RUU Omnibus Law tentang Cipta Kerja akhirnya disahkan oleh DPR pada 5 Oktober lalu. Pengesahan ini berlangsung di tengah pandemi Covid-19, penolakan dari berbagai gerakan kelas buruh dan rakyat serta serangan terus menerus kelas borjuis terhadap demokrasi dan hak-hak rakyat.
Situasi ini mempertegas analisa Marxis bahwa negara adalah alat penindasan kelas berkuasa serta untuk menjaga, menjalankan serta mempertahankan kepentingan ekonomi politik dari kelas berkuasa. Demikian pula hukum tidak lebih daripada kemauan dari kelas berkuasa yang dijadikan undang-undang untuk semua. Kemauan dari kelas borjuis tersebut ditentukan dari kepentingannya untuk melakukan eksploitasi demi akumulasi modalnya.
Sehingga DPR bukanlah tidak memiliki hati nurani ataupun akal sehat, tidak peduli atau tidak peka terhadap kritik, tidak mendengarkan suara kelas buruh dan rakyat apalagi menganggap bahwa mereka adalah perwakilan dari kelas buruh dan rakyat (yang berkhianat). Ini adalah persoalan kepentingan kelas yang bertentangan dan menghasilkan perjuangan kelas.
Rezim Jokowi-Ma’aruf kesetanan mendorong agar RUU Omnibus Law Tentang Cipta Kerja. Berbagai macam hambatan legal formal diterobos begitu saja; kepolisian menghabiskan miliaran untuk membeli perlengkapan untuk mengendalikan aksi serta mengawasi media sosial; penganiayaan, pemukulan hingga milisi sipil reaksioner dikerahkan. Bahkan hingga ketika disahkan pada 8 Oktober 2020 kemarin, draf finalnya pun belum ada. Di tengah masih cukup tinggi tingkat kepercayaan publik terhadap Jokowi, bahkan kepercayaan terhadap berbagai faksi borjuis lainnya, tidak mengherankan mereka percaya diri untuk segera mengesahkan RUU Omnibus Law Tentang Cipta Kerja. Kondisi perekonomian yang semakin sulit di tengah pandemi Covid-19 juga semakin mendorong pengesahan itu dipercepat. Tentunya ini bagi Rezim Jokowi-Ma’aruf yang logika membangkitkan ekonomi adalah sama dengan kepentingan investasi pemilik modal. Kita juga harus melihat faktor gerakan untuk memahami pengesahan RUU Omnibus Law Tentang Cipta Kerja, saya akan kembali di bagian bawah tulisan ini.
Ketika Partai Demokrat dan PKS menolak Omnibus Law. Itu bukan berarti mereka pendukung kelas buruh. Baik Partai Demokrat maupun PKS terlibat sejak awal pembahasan Omnibus Law, kemudian melakukan manuver saat pengesahan RUU Omnibus Law “Cilaka” Demikian Partai Demokrat maupun PKS berada dalam satu koalisi selama 10 tahun mendukung pemerintahan SBY sejak tahun 2004 hingga 2014. Tidak ada kemajuan signifikan dalam kondisi buruh, secara umum SBY hanyalah kelanjutan dari kepentingan kelas borjuis sebelumnya. Berbagai isian di dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja sudah berupaya dimenangkan sejak masa SBY dahulu.
Betul ada kenaikan upah yang cukup besar di masa SBY (tahun 2011-2013) tapi itu sama sekali bukan karena keberpihakan SBY, Partai Demokrat ataupun PKS. Itu adalah hasil dari berkembangnya radikalisasi gerakan buruh pada periode 2010-2013. Sementara itu tuntutan gerakan buruh pada waktu itu untuk menghapuskan sistem kerja kontrak serta outsourcing tidak digubris. Dimasa SBY, Partai Demokrat, PKS bersama partai-partai borjuis lainnya serta Elit-elit Birokrasi Serikat Buruh (EBSB) berperan dalam melemahkan gerakan buruh. Termasuk dengan mengerahkan milisi sipil reaksioner untuk menyerang para buruh.
Hal yang sama juga berlaku dengan oposisi borjuis lainnya seperti Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dipimpin oleh mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo. Deklarasi KAMI antara lain dihadiri: Din Syamsudin (Ketua Dewan Pertimbangan MUI), Rochmad Wahab (Ketua Komite Khittah NU), MS Kaban (Partai Bulan Bintang), Titiek Soeharto, Bahtiar Chamsyah, ekonom Ichsanuddin Noorsy, Ahmad Yani (Partai Bulan Bintang), Rocky Gerung, Meutia Farida Hatta, Refly Harun, Said Didu, dsb. Mempergunakan Hoax 1965 untuk mencari dukungan.
KAMI adalah sebuah kelompok oposisi kanan borjuis yang dideklarasikan oleh seorang Purnawirawan Jendral Gatot Nurmantyo. Ia punya rekam jejak menyebarkan sentimen kebigotan dan menebar-nebar hoax anti-komunis demi kepentingan dan ambisi politiknya meraup dukungan untuk perebutan kekuasaan. Gatot Nurmantyo bukan hanya merupakan seorang militeris namun juga punya rekam jejak rangkap jabatan saat masih aktif di TNI menyambi sebagai Sekretaris Komisaris Bank Artha Graha.
Di samping Gatot, ada pula Refly Harun yang terus menerus memproduksi konspirasi di kanal Youtube-nya, Titiek Soeharto yang merupakan anak dari Soeharto, dan juga Amien Rais, salah satu politikus borjuis yang pernah membajak Reformas 98, tindakan yang membuat kelas buruh dan rakyat tertindas tak beranjak membaik pasca kejatuhan Soeharto.
Ketika kita berbicara mengenai kondisi dimana politik nasional dikuasai oleh partai-partai borjuis dengan berbagai “warna,” tidak bisa dilepaskan dari melihat sejarah. Tidak adanya kekuatan politik, entah itu partai ataupun organisasi, yang mewakili buruh dan rakyat yang signifikan adalah hasil dari kontra-revolusi dari Soeharto, militer dan berbagai faksi borjuis pada tahun 1965.
Akibat dari Malapetaka 1965 adalah hancurnya kekuatan kelas buruh bahkan yang bersifat elementer seperti serikat buruh. Kemudian pembentukan serikat-serikat buruh yang menjadi kaki tangan dari kelas borjuis. Mereka sampai saat ini masih bertahan dan relatif besar karena dibentuk oleh Rezim Militer Soeharto.
Jokowi, Prabowo, SBY, PKS, Demokrat, Gerindra, PDI-P, kelompok fundamentalis kanan, dsb mendapatkan jabatan serta kekayaannya dari Malapetaka 1965. Beberapa kelompok seperti kubu militer, KAMI ataupun juga PKS sangat getol menggunakan hoax 1965. Sementara Jokowi, PDI-P dan partai-partai borjuis lainnya juga tidak akan memberikan rekonsiliasi serta rehabilitasi. Termasuk dalam itu adalah apa yang kami sebut (dalam tulisan Rekonsiliasi, Rehabilitasi dan Revolusi) mengembalikan identitas, sejarah, teori dan praktek perjuangan kelas buruh dan rakyat.
Gerakan buruh yang membesar pada tahun 2010-2013, mengalami kemunduran karena dominasi dari Elit Birokrasi Serikat Buruh yang akarnya berasal dari serikat-serikat buruh bentukan Rezim Militer Soeharto.
Demikian pula ledakan gerakan “Reformasi Dikorupsi” tahun lalu juga menunjukan bahwa kekuatan terorganisir dari kelas buruh dan rakyat masih relatif kecil. Walaupun mereka, seperti serikat-serikat buruh, organisasi-organisasi mahasiswa, organisasi-organisasi politik progresif, kiri ataupun sosialis, terlibat juga dalam gerakan tersebut. Lihat analisa kami dalam “Arah Juang edisi 69, “Reformasi Dikorupsi: Kelas Berkuasa Memberangus Demokrasi, Memiskinkan Rakyat”.” Demikian lompatan massa luas non-organisasi belum dapat secara maksimal diorganisir atau dipermanenkan dalam pembentukan komite-komite aksi di kampus atau lebih maju dari itu adalah dengan bergabung organisasi kaum muda yang sosialis.
Kali ini kita juga melihat kembali bagaimana EBSB berupaya memoderasi gerakan. Tidak ada persiapan serius untuk mempersiapkan pemogokan 6-8 Oktober 2020. Dalam pernyataan-pernyataan ataupun surat-surat serikat buruh mereka, makna “mogok” dikaburkan dengan “unjuk rasa.” Di lapangan tidak jarang terjadi buruh hanya aksi secara bergantian sesuai shift kerjanya. Ada pula “mogok” setengah hari yang kemudian dilanjutkan dengan lembur. Pabrik-pabrik yang benar-benar melancarkan mogok menghentikan proses produksi umumnya merupakan inisiatif dari buruh-buruh di tingkatan pabrik.
Ini bukan perbedaan antara taktik lobi dan aksi massa yang didorong oleh EBSB. Ini persoalan bahwa EBSB merupakan kaki tangan kelas borjuis di dalam gerakan buruh. Mereka menggunakan posisinya, menggunakan lobi ataupun aksi, bahkan pemogokan untuk kepentingannya sendiri dan kepentingan dari kelas borjuis. Dalam melancarkan mogok EBSB tersebut memainkan perannya dengan: (1) Mengaburkan mogok nasional dengan mencampuradukannya dengan unjuk rasa. (2) Memanfaatkan aksi-aksi untuk menaikan posisi tawarnya dalam lobi untuk kepentingan mereka. Said Iqbal menutup mogok nasional 6-8 Oktober dengan mengalihkan perjuangan pada jalur konstitusional lewat judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Pernyataan ini harus dilihat sebagai taktik untuk memenangkan kepentingannya sendiri. Taktik itu berupaya mendapatkan dukungan dari massa buruh yang memiliki kesadaran yang rendah agar dapat menahan massa buruh yang memiliki kesadaran lebih maju. Ini juga akan menyulitkan upaya tindakan solid dari seluruh serikat buruh untuk melancarkan mogok nasional kedepanya. Walaupun bisa saja mereka mengatakan: “melancarkan mogok nasional atau aksi bersamaan dengan upaya konstitusional.”
Kami juga melihat beberapa kemajuan dalam gerakan “Gagalkan Omnibus Law Dengan Mogok Nasional” kali ini. Di beberapa tempat dominasi kelompok-kelompok mahasiswa liberal yang terutama berasal dari organisasi intra kampus mulai terkikis. Tuntutan-tuntutan yang diajukan menjadi lebih jelas dan politis. Salah satu contohnya adalah di Yogyakarta, dalam aksi Reformasi Dikorupsi tahun lalu barisan yang terutama dimobilisasi oleh BEM KM UGM selalu mencoba untuk menahan agar tidak ada yel-yel, nyanyian atau semacamnya yang tegas mengkritik dan menyebutkan “Jokowi”, “Prabowo”, dsb sekarang sudah tidak lagi. Demikian pula militansi untuk melawan Rezim Jokowi-Ma’aruf termasuk aparat keamanan mulai mengikis hegemoni “aksi damai.”
Walau gaung “Mosi Tidak Percaya” kembali bergema namun aksi di banyak tempat masih memiliki ilusi “percaya” pada kelas borjuis. Di Jakarta, Yogyakarta, Kudus, Lampung, Bandung, Tasikmalaya, Makassar, dsb pimpinan daerah atau anggota DPRD diberikan ruang untuk orasi ataupun diharapkan memberikan tanda tangan dukungan. Sikap seperti itu memang tidak mewakili seluruh gerakan saat ini. Sikap-sikap tersebut terutama dibawa oleh gerakan mahasiswa moral (terutama organisasi intra kampus seperti BEM dan Cipayung) serta serikat-serikat buruh kuning.
Sebanyak apapun tanda tangan dan pernyataan mereka, tidak merubah posisi kelas mereka. Dihadapkan dengan gelombang perlawanan kelas buruh dan rakyat, borjuis (termasuk borjuis lokal) berusaha mencari kesepakatan sedamai mungkin yang akan memberikan keuntungan bagi mereka dan minimal bagi kelas buruh dan rakyat. Akan lebih menguntungkan bagi mereka ketika perjuangan lebih lambat dan tidak tegas dengan cara-cara reformis/ konstitusional bukan dengan radikalisasi massa. Tentunya bukan dengan inisiatif, semangat, serta energi revolusioner dari kelas buruh, mahasiswa dan pelajar. (Baca Arah Juang edisi 65, “Dua Taktik Sosial Demokrat Dalam Revolusi Demokratik”)
Kita sudah melihat bagaimana kekuasaan Partai Demokrat plus PKS selama 10 tahun pemerintahan SBY. Demikian juga kita melihat setelah “adu mulut” paling merakyat Jokowi versus Prabowo dalam dua kali Pilpres 2014 dan 2019 pada akhirnya mereka berdua menjalankan pemerintahan yang sama yang menindas kelas buruh dan rakyat. Demikian pula militer, walaupun di beberapa tempat di lapangan terlihat “ramah” dengan demonstran, itu tidak merubah fakta bahwa militer tidak pernah bertanggungjawab terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi lebih dari setengah abad. Demikian pula kepentingan mereka untuk terus berkuasa dan campur tangan di urusan sipil.
Menjadi sangat penting untuk menegaskan independensi kelas buruh. Sehingga kita tidak bisa menyatakan “Mendukung elemen manapun yang hendak mencurahkan energinya untuk melawan pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja” ataupun “Membuka diri untuk bekerjasama apapun demi keberhasilan perlawanan bersama dan Mogok Nasional yang akan dihelat kedepan” seperti pernyataan sikap kawan-kawan di Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI). (baca: Seluruh Rakyat Mari Bergabung dalam Perjuangan Final Melawan Omnibus Law) “Mosi Tidak Percaya” kita seharusnya adalah tidak percaya pada seluruh kubu borjuis: Jokowi, Prabowo, SBY, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Kofifah, Risma, Luhut, Gatot Nurmantyo, Airlangga, PDI-P, KAMI, Gerindra, Partai Demokrat, PKB, PAN, Nasdem, Perindo, Hanura, PKS, Golkar, PPP, PSI, termasuk militer, dsb.
“Mosi Tidak Percaya” seharusnya juga dimajukan menjadi ketidakpercayaan terhadap keseluruhan tatanan masyarakat kapitalis. Kapitalisme jelas hanya menguntungkan kelas borjuis dengan mengeksploitasi kelas buruh, demikian juga kapitalisme telah gagal mengatasi Pandemi Covid-19.
Lalu apa yang harus dilakukan? Kelas borjuis tidak akan berhenti di aksi tanggal 8 Oktober 2020. Mereka akan terus melancarkan serangannya, lewat Omnibus Law ataupun kebijakan-kebijakan lainnya, lewat intimidasi, teror, dsb.
Perjuangan militan kelas buruh, mahasiswa dan pelajar ini membuka kemungkinan apa yang dibutuhkan oleh kelas buruh dan rakyat sejak Malapetaka 1965. Itu adalah kekuatan politik terorganisirnya sendiri. Pembangunan kekuatan politik terorganisirnya sendiri itu dilakukan dengan terus memajukan perjuangan untuk menggagalkan Omnibus Law, lewat mogok nasional dan pembangkangan sipil.
Serupa dengan analisa kami satu tahun lalu dalam “Reformasi Dikorupsi” kebutuhan mendesak adalah meyakinkan kelas buruh serta mahasiswa dan pelajar untuk terorganisir. Bahkan untuk menghadapi barikade dan represi aparat kepolisian, kemenangan membutuhkan perlawanan yang terorganisir. Ini harus digabungkan dengan politik yang tepat. Semangat, militansi dan keberanian kaum muda buruh, mahasiswa dan pelajar ini harus digabungkan dengan kemampuan analisa ilmiah yaitu: Sosialisme Ilmiah. Berbeda dengan nyinyiran buzzer Rezim Jokowi-Ma’aruf, ini bukanlah membaca satu persatu keseluruhan pasal Omnibus Law, yang sekarang tidak jelas dimana versi akhirnya. Ini adalah memahami struktur masyarakat kapitalis serta situasi saat ini yang terjadi. Hingga menentukan strategi taktik perjuangan bahkan hingga strategi taktik perlawanan di jalanan. Organisasi kaum muda sosialis adalah tempat yang tepat bagi kaum muda buruh, mahasiswa dan pelajar untuk belajar serta melatih teori dan praktek sosialisme ilmiah tersebut.
Ketika perjuangan mengalami perkembangan, demikian juga kesadaran kelas buruh, mahasiswa dan pelajar. Kesadaran mereka dapat melompat, menyadari bahwa kelas buruh memiliki kekuatan untuk menghancurkan kapitalisme dan membangun sosialisme. Namun buruh, mahasiswa ataupun pelajar sampai pada kesimpulan tersebut tidak dalam waktu yang bersamaan. Agar gerakan dapat maju maka harus dipimpin oleh mereka yang telah (serta terus) mempelajari dan meyakini kesimpulan-kesimpulan tersebut. Oleh mereka yang melihat perjuangan revolusioner adalah bagian dari seluruh hidupnya.
Kekuatan terorganisir tersebut bertugas memajukan gerakan “Gagalkan Omnibus Law” saat ini. Komunikasi dan koordinasi harus dibangun antara berbagai kelompok di berbagai daerah. Upaya perlawanan seperti pembangkangan sipil, mogok nasional hingga aksi-aksi, pendudukan ataupun mogok di tingkatan pabrik, kampus, kampung, dsb harus mulai dilakukan secara terkoordinasi. Pendiskusian serta perdebatan untuk memperkuat persatuan serta perjuangan harus mulai diperhebat. Tuntutan serta slogan-slogan harus dibawa dan dijelaskan ke massa hingga di ujung-ujung perkampungan. (Baca Arah Juang edisi 70, “Mengorganisir Perjuangan Politik”)
Omnibus Law tidak akan dihapuskan dengan jalur konstitusional Mahkamah Konstitusi. Salah satu senjata yang efektif untuk menghentikan serangan kelas borjuis adalah dengan melancarkan mogok nasional. Tapi apa itu mogok nasional serta bagaimana persiapannya? Apakah sama dengan seruan para EBSB? Pertama, mogok berbeda dengan unjuk rasa atau demonstrasi. Mogok esensinya adalah menghentikan proses produksi. Kedua, mogok harus dipersiapkan oleh kelas buruh di akar rumput baik yang sudah maupun belum berserikat lewat komite-komite pemogokan. (Baca Arah Juang edisi 80, “Tentang Pemogokan”) Hal yang serupa juga harus dilakukan di luar sektor buruh untuk menyiapkan pembangkangan sipil. Komite-komite aksi serta posko-posko harus dibangun di tingkat yang paling rendah dan di tengah-tengah massa, seperti di kampus, fakultas, kampung, dsb. Keduanya berfungsi untuk mengkonsolidasikan kekuatan dari akar rumput serta mengorganisir perlawanan. Ini termasuk antara lain: menjelaskan tuntutan-tuntutan yang diperjuangkan; melancarkan aksi-aksi di kampus, pabrik ataupun kampung; termasuk di dalamnya mendorong maju karakter spontan yang ada pada awal gerakan menjadi lebih terorganisir. (Baca Arah Juang edisi 69, “Reformasi Dikorupsi: Kelas Berkuasa Memberangus Demokrasi dan Memiskinkan Rakyat”)
Ditulis oleh Dipo Negoro | Kader PS dan Leon Kastayudha | Kader PS dan Anggota Sosialis Muda
Comment here