Pada tanggal 10 November 1945 mulai pukul 06:00 tentara Inggris membombardir Surabaya dari bagian utara ke selatan. Bombardir dilakukan oleh dua kapal penjelajah dan tiga kapal perusak serta pesawat terbang Mosquito dan Thunderbolt, sekitar 500 bom dijatuhkan hanya pada hari pertama saja. Setelah bombardir selama tiga hari, tank-tank dan pasukan infantri Inggris segera menyusul melakukan serangan darat. Namun gerak majunya bisa dibendung oleh arek-arek Surabaya di jalan Gresik, Kabelan, Kalimas Timur, Nyamplungan dan Pegirikan. Pertempuran terus berlangsung sampai malam hari, dini hari, keesokan harinya dan seterusnya hingga tiga minggu lamanya. Pertempuran mereda ketika kekuatan rakyat bersenjata melakukan langkah mundur strategis ke luar kota Surabaya, ke sekitar Mojokerto dan Sidoarjo pada tanggal 2 Desember 1945.
Jika berbicara mengenai pertempuran Surabaya, tidak bisa dilepaskan dari empat peristiwa yang terkait. Peristiwa tersebut adalah insiden bendera Hotel Yamato (19 September 1945), rapat raksasa Tambaksari (21 September 1945), pelucutan senjata tentara Jepang (29, 30 September dan 1 Oktober 1945) serta pertempuran tiga hari melawan tentara Sekutu Inggris (28-30 Oktober 1945).
Namun kenapa Inggris kemudian berperang dengan rakyat Indonesia yang baru saja menyatakan kemerdekaannya? Ini tidak terlepas dari kepentingan Imperialisme untuk mendapatkan (kembali) daerah-daerah jajahan. Imperialis Inggris berusaha keras agar daerah jajahannya dari India hingga Malaya tetap berada di bawah kekuasaannya. Sementara mesin negara Belanda hancur lebur setelah pendudukan fasisme Jerman. Belanda kemudian meminta bantuan pada Inggris untuk merebut kembali daerah jajahannya, Indonesia. Inggris bersedia, salah satunya, karena Inggris memegang 40 persen saham Royal Dutch Shell yang menginginkan kilang minyak di Sumatera dan Kalimantan. Sementara Amerika Serikat (AS) membangun basis dukungan pada Tiongkok dibawah Chiang Kai-shek dan membayangkannya menjadi batu loncatan untuk masuk ke Asia. Imperialis AS juga berharap agar daerah-daerah jajahan Inggris dan negara-negara Eropa lainnya “merdeka” sehingga ekspansi serta pasar baru yang siap dieksploitasi bisa tersedia dan juga basis militer untuk melawan Uni Republik Sosialis Soviet (URSS). Imperialis Perancis berusaha mendapatkan kembali kekuasaannya di Vietnam.
Pertempuran Surabaya adalah pertempuran melawan kekuasaan Imperialisme serta kepentingan ekonomi politiknya. Anti Imperialisme adalah penentangan terhadap sebuah sistem, bukan penentangan terhadap suku, agama, ras atau jenis kelamin. Semangat kelas buruh dan rakyat adalah semangat anti-imperialisme yang manifestasinya adalah solidaritas melawan penjajahan dan bukan nasionalisme sempit.
Perjuangan anti-imperialisme adalah perjuangan untuk menghapuskan penindasan bangsa atas bangsa lain. Ini sekaligus sebuah perjuangan untuk menciptakan syarat-syarat bagi kemajuan suatu bangsa. Ini merupakan prasyarat yang diperlukan bagi bangsa Indonesia untuk bisa sederajat dan bermartabat dengan bangsa-bangsa lain.
Pertempuran Surabaya melibatkan sekitar 140 ribu kaum muda dan rakyat bersenjata. Mereka terbagi dalam sejumlah kesatuan, diantaranya 8 batalion Tentara Keamanan Rakyat (TKR), 4 batalion TKR Laut, 2 batalion Polisi Istimewa dan Polisi Khusus, 1 batalion TKR Pelajar, 15 batalion Pemuda Republik Indonesia (PRI), 1 batalion Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), 1 batalion Hiszbullah dan ratusan kompi tak bernama dari para “kaum muda kampung” yang jumlahnya tiga kali lebih besar dari total 32 batalion yang Tentara“bernama” atau “beridentitas” tersebut di atas. Mereka melawan sekitar 30 ribu pasukan sekutu Inggris yang didalamnya antara lain pasukan Gurka (pasukan Inggris yang berasal dari orang-orang India) dan Jepang.
Kelompok-kelompok yang menyusun rakyat bersenjata melawan Imperialis Inggris terdiri dari berbagai kelompok, termasuk yang berasal dari luar Surabaya. Dari Sragen, “Barisan Macan” ikut bertempur di Surabaya, di Ngawi, “Barisan Berani Mati” meminta untuk dikirim ke Surabaya, di Jombang, Nganjuk dan berbagai daerah lainnya meminta dikirim ke Surabaya. Mereka yang mengungsi dari Surabaya dirawat bersama-sama oleh Palang Merah Indonesia dan rakyat dari berbagai daerah di sekeliling Surabaya.
Kelompok-kelompok Tionghoa ikut bertempur di Surabaya melawan Inggris. Kaum perempuan Tionghoa terlibat di Palang Merah Indonesia. Di Radio Surabaya, pemimpin Tionghoa memberikan pidato yang ditujukan kepada Pemerintahan Cungking (Chiang Kai-shek) yang dijawab oleh radio Cungking dengan seruan agar kaum muda Tionghoa bertempur bersama melawan Inggris. Di Radio Republik Indonesia (RRI) Solo tokoh-tokoh Kristen dan Katholik berpidato menyerukan solidaritas. Sumber lain mengatakan bahwa 3 ribu tentara Jepang melakukan desersi dan mendukung perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya.
Pemerintahan URSS dan Sri Lanka menyatakan dukungannya terhadap perjuangan rakyat Indonesia. Pengurus Pusat Independent Labour Party Inggris menuntut agar semua tentara negaranegara Eropa ditarik dari Indocina. Demikian juga Partai Komunis dan gerakan buruh Inggris mengecam militer Inggris dan Belanda.
Seorang perwira Australia mengatakan bahwa ia belum pernah bertemu dengan orang Australia yang bersimpati kepada Belanda. Partai Buruh Australia, Partai Komunis Australia serta serikat-serikat buruh Australia bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sementara itu prajurit Australia di Kalimantan menjual persenjataan mereka kepada rakyat Indonesia serta membantu melucuti tentara Jepang yang ada di pulau-pulau di antara Kalimantan dan Papua. Di Australia, buruh-buruh pelabuhan Indonesia, Australia, India, Tionghoa dan lain sebagainya bersama serikat buruh mereka menolak melakukan bongkar muat kapal-kapal Belanda yang menuju Indonesia. Tindakan yang dikenal sebagai “Larangan Hitam” ini baru berakhir pada Desember 1949, setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Keputusan penghentian “Larangan Hitam” tersebut dilakukan dalam sebuah konferensi yang dihadiri 17 serikat buruh.
Sekitar 400 orang prajurit Gurka menolak dikirim ke Surabaya, mereka kemudian diasingkan ke Pulau Onrust di Teluk Jakarta. Sementara itu 20 ribu buruh tenun di Bombay melancarkan mogok sehari mendukung kemerdekaan Indonesia. Para pelajar India melakukan demonstrasi di Bombay memprotes serangan Inggris di Surabaya. Polisi kemudian membubarkan paksa aksi mereka. Berbagai organisasi di India juga mengecam serangan Inggris dan menyerukan agar prajurit India menolak membantu militer Inggris. Seorang jurnalis Solo yang baru kembali dari Surabaya berbicara di radio mengatakan bahwa sayangnya juga terjadi pengkhianatan. Oleh mereka yang “…silap, buta dan tuli oleh deringan atau sejumlah wang yang besar atau pun oleh pakaianpakaian yang bagus dan sepatu-sepatu baru yang dihadiahkan NICA dan Inggris…” Di antara pengkhianat tersebut termasuk juga orang-orang Indonesia sendiri.
Pertempuran Surabaya bukanlah seperti narasi Rezim Militer Soeharto yang mengagung-agungkan kepahlawanan militer. Bukan pula tipikal narasi borjuis yang mengagung-agungkan kepahlawanan individu. Penderitaan ratusan juta rakyat akibat berabad-abad kolonialisme, naiknya fasisme dan Perang Dunia II menjadi landasan objektif bagi perjuangan mereka untuk kemerdekaan nasional. Sejarah dibuat oleh massa rakyat, merekalah pahlawan itu. Rakyat bersenjata di Surabaya bertempur dengan keberanian, militansi dan rela berkorban. Mereka mengangkat senjata untuk melawan imperialisme dan kolonialisme. Menghadapi imperialisme Inggris yang dilengkapi dengan persenjataan modern seperti pesawat tempur, tank dan kapal perang, dsb. Di antara massa tersebut muncul individu-individu yang paling berkembang dan mewakili kemajuan pada zamannya. Zaman anti imperialisme dan pembebasan nasional.
Ditulis oleh Dipo Negoro | Kader KPO PRP
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 32, I-II November 2017, dengan judul yang sama.
Comment here