-31 Desember 2019, 72 Aktivis Papua Jadi Korban Pasal Makar (Online). Diakses dari: https://suarapapua.com/2020/06/24/1-januari-31-desember-2019-72-aktivis-papua-jadi-korban-kriminalisasi-pasal-makar/
Detik News. (9 Juli 2020). Massa di Monokwari Protes Pengepungan Asrama Papua di Surabaya, Lalin Lumpuh (Online). Diakses dari: https://news.detik.com/berita/d-4671321/massa-di-manokwari-protes-pengepungan-asrama-papua-di-surabaya-lalin-lumpuh
Comment here