Senin (10/8/2020) Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua (IPMAPA) gelar diskusi membedah Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II di Asrama Tambrauw Malang. Menghadirkan pembicara Rudy Wonda, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Papua dan Rheny selaku Ketua Paguyuban Kaimana Malang, serta dimoderatori Chika Maday, diskusi membedah aspek kesejarahan,politik, ekonomi, dan kultural yang melandasi Otsus. Mereka mengungkapkan bahwa Otsus ditawarkan pemerintah pasca-Orde Baru sebagai upaya meredam tuntutan Papua merdeka. Permasalahannya, menurut mahasiswi-mahasiswa dalam diskusi malam itu, bukan hanya tidak tepat menangani masalah pelanggaran kedaulatan West Papua dan pelanggaran HAM dengan ekonomi. Namun juga Otsus sendiri penyalurannya malah memperkaya sekaligus memperkuat elit-elit militerisme dan oligarki di Papua. Sedangkan Orang Asli Papua (OAP) mayoritas rakyat jelata dan masyarakat adat di West Papua masih terus ditindas, dipinggirkan, dan dimiskinkan.
Rudy, kepada Arah Juang, mengemukakan: “Otsus telah gagal selama 19 tahun pelaksanaannya. Sudah ada bukti sejarah. Korupsi merajalela sementara persoalan HAM tidak pernah tertuntaskan…Data yang dirilis Komnas HAM mengungkap bahwa tidak ada satupun kasus pelanggaran HAM yang benar-benar dituntaskan dan keadilan ditegakkan….Tidak masuk akal untuk meneruskannya.,” simpulnya.
Ia melanjutkan “Tito Karnavian tidak bisa menawarkan Otsus II secara sepihak. Harus melibatkan masyarakat Papua. Rakyat Papua sendiri sebenarnya tidak menghendaki Otsus apalagi Otsus jilid II. Apa yang dikehendaki rakyat Papua adalah hak menentukan nasib sendiri. Caranya melalui referendum sebagai solusi demokratis,” jelasnya.
Lebih lanjut Rudy menjelaskan bahwa Otsus memiliki kepentingan kapitalisme dan imperialisme di baliknya. “Otsus lahir bukan atas permintaan rakyat Papua. Melainkan atas kepentingan untuk menguasai sumber daya alam di Papua dan memfasilitasi kepentingan investasi. Itulah mengapa sampai sekarang pemerintah pusat terus-menerus mengirim pasukan secara besar-besaran ke Papua. Itu juga yang mengakibatkan pelanggaran HAM terus terjadi. Sementara otonomi dalam Otsus itu tidak pernah benar-benar bermakna otonomi. Karena banyak kebijakan di Papua masih didekte kebijakan sekaligus kepentingan Jakarta. Jadi bukan gubernur-gubernur apalagi Majelis Rakyat Papua (MRP) yang menentukan.”
Rudy juga menambahkan bahwa ada hubungan antara masalah Omnibus Law dan Otsus II. “Perpanjangan Otsus bukan demi melayani kebutuhan rakyat dan masyarakat adat Papua melainkan tidak terlepas dari kepentngan investasi,” tekannya. Bilamana Omnibus Law disahkan maka hak-hak masyarakat adat tidak lagi diakui, analisis mengenai dampak lingkungan (AMNDAL) tidak lagi diwajibkan dan akibatnya akan memperparah pencemaran lingkungan serta perusakan alam, serta mempermudah penguasaan korporat atas tanah dan sumber daya serta penyingkiran rakyat. Pun bila Otsus II disahkan maka militerisme dan elit pejabat akan akan meraup lebih banyak kekayaan dan kekuasaan yang bisa digunakan untuk menindas rakyat. “Jadi saling berhubungan antara Otsus dengan Omnibus Law. Maka penting bagi kita untuk berusaha agar bagaimana rakyat Papua dan Indonesia sama-sama berjuang melawan.” (lk)
Comment here