Teori

Mengapa Kapitalisme Membutuhkan Perampasan Lahan

Sebagai sebuah mode produksi, kapitalisme mendasarkan diri pada pemisahan kaum tani atas tanah dan pembentukan kelas buruh yang menjual tenaganya, untuk mendapat upah, pada para pemilik modal yang pada akhirnya menjadi titik awal kemunculan kapitalis industri. Proses ini pada akhirnya menjadi titik awal keberangkatan serta berkembanganya masyarakat kapitalisme dewasa ini. Lantas, mengapa kapitalisme membutuhkan perampasan lahan dan bagaimana sistem ini bekerja dalam membentuk lapisan kelas buruh dan struktur ekonomi kapitalistis hari ini?

Struktur ekonomi masyarakat kapitalis timbul dari struktur ekonomi masyarakat feodal. Untuk terus berakumulasi, kapitalisme mendasarkan dirinya pada mengubah modal menjadi sebuah komoditi, yang memiliki nilai pakai dan nilai guna, agar laku diperdagangkan dalam pasar. Tujuan utamanya untuk proses pelipatgandaan modal. Tetapi, proses pengubahan ini sendiri, hanya dapat tercapai dalam keadaan-keadaan tertentu yang terpusat. Para kapitalis yang memiliki alat produksi dan kebutuhan hidup sangat berambisi untuk meningkatkan nilai lebih atau keuntungan dengan cara membeli tenaga kerja orang lain. Dalam proses untuk pelipatgandaan akumulasi kapital, para kapitalis berhadapan dengan mode produksi lain yaitu feodalisme dimana terdapat petani dan para pekerja bebas yang juga sebagai produsen komoditi (sayur, padi, buah dll) yang tidak bersesuaian dengan cara produksi kapitalis. Pada akhirnya, dua pemilik komoditi dari mode produksi yang saling berbeda ini, feodalisme dan kapitalisme, harus saling saling berhubungan dan berhadaphadapan untuk saling mempertahankan hidupnya.

Sedari awal terbentuknya, kapitalis industri senantiasa membutuhkan lahan dan tenaga kerja upahan. Namun, hal itu tidak akan bisa tercipta jika masih terdapat mode produksi dimana terdapat petani sebagai produsen komoditi untuk kepentinganya sendiri. Dua mode produksi yang bertentangan ini pada akhirnya mengharuskan para kapitalis untuk menghancurkan mode produksi feodal lama, serta melepaskannya dari ikatan atas tanah agar terbentuk lapisan kelas pekerja upahan yang bekerja untuk kepentingan industri kapitalis. Segera setelah produksi kapitalis berdiri di atas kakinya sendiri, kapitalisme tidak hanya mempertahankan kondisi ini, tapi memperluasnya secara terus menerus dan meningkat.

Proses ini mengoperasikan dua transformasi yaitu mengubah kebutuhan-kebutuhan hidup dan produksi sosial menjadi sesuatu yang bisa diperjual belikan serta para produsen langsung diubah menjadi pekerja upahan. Proses inilah yang kemudian dinamakan akumulasi primitif, tidak lain dan tidak bukan adalah proses historikal penceraian produsen dari alat-alat produksi. Ia muncul sebagai ‘primitif’ karena ia merupakan cara pra-sejarah kapital untuk memulai proses akumulasi kapitalis.

Secara sederhana dapat kita katakan bahwa karena hubungan produksi pra-kapitalis utamanya bersifat pertanian, para petani yang memiliki alat produksi yang bersifat pokok, yakni tanah. Maka kapitalisme hanya dapat diciptakan dengan cara melepaskan kepemilikan petani atas tanahnya. Asal usul kapitalisme dimulai dari transformasi hubungan hubungan produksi yang terdapat pada tanah itu. Membebaskan ikatan petani dari tanahnya adalah sumber buruh upahan baik untuk tenaga kerja pertanian dan industri

Marx menjelaskan proses akumulasi primitif di Inggris pada abad ke 16 melalui penggusuran lahan petani oleh penguasa-penguasa lokal untuk kemudian diubah menjadi ladang penggembalaan domba yang menghasilkan wol ketika harga wol dunia saat itu sedang meningkat. Di Indonesia, proses ini dapat kita lihat dari arus penggusuran serta konversi lahan yang juga selalu dibarengi dengan konflflik agraria yang sampai sekarang terus terjadi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan mulai 2004 hingga akhir 2012 telah terjadi 618 konflflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 2.399.314,49 hektar. Dimana ada lebih dari 731.342 keluarga harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflflik berkepanjangan. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data bahwa jumlah rumah tangga petani menurun hingga 5,04 juta dibandingkan dengan tahun 2003. Pada 2003 jumlah petani sebesar 31,17 juta rumah tangga, sedangkan pada 2013 jumlahnya hanya tinggal 26,13 juta, atau turun 16 persen dalam kurun waktu 10 tahun.

Angka ini menunjukan pada kita, bahwa semakin banyaknya konflflik agraria dengan resiko perampasan serta konversi lahan yang mengakibatkan ratusan ribu rumah tangga pertanian beserta anggota keluarga lainya yang terlepas dari ikatan tanah untuk menopang hajat hidupnya.

Lebih dalam, penurunan jumlah petani akibat penceraian petani dari ikatan produksi atas tanah juga bermakna terbentuknya proletariat pedesaan yang bebas dari ikatan kerja paksa mereka atas tuan-tuan tanah dipedesaan. Lapisan kaum proletariat yang baru saja muncul ini, seperti dikatakan Marx, ‘bebas sebebas burung’ yaitu bebas tetapi di luar komunitas manusia dan karena sepenuhnya tanpa perlindungan dan tanpa hak-hak legal. Mereka-mereka ini tidak mungkin sepenuhnya diserap oleh industri dan manufaktur yang lahir secepat seperti mereka dilemparkan pada situasi dunia yang baru. Kaum tani yang sudah tidak lagi memiliki ikatan atas alat produksi ini secara tiba-tiba diseret dari kebiasaan cara hidup mereka ditambah minimnya pengetahuan serta keahlian membuatnya tidak dapat seketika menyesuaikan diri pada disiplin kondisi yang dibawa oleh industri kapitalisme. Mereka, diubah dalam jumlah massal menjadi pengemis, gelandangan, perampok. Dalam kebanyakan kasus karena tekanan keadaan. Ada juga dari mereka yang terpaksa melakukan urbanisasi ke kota-kota industri untuk mendapatkan pekerjaan baru.

Melimpahnya pengangguran sebagai tentara cadangan kerja dalam logika kapitalisme bermakna semakin banyak jumlah penganggur-pencari lapangan kerja ketimbang lapangan pekerjaan yang tersedia berarti semakin kuatlah posisi kelas borjuis. Karena mereka dapat kapan saja mengganti kelas buruh yang berani memperjuangkan kepentingan kelasnya dengan ancaman PHK, menggantikan dengan mesin, memperluas sistem kerja kontrak dan alih daya dll. Kelas borjuis selalu menggunakan kaum buruh seperti selembar tisu yang bisa dibuang kapan saja ketika sudah tidak di perlukan lagi.

Selain itu, proses perampasan lahan ini juga memunculkan kelas baru yakni pengusaha pertanian kapitalis. Di Inggris, bentuk pertama pengusaha pertanian adalah juru sita atas tanah. Pada paruh abad ke 14, digantikan oleh pengusaha pertanian yang dilengkapi dengan benih, ternak, dan perkakasperkakas lainya oleh tuan-tuannya. Keadaan pengusaha pertanian ini tidak terlalu berbeda dengan petani kebanyakan. Hanya saja ia lebih memeras lebih banyak kerja upahan dan dengan cepat menghapuskan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil seperti ini masih terdapat di pertanian Indonesia, seperti Maro, Mertelu, Ngedok dll.

Dalam perjalanannya saat ini model kapitalis pertanian ini mewujud dalam berbagai bentuk, semisal model Inti dan Plasma dalam perkebunan sawit atau berbagai bentuk usaha pertanian lainya. Salah satu bentuk usaha pertanian skala besar seperti pada proyek MIFEE (Merauke Integrated Food Estate and Energy). Tercatat pada tahun 2013 terdapat setidaknya 5.486 perusahaan pertanian di Indonesia.

Kini, dengan semakin banyaknya jenis komoditi yang diproduksi oleh kapitalisme, serta posisi Indonesia sebagai negara penghasil bahan mentah dan setengah jadi untuk kepentingan pasar dunia, ikut mendorong perampasan lahan petani serta pemukiman kaum miskin kota. Aktor perampasan lahan juga semakin beragam baik dari kalangan swasta dalam maupun luar negeri, termasuk di dalamnya perusahaan milik negara kapitalis, TNI dan Polri. Kondisi ini bersesuaian dengan laporan KPA di tahun 2016 yang menyebutkan bahwa lima besar aktor yang terlibat dalam konflik agraria dengan rakyat adalah kapitalis swasta, pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), TNI dan Polri.

Jangan dilupakan juga bahwa masih terdapat kapitalis domestik yang masih menggunakan kebijakan sisa-sisa feodal seperti Sri Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam yang menjadikan dalih tanah di Yogyakarta adalah milik kerajaan dengan SG/ PAG untuk kepentingan pembangunan pertambangan bijih besi di Kulon Progo dan berbagai penggusuran lainnya untuk industri kapitalistik lainnya. Perampasan dan pengusiran penduduk agrikultural yang berlangsung secara terus menerus pada akhirnya ikut membentuk penciptaan pasar dalam negeri bagi kapital industri. Bersamaan dengan dilepaskannya masyarakat agrikultur dari ikatan atas tanah bahan-bahan kebutuhan pokok yang sebelumnya bisa mereka produksi sendiri kini harus dipenuhi dengan menjadi konsumen dari barang milik kapital industri. Untuk itu mereka harus menjual tenaga pada para kapitalis industrial. Proses ini juga melibatkan kapitalis finansial dengan memberikan dukungan modal.

Para kapitalis dan pemerintah pendukungnya selalu memberikan rayuan palsu bagi rakyat, bahwa pembangunan industri dan infrastruktur lainnya untuk kepentingan publik dan atau nasional dan diharapkan mampu menyerap tenaga kerja. Namun, jika melihat lebih dalam penggusuran lahan-lahan rakyat untuk perkebunan seperti kelapa sawit misalnya, para petani yang sudah digusur tidak ada pilihan lain selain menjadi buruh kasar, semakin matang usia sawit, maka semakin sedikit buruh yang dipekerjakan. Begitu pula pertambangan yang menggunakan mesin berteknologi tinggi yang pada akhirnya tidak membutuhkan banyak tenaga kerja atau industri properti bagi orang kaya yang lebih banyak mempekerjakan buruh-buruh bangunan kasar. Pada akhirnya mereka dihisap oleh jam kerja yang panjang. Seperti sudah diulas pada beberapa edisi Arah Juang sebelumnya, pembangunan infrastruktur dalam negara kapitalis sejatinya adalah pembangunan infrastruktur untuk melayani kepentingan akumulasi modal dan menyelamatkan kapitalisme dengan memperdalam penetrasi modal di sektor-sektor yang belum dapat di monopoli.

Meningkatkan penetrasi modal ke pelosok pedesaan yang pada akhirnya melepaskan masyarakat dari ikatan atas tanah. Hal tersebut selain bermakna pembentukan usah-usaha pertanian kapitalis pada akhirnya juga membantu pembentukan proletarisasi di desa-desa. Di sisi lain, meningkatkan perjuangan kaum tani mempertahankan tanah-tanahnya dari perampasan para kapitalis juga di barengi dengan perjuangan atas hak asasi manusia dan menguatnya perjuangan atas kelestarian lingkungan. Ribuan lubang-lubang bekas galian tambang yang sengaja tidak direklamasi membuat ancaman kesehatan dan jiwa rakyat. Limbah-limbah hasil produksi kapitalistis yang dibuang semenamena serta perusakan sumber air warga kini menjadi bagian dari perjuangan dalam mempertahankan lahan.

Sudah kita saksikan, bahwa kapitalisme selalu berusaha mengubah uang menjadi kapital, dari kapital dibuat nilai lebih dan nilai lebih dijadikan lebih banyak kapital. Namun, akumulasi kapital mensyaratkan produksi kapitalis dan produksi kapitalis memprasyaratkan kapital dan tenaga-tenaga kerja yang besar sekali di tangan para produsen komoditi. Lingkaran setan yang tiada habis-habisnya jika kita tidak segera memutus dan membentuk sebuah sistem baru yang memenuhi kebutuhan hidup kelas buruh dan rakyat secara terencana, dikontrol oleh dewan rakyat yang demokratis serta memiliki visi tentang keberlangsungan alam. Sebagai kaum sosialis,kita percaya bahwa perjuangan untuk penghapusan ekspoitasi terhadap manusia atas manusia lainya serta menolak menjadikan alam sebagai komoditi yang dieksploitasi secara brutal adalah sebuah hal yang integral dalam perjuangan menuju sebuah sosialisme.

Ditulis oleh Yuri Aldebaran | Kader KPO PRP

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 15 I-II Februari 2017, dengan judul yang sama.

Referensi

1. Karl Marx, Das Kapital jilid 1 : sebuah kritik ekonomi politik. Bagian kedelapan proses akumulasi primitif hal 796-860. Tahun 2004

2. Mencegah Malapetaka Negeri Agraris http://www.kpa.or.id/news/blog/mencegah-malapetaka-negeri-agraris/ diakses tanggal 29 Januari 2017

Loading

Comment here