Sejarah

Perjuangan Bersenjata Pasca Malapetaka 1965

Pasca 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapatkan serangan bertubi-tubi. Ratusan ribu kader hingga simpatisan PKI dibunuh dengan keji, disiksa atau dipenjara. PKI sendiri mengeluarkan 5 dokumen yang memberikan gambaran evalusi internal PKI serta langkah yang akan diambil. Salah satu dokumen penting adalah Otokritik Politbiro CC PKI September 1966 “Tegakkan PKI yang Marxis-Leninis untuk Memimpin Revolusi Demokrasi Rakyat Indonesia”. Dokumen tersebut merumuskan Tripanji Baru PKI untuk memenangkan Revolusi Demokrasi Rakyat Indonesia, yaitu: Panji pertama, pembangunan partai Marxis-Leninis yang bebas dari subjektivisme, oportunisme dan revisionisme modern; panji kedua, perjuangan rakyat bersenjata yang hakikatnya perjuangan kaum tani bersenjata untuk revolusi agraria anti-feodal di bawah pimpinan kelas buruh dan panji ketiga, front persatuan revolusioner atas dasar persekutuan buruh dan tani di bawah pimpinan kelas buruh.

Dalam rangka melaksanakan Tripanji Baru, khususnya panji pertama dan kedua dibentuk Komite Proyek (Kompro) dan Komando Kota Surabaya dan Malang. Terdapat Kompro Gunung Kendeng di sepanjang Bojonegoro sampai Purwodadi, Kompro Gunung Kelud di sebelah utara serta di timur Kompro Gunung Semeru dan dan Gunung Arjuna serta Kompro Gunung Merapi dan Blitar Selatan sebagai tempat pemusatan segala kekuatan. Selain itu pada 23 Mei 1967 dibentuk CC Darurat yang diketuai Ruslan Widjajasastra, Rewang di Departemen Agitasi dan Propaganda serta Munir di Departemen Perjuangan Bersenjata. Anggota CC Darurat antara lain Tjugito, Iskandar Subekti, Sukatno dan Suwandi. Dibentuk juga Politbiro baru dengan anggota: Ruslan Widjajasastra, Oloan Hutapea, Rewang dan Munir. Program pertama setelah terbentuk CC adalah membentuk organ partai, yakni Mimbar Rakyat terbit dua minggu sekali yang materi isinya adalah politik praktis dan Bendera Merah terbit bulanan sebagai majalah teori.

Di setiap Kompro dilakukan pendidikan khusus dengan mengajarkan Marxisme-Leninisme, ajaran Mao Tse-tung dan pemikiran tokoh dunia yang melancarkan perlawanan terhadap Imperialisme. Rencananya akan dibangun Sekolah Tentara Perlawanan Rakyat (STPR) dan menyelenggarakan Kursus Kader Perang Rakyat (KKPR) di daerah Malang Selatan dengan instruktur berasal dari anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang desersi dan simpatisan PKI yang memiliki pengalaman militer.

Terdapat juga perlawanan bersenjata yang sengit di dua tempat yaitu Kalimantan Barat (1967) yang dipimpin oleh Sofjan, Sekretaris Pertama Comite Daerah Besar (CDB) Kalimantan Barat dan di sekitar Blora, Jawa Tengah (1967) yang dipimpin oleh Mbah Suro. Selain itu di Medan, Lampung, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan juga terjadi aksi bersenjata.

Untuk membangun basis maka upaya integrasi dengan kaum tani dilakukan dengan pedoman: jangan suka menggurui, jangan bersikap sombong, jangan menghina kaum tani, jadilah murid yang rendah hati serta kawan yang akrab bagi kaum tani. Sedangkan semboyan untuk integrasi berbunyi: berproduksi, belajar, angkat senjata. Dibangun juga rumah bawah tanah/ terowongan (ruba). Namun ruba ini hanya digunakan untuk berlindung seseorang atau beberapa orang. Sehingga ruba digunakan untuk defensif-pasif, berbeda dengan ruba yang secara aktif untuk mengabdi kepada aksi gerilya, atau mengabdi kepada taktik defensif-aktif seperti yang dipraktekan oleh rakyat Vietnam melawan pendudukan Perancis serta invasi Amerika Serikat.

Pada awal 1968, aksi-aksi gerilya mulai dilancarkan. Sasarannya adalah mereka yang turut meneror orang-orang Komunis dan non-komunis, tuan tanah yang dengan kejam menghisap kaum tani dan elemen-elemen penguasa, militer maupun sipil. Serangan dan penyergapan gerliya terjadi di daerah-daerah Rejotangan, Ngunut, Kalidawir, Boyolangu-Tulungagung dan tempat-tempat lain. Sebelumnya di pertengahan Juli 1967, Pasukan Gerliya Rakyat Serawak/ Partai Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/ Paraku) menyerbu lapangan udara TNI-AU di Singkawang dan Sanggau Ledo, Kalimantan Barat. Serangan tersebut menewaskan empat anggota militer serta berhasil merebut 154 pucuk senjata dan amunisi.

Militer kemudian bergerak untuk menghancurkan perjuangan bersenjata tersebut. Operasi Trisula di Blitar Selatan dimulai pada 1 Juni 1968 saat datangnya musim kemarau hingga September 1968. Sekitar 5 ribu personil militer dari enam batalyon bersama 3 ribu milisi diturunkan. Operasi ini juga berfungsi untuk menunjukan kekuatan Rejim Militer Soeharto kepada mereka yang belum mendukungnya dan merindukan kembalinya Soekarno. Dalam Operasi Trisula tersebut terjadi kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) seperti pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual, penculikan, pengusiran paksa, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, pemenjaraan tanpa proses peradilan, perampasan hak milik, kerja paksa, penghilangan hak politik. Sebagian besar korban yang jatuh bukan berasal dari anggota PKI tetapi justru dari penduduk Blitar Selatan. Sekitar seribuan orang terbunuh dan tertangkap, tiga orang anggota Politbiro dan seluruh anggota CC Darurat tertangkap sementara Oloan Hutapea meninggal.  

PGRS/ Paraku, yang kebetulan didukung oleh etnis Tionghoa, berhasil dikalahkan militer dengan mengadu domba antara Dayak dan Tionghoa. Padahal harmoni diantara etnis Dayak dan Tionghoa telah terbangun selama ratusan tahun. Diberitakan bahwa terjadi penculikan dan pembunuhan sembilan orang Dayak, diantaranya adalah Temenggung. Orang-orang Dayak tersebut disiksa sebelum dibunuh, kelaminnya dipotong dan dimasukan ke dalam mulut dan didadanya terdapat kain bertuliskan aksara Cina. Ini merupakan bagian dari operasi “psywar” yang dilakukan oleh Militer. Militer kemudian dengan aktif mendampingi orang-orang Dayak melakukan pembunuhan dan pengusiran orang-orang Tionghoa dari pedalaman Kalimantan Barat. Peristiwa yang dikenal sebagai peristiwa Mangkok Merah ini secara langsung menewaskan 2 sampai 3 ribu orang. Sementara itu 50 sampai 80 ribu orang Tionghoa diusir menuju pesisir Kalimantan Barat, yakni ke Pontianak dan Singkawang dan lebih dari 5 ribu orang pengungsi tewas karena masalah kesehatan, kebersihan dan kekurangan pangan.

Terdapat beberapa faktor kekalahan perjuangan bersenjata tersebut, khususnya di Blitar Selatan. Imam Soedjono dalam “Yang Berlawan” mengutip Dorodjatun Kuncoro Jakti mengenai penyebab kekalahan di Blitar Selatan: a) kurang cukupnya ideologis-moril dan materiil orang-orang Komunis untuk pembentukan Tentara Pembebasan Rakyat. b) PKI kurang aktif dalam membangkitkan kaum tani untuk ambil bagian dalam perlawanan tersebut. c) kader-kader PKI kurang siap secara organisatoris maupun militer.

Siaw Giok Tjhan, Ketua Umum Baperki, dalam “G30S dan Kejahatan Negara” menyatakan bahwa salah satu sumber masalah adalah walau penduduk Blitar Selatan menyambut hangat dan menerima para tokoh PKI namun mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di desa. Selain itu tidak adanya pengalaman para tokoh PKI untuk menyusun kekuatan bersenjata. Walaupun mereka membaca buku-buku tentang Revolusi Tiongkok. Kepemimpinan mereka juga lemah sehingga pimpinan dan pengarahan tidak datang dari komando pusat namun dari kekuatan bersenjata kecil terpencar-pencar. Kesalahan yang paling serius adalah metode penyusunan kekuatan bersenjata yang dilakukan secara terburu-buru, tidak sabar dan mau cepat menang. Selain itu juga terjadi pengkhianatan beberapa tokoh PKI yang tertangkap.

Rewang dalam memoarnya “Saya Seorang Revolusioner” menjelaskan persoalan partai belum berhasil mengatasi subjektivisme. Wujudnya adalah keinginan untuk cepat-cepat memulai perjuangan bersenjata, sebagai usaha subjektif untuk keluar dari keadaan sulit. Di satu pihak pimpinan partai telah mengambil sikap hati-hati dalam memulai perjuangan bersenjata tapi di pihak lain karena adanya beban kesalahan yang mengakibatkan kehancuran partai pasca G30S membuat pimpinan partai tidak bersikap tegas mencegah setiap langkah yang hakikatnya terburu-buru mau memulai perjuangan bersenjata, seperti konsep “propaganda bersenjata”. Konsep tersebut membawa kekuatan bersenjata yang sedang dibangun terprovokasi ke aksi-aksi bersenjata.

Ditulis oleh Alyendra Daud | Kader PS dan Anggota Lingkar Studi Kerakyatan

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 51 III-IV September 2018, dengan judul yang sama.

Loading

Comment here