Sejarah

Revolusi Melawan Perbudakan dan Pendirian Haiti, Republik Kulit Hitam Pertama

Colombus dan kolonial Eropa merampas Haiti dari penduduk aslinya Taino dan membantai mereka untuk bisa mengambil emasnya. Setelah bertahun-tahun saling berebut daerah jajahan, Perancis membuat perjanjian dengan Spanyol pada 1697 untuk mendapatkan bagian barat pulau Hispaniola dan menamakannya Saint-Domingue. Saint-Domingue menjadi daerah jajahan yang paling menguntungkan di dunia, dibangun di atas darah dan keringat para budak yang bekerja di perkebunan gula dan tambang. Sekitar 20% meninggal dalam perjalanan dari Afrika dan banyak lagi yang meninggal karena kerja paksa. Hukuman biadab juga digunakan oleh majikan perkebunan; misalnya, budak dibakar hidup-hidup. Inilah yang menjadi mesin pendorong ekonomi yang mengembangkan kelas borjuis di Perancis.

Di puncak hirarki masyarakat adalah pemilik perkebunan kulit putih yang hidup dengan hak istimewa dan kemewahan. Dengan jumlah sekitar 30 ribu orang. Kemudian pemilik tanah dan budak dari ras campuran dan Kulit Hitam, namun mereka secara sosial dan politik tersingkirkan karena rasisme. Di tengah-tengah terdapat “kulit putih kecil” dan di dasar adalah orang-orang Afrika yang diperbudak. Terdapat sekitar 30 ribu kulit putih yang terdiri dari pemilik perkebunan besar, borjuis kecil “kulit putih kecil” dan birokrasi kolonial. Mulatto atau “orang kulit berwarna bebas” berjumlah sekitar 28 ribu dan lima ratus ribu budak.

Para pemilik perkebunan kulit putih dikepung oleh pembatasan perdagangan oleh Perancis, para mulatto kesal dengan penyingkiran sosial dan politik berdasarkan ras, “kulit putih kecil” marah terhadap kekayaan para mullato dan budak kulit hitam membenci begitu banyak kekejaman perbudakan.

Revolusi Perancis yang dimulai pada 1789 memiliki pengaruh besar pada Saint-Domingue. Kelas pemilik kulit putih menginginkan otonomi lebih dan kemandirian politik dalam hubungannya dengan Perancis.  Mereka menuntut Dewan Kolonial yang mandiri dari birokrasi yang dikontrol Perancis. Para mullato menginginkan keadilan sosial dan politik dan mulai membangun gerakan serta menuntut adanya undang-undang terkait itu. “Kulit putih kecil” yang membenci mullato melancarkan serangan dan membunuhi mereka dengan semangat rasis.

Setelah penyerbuan Penjara Bastille dan Declaration of the Rights of Man, Dewan Nasional di Perancis mulai memperdebatkan apakah mullato bisa mendapatkan hak-hak yang sama. Kelas borjuis memilih mempertahankan “perbudakan, rasisme dan profit” di atas “Liberté, égalité, fraternité” karena ketakutan akan adanya kemerdekaan daerah jajahan atau pemberontakan budak. Para mullato melancarkan pemberontakan pada 1790 di bawah Vincent Ogé yang dihancurkan dengan kekerasan.

Tahun 1791 pendeta tinggi voodoo, Boukman memimpin pemberontakan sekitar 100 ribu budak yang juga menyeret orang-orang kulit hitam bebas dan kaum muda mullato. Disinilah muncul seorang budak berumur 45 tahun bernama Francois Dominque Toussaint Louverture. Tuan budaknya mengijinkannya untuk belajar membaca, Toussaint tidak hanya belajar seni militer, ekonomi dan politik dunia namun juga mengembangkan keahlian kepemimpinan dari menjadi manajer properti tuan budaknya.

Ketika Revolusi Perancis berkembang, rakyat Perancis menjadi abolisionis dan anti rasis. Ini berarti para budak memiliki sekutu sejati, karena buruh dan petani Perancis bangkit menentang segala bentuk penindasan, termasuk perbudakan di daerah jajahan. Ini membangkitkan kembali pemberontakan Toussaint yang melemah karena pemilik perkebunan kulit putih maupun berwarna bersatu untuk menghancurkannya.

Monarki-monarki di Eropa ketakutan dengan revolusi demokratik dan meningkatkan serangan ke Perancis, termasuk merebut daerah jajahannya. Ini membuat pemerintahan kolonial Perancis di Saint-Domingue menghentikan kekuatannya untuk menghancurkan pemberontakan budak dan menggunakannya untuk menghadapi kemungkinan invasi.

Dibawah tekanan kekuatan kontra-revolusioner dan monarki, invasi Inggris dan menguatnya tentara budak Toussaint (yang didukung Spanyol), Perancis terpaksa menghapuskan perbudakan. Toussaint kemudian meninggalkan Spanyol dan bergabung dengan kekuatan revolusioner Perancis, dia menjadi brigadir jenderal yang memimpin tentara mantan budak, kulit hitam dan perwira kulit putih serta tentara Perancis untuk mengusir kekuatan Inggris dan Spanyol.

Tahun 1796, Toussaint dihormati oleh mayoritas penduduk dan mengkonsolidasikan rejim baru yang bebas dari perbudakan dan kekuatan kontra-revolusioner. Rejim tersebut berada di bawah komisioner Perancis dan memiliki kepemimpinan multi-ras. Tentara modern dari bekas budak dan ekonomi berdasarkan atas tenaga kerja bebas serta ekspor komoditi dibangun. Beberapa tahun setelahnya, Toussaint harus berhadapan dengan para mullato yang menuntut kemerdekaan, mengusir tentara Inggris, mengalahkan Spanyol serta menyatukan seluruh pulau Hispaniola di bawah kekuasaannya.

Tahun 1795, Direktori berkuasa di Perancis. Ini menandai akhir tahap revolusi yang paling radikal dan demokratik. Kelas borjuis saat itu menginginkan konsolidasi kekuasaannya dan menghancurkan sayap radikal revolusi. Toussaint harus berjuang melawan upaya untuk melemahkan otoritasnya. Ketika Napoleon berkuasa pada 1799, Toussaint telah menjadi gubernur de-facto dan menguasai seluruh pulau.

Toussaint memperkenalkan program sosial dan ekonomi baru: menghapus perbudakan, mengatur kembali sistem administrasi dan peradilan, membangun jalan, sekolah dan jembatan. Pada 1800, hasil panen mencapai tingkat tertinggi dan 1801 lebih tinggi lagi. Reformasi perburuhan dijalankan, termasuk memotong jam kerja. Melarang pencambukan, buruh diberikan seperempat pendapatan perkebunan. Pemerintahan Toussaint secara ekonomi politik bersifat otokratis dan tertutup namun bukan untuk keuntungan pribadi atau elit penguasa melainkan seluruh rakyat. Hingga taraf tertentu, pasukan Toussaint menyediakan arena untuk diskusi politik tetapi massa tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Perjuangan para budak tidak mampu memberikan kebebasan nasional dan sosial sepenuhnya; kapitalisme masih muda dan memainkan peran progresif sementara kelas buruh hampir tidak ada.

Setelah Inggris dan Perancis menandatangani perjanjian damai, pada 1801 Napoleon Bonaparte mengirim pasukan untuk mengembalikan kekuasaan Perancis. Menjelang invasi, Toussaint memperkuat benteng pesisir dan mendistribusikan senjata kepada massa. Namun, ia gagal menyelesaikan keresahan yang berkembang di antara kulit hitam yang berakibat pemberontakan skala besar pada 1802. Napoleon meminta bantuan kekuatan kolonial budak, termasuk Spanyol, Belanda, Inggris dan, diam-diam, AS, untuk invasi. Terlepas dari perbedaan serius antara kekuatan kolonial, ketika menyangkut kepentingan pokok kelas – mempertahankan perdagangan budak – mereka bersatu.

Pasukan Toussaint berhasil menggunakan taktik tentara dan gerilya begitu pasukan ekspedisi Napoleon mendarat di pulau itu. Namun, pada tahap ini, Toussaint memutuskan untuk bernegosiasi, mungkin percaya bahwa Napoleon berada pada titik terlemahnya. Namun kepercayaan Toussaint salah, Napoleon menangkap dan mengirimnya ke Perancis. Dalam beberapa bulan Toussaint meninggal di penjara karena perlakuan buruk.

Kematian Toussaint melepaskan gelombang radikal baru di Saint-Domingue yang akhirnya mengusir Perancis. Upaya Napoleon untuk menghancurkan revolusi menelan korban jiwa 100 ribu orang kulit hitam dan 50 ribu orang Perancis. Pada, 1 Januari 1804, penerus Toussaint, Jean Jacques Dessalines, membuat ‘Deklarasi Kemerdekaan’. Saint-Domingue diganti namanya menjadi ‘Haiti’.

Lahirlah republik kulit hitam pertama di dunia dan daerah jajahan kedua yang merdeka setelah Amerika Serikat. Revolusi Haiti adalah revolusi budak pertama dan satu-satunya yang berhasil dalam sejarah manusia.  Ratusan ribu budak yang dahulu gemetar menunduk dihadapan satu tuan budak, berhasil mengalahkan tiga kerajaan besar di abad kedelapan belas: Spanyol, Inggris dan Perancis. Kemenangannya menandai akhir dari perbudakan di seluruh Karibia dan menjadi inspirasi bagi rakyat pekerja di Eropa.

Ditulis oleh Lady Andres | Anggota Lingkar Studi Sosialis

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 80, Edisi 80 III-IV Januari 2020, dengan judul yang sama.

Loading

Comment here