Hari Orang Hilang Sedunia diperingati di seluruh dunia pada 30 Agustus setiap tahunnya. Pada awalnya, tanggal 30 Agustus dipilih oleh organisasi-organisasi korban penghilangan paksa di negara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Chile dan Colombia untuk didedikasikan bagi mereka yang dihilangkan secara paksa oleh rejim militer di negara-negara tersebut.
Penghilangan paksa pertama kali digunakan sebagai bentuk represi politik di Amerika Latin, pada tahun 1960an. Negara pertama di Amerika Latin yang melakukan praktik tersebut adalah Haiti dan Guatemala. Pada pertengahan tahun 1970an, penghilangan paksa menjadi alat represi utama di Amerika Selatan antara lain di: Brazil, Chili, Argentina, Uruguay, Kolombia, Peru, Venezuela, Bolivia serta Paraguay. Bahkan kerjasama dilakukan antara Rezim militer atau Fasis di beberapa negara Amerika Selatan dengan dukungan Imperialis Amerika Serikat untuk melancarkan Operasi Condor. Operasi yang bertujuan untuk “menemukan” dan “membunuh” musuh-musuh dari Rezim-rezim tersebut. Sekitar 80 ribu orang dibunuh atau hilang dan lebih dari 400 ribu orang dipenjara.
Dokumen rahasia dari Brazil menunjukan ketika jenderal-jenderal Argentina menyiapkan kudeta tahun 1976, mereka ingin menghindari akibat buruk yang bisa ditimbulkan oleh kampanye internasional terkait pelanggaran HAM. Seperti kampanye terhadap Rezim Fasis Pinochet di Chili. Oleh karena itu taktik represi yang kurang sensasional dibutuhkan, taktik low-profil yang mampu menyebarluaskan teror namun tidak terlihat oleh pers internasional. Jenderal Pinochet juga kemudian lebih banyak menggunakan penghilangan paksa ketimbang membunuh atau menangkap secara terbuka. Tentara akan menculik korbannya, membawa mereka ke penjara rahasia, menyiksa dan sering membunuh mereka dan kemudian menyangkal semua keterlibatan. Mayat-mayat kemudian dibuang ke kuburan massal atau seperti di Chili, polisi rahasia membuang korbannya ke laut dari helikopter sementara di Argentina korbannya dilemparkan dari pesawat ke sungai berlumpur la Plata. Rezim Militer Argentina sangat lihat menggunakan penghilangan paksa, pada akhir kekuasaannya terdapat sekitar 30 ribu orang hilang di Argentina. Semua rakyat Argentina dapat saja menjadi saksi penghilangan paksa. Di Bolivia diperkirakan 116-546 orang hilang, Brazil 434-1.000 orang hilang, Chili 3 ribu hingga 10 ribu orang hilang, Paraguay 200 hingga 400 orang dan Uruguay 123 hingga 215 orang hilang.
Penghilangan paksa serta berdirinya rezim-rezim militer dan fasis lewat kudeta di Amerika Selatan berhubungan dengan proyek neoliberalisme Imperialisme AS. Privatisasi, deregulasi dan pencabutan subsidi hanya bisa dijalankan dengan menghancurkan gerakan rakyat serta menggulingkan pemerintahan nasionalis, demokratik atau kiri di Amerika Selatan.
Hal yang sama terjadi di Indonesia, di bawah Rezim Militer Soeharto. Penghilangan paksa terjadi sejak Rezim Militer Soeharto merebut kekuasaan pada tahun 1965. Menurut data Komnas HAM, terdapat sekitar 32. 774 orang yang hilang pada Malapetaka 1965. Penghilangan paksa juga terjadi saat invasi dan pendudukan Indonesia di Timor Leste sejak 1975-1999 yang berjumlah 18.600 orang ditambah ribuan anak-anak Timor Leste yang dibawa ke Indonesia dan dipisahkan dari keluarganya. Sekitar 1.935 orang hilang saat darurat militer di Aceh tahun 1989-1998, 6 orang di peristiwa Wasior, 88 orang di peristiwa Talangsari, 23 orang pada peristiwa Tanjung Priok, serta 23 orang pada kasus Petrus 1982-1985, penghilangan paksa pada Peristiwa 27 Juli 1996, kerusuhan rasialis Mei 1998 serta penculikan aktivis tahun 1998. Pada tahun 2013, seorang nelayan bernama Dedek Khairudi hilang setelah dijemput oleh anggota Intel Korem 011 Lilawangsa, Sumatera Utara.
Rezim berganti rezim namun hingga kini tidak ada keadilan dan kebenaran dalam penghilangan paksa tersebut. Para pelaku penghilangan paksa masih hidup bebas sementara puluhan ribu orang yang hilang tidak diketahui nasibnya. Soeharto mati tanpa pernah bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatannya. Panglima ABRI seperti M Yusuf, Benny Moerdani, Try Sutrisno, Edy Sudradjat, Faisal Tanjung ataupun Wiranto tidak pernah diadili. Hendropriyono yang terlibat di peristiwa Talangsari juga demikian. Sutiyoso di Peristiwa 27 Juli juga demikian. SBY yang terlibat dalam Peristiwa 27 Juli bahkan bisa menjadi Presiden. Sementara Prabowo mantan Danjen Kopassus saat daerah operasi militer di Aceh serta terlibat dalam penculikan aktivis 1998 bisa menjadi calon presiden.
Dalam kasus penculikan aktivis tahun 1998, Muchdi PR dan Chairawan melenggang bebas. Sementara empat perwira Tim Mawar Kopassus (3 diantaranya dipecat oleh Mahkamah Militer) justru sekarang berpangkat Brigadir Jenderal. Fauzambi Syahrul Multazhar (Wakil Komandan Tim Mawar yang dulu bernama Fausani Syahrial Multhazar) menjadi Direktur Veteran, Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan, Kementerian Pertahanan. Nugroho Sulistyo Budi menjadi Direktur Komunikasi Massa Deputi Bidang Komunikasi dan Informasi BIN. Yulius Slevanus menjadi Kepala BIN Daerah Kepulauan Riau. Dadang Hendra Yuda menjadi Kepala Biro Umum Sekretariat Utama BNPT.
Pelaku lainnya seperti Untung Budiharto, pada tahun 2014 menjabat sebagai Komandan Korem 045/ Garuda Jaya yang berkedudukan di Propinsi Bangka dan Belitung. Djaka Budi Utama pada tahun 2012 menjadi Asisten Intelijen Kasdam Kodam Iskandar Muda NAD namun dimutasi sebulan menjelang pemilu 2014. Fauka Noor Farid sempat menjadi jurkam Gerindra di Pemilu 2014.
Membawa keadilan dan mengungkap kebenaran dalam penghilangan paksa harus dipelopori oleh kelas buruh bersama rakyat tertindas lainnya. Itu salah satu pelajaran yang bisa kita dapatkan dari keberhasilan perjuangan di Amerika Latin untuk menyeret jenderal-jenderal dan para elit politik ke pengadilan HAM karena kejahatan kemanusiaan.
Ditulis oleh Riang Karunianidi | Anggota Lingkar Studi Sosialis
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 49, III-IV Agustus 2018, dengan judul yang sama.
Comment here