Setiap memasuki bulan September, rakyat Indonesia dihadapkan kembali dengan persoalan peristiwa G30S dan Peristiwa 65 di masa lalu. Peristiwa 65 sebagai suatu kontra-revolusi berupa persekusi sekaligus pembantaian besar-besaran terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), genosida dan pogrom rasis terhadap orang-orang Tionghoa, penyingkiran terhadap orang-orang dan organisasi-organisasi pendukung rezim Demokrasi Terpimpin, hingga penggulingan terhadap pemerintahan Soekarno, diikuti dengan pendirian rezim kediktatoran militer Orde Baru (Orba) pimpinan Harto yang melayani kepentingan Imperialisme pimpinan AS di Indonesia. Selama puluhan tahun Orba memonopoli dan memanipulasi peristiwa sejarah itu dengan mengambinghitamkan PKI serta menyetankan gagasan kiri dan di atas landasan demikian membangun histeria anti-komunis serta budaya kekerasan reaksioner.
Namun seiring dengan gelombang perlawanan yang berhasil memaksa Orba mundur dan Harto turun, semakin muncul keterbukaan, kebebasan, dan demokratisasi yang meskipun masih relatif kecil dan masih berada dalam kekangan kerangka kapitalisme, namun berguna untuk menguak bukan hanya berbagai fakta sejarah namun juga wacana-wacana kiri yang sebelumnya diberangus. Penerbit-penerbit baru seperti Ultimus, Resist Books, Bintang Nusantara, dan sebagainya meneruskan semangat perjuangan Hasta Mitra yang kini ketiga pendirinya sudah tiada. Berbagai ulasan, kesaksian, hingga memoar (termasuk para korban dan penyintas) bermunculan mengungkap kebenaran mengenai Peristiwa 65. Terdapat pula liputan-liputan jurnalistik, investigasi, dan film-film dokumenter yang membantah kebohongan Orba. Judul-judul seperti Dalih Pembunuhan Massal, G30S dan Kejahatan Negara, maupun film-film seperti The New Rulers of The World, Shadowplay, Mass Grave, hingga Jagal, dan Senyap beredar menguak kebohongan dan kejahatan Orba.
Meskipun terdapat berbagai macam versi dan tafsir, mayoritas buku dan film yang membantah kebohongan Orba tentang Peristiwa 65 tersebut menyebutkan bahwa PKI bukanlah pelaku G30S dan tidak bersalah atas penculikan maupun pembunuhan orang-orang yang dianggap anggota Dewan Jendral. Kalaupun terdapat versi sejarah yang menyatakan ini akibat Biro Chusus yang bertanggungjawab langsung ke Aidit dan hanya diketahui beberapa anggota Politbiro saja, ini tetap menegaskan fakta bahwa mayoritas anggota PKI, Pemuda Rakjat, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Consentratie Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), Himpunan Sarjana Indonesia (HSI), dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) tidak bersalah soal G30S. Fakta bahwa Peristiwa 65 bukan hanya berisi pembohongan mengenai pelaku G30S namun juga fitnah penyiksaan serta berbagai bentuk kebiadaban yang ternyata tidak benar bukan hanya membuat pembantaian dan pembunuhan ekstra-yudisial tersebut sebagai kejahatan yang harus diusut dan diadili namun juga membuat para korban dan penyintasnya sebagai orang-orang yang memang tidak bersalah dan karenanya hak-hak mereka harus dipulihkan sekaligus nama baiknya dibersihkan.
Oleh karena itu seiring semakin banyak terungkapnya fakta sejarah mengenai kontra-revolusi 65 dan kejahatan Orba demikian, semakin banyak muncul usulan rekonsiliasi di Indonesia. Bahkan parlemen Pasca-Orba pernah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Suatu komisi merupakan lembaga pemerintah namun independen tidak menjadi bawahan legislatif maupun yudikatif. Khusus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini, ia bertugas untuk menemukan dan mengungkap seluruh pelanggaran oleh pemerintahan di masa lalu sebagai bekal untuk menyelesaikan konflik peninggalan masa silam demikian. Namun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia ditangguhkan oleh Pengadilan Tinggi. Memang berikutnya ada perkembangan berupa pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Senin 23 Juli 2012 yang bukan hanya mengakui adanya pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis namun juga menyebutnya sebagai pelanggaran HAM. Setidaknya masuk sembilan kategori pelanggaran HAM: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fifisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, serta penghilangan orang secara paksa. Hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut kemudian diberikan kepada Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bila mengacu pada hukum yang berlaku maka seharusnya hasil penyelidikan tersebut ditindaklanjuti dengan pembukaan pengadilan adhoc untuk pelanggaran HAM berat. Sayangnya wewenang tersebut ada pada DPR dan DPR masih banyak diisi oleh sisa-sisa Orba dan para pendukungnya. Sehingga meskipun kebenaran bahwasanya memang terjadi pembantaian dalam Peristiwa 65 semakin terkuak dan menyebar luas ke khalayak umum namun tidak pernah mencapai penegakan keadilan bagi para korban, penyintas, dan keluarganya. Meskipun di sisi lain seruan rekonsiliasi terus digaungkan juga.
Permasalahannya usulan rekonsiliasi itu memiliki makna berbeda-beda. Termasuk rekonsiliasi versi rezim pemerintah Jokowi-JK berupa anjuran perdamaian antara penyintas dan korban dengan pelaku. Namun tanpa diiringi pemulihan hak-hak mereka yang dirampas dan nama baik mereka yang dicemarkan. Suatu versi rekonsiliasi dimana para penyintas boleh hidup dan tak akan dipersekusi lagi dengan syarat tanpa dikembalikan hak-hak mereka yang dirampas dan asalkan tunduk kepada sejarah serta kekuasaan rezim dan kelas penindas yang berkuasa hari ini. Ini sebenarnya bukan merupakan model yang khas atau hanya diciptakan rezim Jokowi-JK. Melainkan memang diwarisi dari model rekonsiliasi buah kebijakan rezim-rezim sebelumnya. Misalkan dalam kasus pelanggaran HAM di Pembantaian Tanjung Priok dan Pembantaian Talang Sari, pemerintah mengadakan rekonsiliasi dengan memakai istilah Islah. Namun Islah tersebut sama sekali tanpa pengadilan dan penghukuman terhadap para pelaku. Apa yang dijalankan rezim adalah memberikan kompensasi, uang, dan pekerjaan sebagai pembungkaman agar tidak lagi menyuarakan pelanggaran HAM. Ini diiringi diskriminasi bagi pihak-pihak korban yang menolak model Islah demikian karena dianggap tidak adil. Mereka kemudian dicap sebagai pemarah, pendendam, tidak ikhlas dan legowo, serta tidak mau menyembuhkan trauma dan luka sosial di masyarakat. Model rekonsiliasi demikian secara hakiki mengandung impunitas. Alias dibebaskannya para pelaku pelanggaran HAM dari sanksi bahkan diberikan pengecualian yang membuat mereka berada di atas hukum. Hal demikianlah yang membuat berbagai pelanggaran HAM terus muncul kembali dari waktu ke waktu di Indonesia. Baik dalam metodenya maupun jenis-jenis aktor pelakunya yang memang mayoritas terkait dengan kepentingan penindasan dan penghisapan kelas yang berkuasa di Indonesia. Sehingga pelanggaran HAM tidak berhenti pada Orba namun juga terjadi di rezim-rezim berikutnya termasuk di masa sekarang. Terbukti pembunuhan terhadap aktivis rakyat tidak berhenti hanya pada Marsinah dan Wiji Thukul namun juga pada Salim Kancil. Penembakan terhadap suku bangsa tertindas tidak hanya berhenti pada Penembakan Dili yang dilakukan rezim pendudukan Orba di Timor Leste namun juga mewujudkan diri dalam berbagai kasus penembakan oleh militerisme yang menduduki West Papua.
Jadi rekonsiliasi tidak akan pernah menjadi rekonsiliasi sejati tanpa pemulihan hak-hak para korban dan penyintas yang dirampas serta pengadilan dan penghukuman terhadap para pelaku. Rekonsiliasi sejati tidak akan terwujud tanpa rehabilitasi. Tanpa rehabilitasi, rekonsiliasi hanya bersifat semu yang dilakukan untuk menghentikan gugatan para korban dan penyintas dalam menuntut HAM serta demokrasi.
Sebenarnya secara harafiah rekonsiliasi berarti perbuatan memulihkan hubungan persahabatan kepada keadaan semula. Dengan pengertian demikian, rekonsiliasi tentu butuh dilakukan antar rakyat tertindas dan kawan-kawan seperjuangan yang sebelumnya dipecahbelah dan diadudomba oleh kontra-revolusi 65 serta rezim kediktatoran militer Orba pimpinan Harto. Ini terutama semakin relevan dalam perkembangan ekonomi politik hari ini. Oktober tahun lalu Arah Juang menulis: “Saat ini garis kelas semakin tajam membelah masyarakat Indonesia. Bilamana di dekade 50an dan 60an konflik agraria sering terjadi antara kaum tani khususnya yang ada di Barisan Tani Indonesia (BTI) dengan para tuan tanah yang sebagiannya adalah para kyai NU, saat ini kita justru menyaksikan semakin banyak petani yang juga warga NU justru turut menjadi korban monopoli dan perampasan tanah serta perusakan lingkungan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis agraria dan militerisme. Kaum Tani di Wonogoro yang berhadapan dengan marinir, Salim Kancil dan penolak tambang pasir penolak lingkungan, kaum tani penentang Rayja Hotel yang merusak mata air Umbul Gemulo, semuanya adalah warga NU. Kita juga bisa menyaksikan perkembangan gagasan Kiri dan Marxisme, meskipun dengan berbagai perbedaan dan keunikannya yang tidak lazim, di antara beberapa Fayyadi dengan media Islam Bergerak. Meskipun tentu saja harus kita akui bahwa banyak di antara tokoh NU juga merupakan kelas penindas, seperti Jusuf Kalla, Muhaimin Iskandar, dan sebagainya. Terhadap sesama kaum tertindas kita bisa dan harus berekonsiliasi. Namun terhadap kaum penindas, kita tetap harus berlawan.”
Demikianlah kita tidak bisa membicarakan rekonsiliasi tanpa membicarakan rehabilitasi. Demikian juga kita tidak bisa membicarakan rehabilitasi tanpa membicarakan revolusi. Sebab rekonsiliasi sejati berarti harus diiringi dengan penegakan keadilan sekaligus pemulihan hak bagi para korban dan penyintas yang tidak bersalah serta di sisi lain pengadilan dan penghukuman terhadap para pelaku. Rekonsiliasi dan rehabilitasi demikian akan ditentang habis-habisan oleh kaum reaksioner dari segala kubu, terutama mereka yang sebelumnya mendukung rezim kediktatoran militer Orba pimpinan Harto. Sebab itu membahayakan kekuasaan dan hak-hak istimewa yang mereka peroleh dengan penindasan. Umumnya memang reaksi ini berlindung pada pernyataan bahwa PKI di masa lalu juga melakukan pelanggaran HAM misalnya di Peristiwa Madiun dan pembantaian terutama pada kalangan agamawan. Tuduhan ini pun biasanya diiringi tuduhan PKI anti-agama dan anti-Pancasila. Terlepas dari kenyataan bahwa secara resmi PKI tidak menyerukan penghapusan agama, terlepas dari pernyataan PKI mendukung Pancasila, terlepas dari fakta bahwa sebenarnya konflik di masa lalu lebih merupakan konflik agraria dan politis serta bukan agama dan rasional, dan terlepas dari kenyataan bahwa di Pemberontakan PKI 1926-1927 tidak ada kyai dan ulama maupun agamawan manapun yang dibantai (bahkan banyak yang ikut pemberontakan melawan rezim kolonial Belanda), tuntutan terhadap tuduhan pelanggaran HAM dan pembantaian yang diduga dilakukan PKI di masa lampau juga bisa sekalian dijawab dengan pengusutan, penelusuran sejarah, pengungkapan fakta, pengadilan, dan penegakan hukum. Kelas buruh tak akan dirugikan terhadap pengusutan dugaan pelanggaran HAM PKI di masa lalu. Justru sebagai kelas, buruh berkepentingan terhadap kebenaran, karena dengan mengetahui kebenaran maka kelas buruh bisa mengetahui bagaimana sistem penindasan ini berlaku, bagaimana kelas penindas bisa berkuasa hari ini, dan yang paling penting bagaimana mengubah kenyataan dimana penghisapan berkuasa hari ini.
Konsekuensinya, kelas buruh dan rakyat pekerja serta seluruh kaum tertindas punya kepentingan terhadap reedukasi. Alias pendidikan ulang mengenai identitas mereka, sejarah mereka, sekaligus wacanawacana, teori, dan praktik perjuangan mereka. Kelas buruh dan rakyat bukan hanya akan sadar bahwa terdapat pelajaran-pelajaran dari perjuangan dan perlawanan di masa lalu (baik pelajaran ideologis, politis, maupun organisasional) namun juga akan yakin kembali bahwa Sosialisme tetap relevan sebagai jalan pembebasan dalam menghapuskan penindasan.
Namun kita harus sadar bahwa kelas penindas telah, sedang, dan tak akan mau mendukung penelusuran sejarah, pengungkapan fakta, dan penegakan keadilan yang dimandatkan rekonsiliasi dan rehabilitasi demikian. Sebab bila kelas buruh dan massa rakyat pekerja mengetahui bahwa bukan hanya organisasi kelasnya tidak bersalah namun juga cita-cita sekaligus pergerakan mereka di masa lalu untuk menghapuskan Imperialisme, Kapitalisme, dan segala bentuk penindasan itu harus direhabilitasi alias dipulihkan dan dibangkitkan kembali, maka kelas penindas yang berkuasa akan kelabakan karena berisiko dihadapkan kembali dengan perlawanan ideologis, politis, dan organisasional yang bisa menggulingkan tiraninya.
Ditulis oleh Leon Kastayudha| Kader KPO PRP
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 27 III-IV Agustus 2017, dengan judul yang sama.
[…] rekonsiliasi serta rehabilitasi. Termasuk dalam itu adalah apa yang kami sebut (dalam tulisan Rekonsiliasi, Rehabilitasi dan Revolusi) mengembalikan identitas, sejarah, teori dan praktek perjuangan kelas buruh dan […]