Periode 1988-1996 adalah periode saat atmosfir politik diradikalisasi dengan cepat. Muncul ratusan, mungkin ribuan aksi di seluruh Indonesia. Pada April 1994 sindrom demonstrasi-ditambah-kerusuhan seperti yang terjadi pada Malari terulang di Medan. Demonstrasi buruh menuntut penyelidikan terhadap kematian pemimpin pemogokan buruh serta hak buruh untuk bergabung dengan serikat buruh yang baru didirikan, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) berkembang menjadi kerusuhan. Tim peneliti dari Yayasan Insan Politika (YIP) menyebutkan 30 hingga 40 aksi mahasiswa, terutama di Jakarta dan Jawa setiap tahun antara 1989-1992. Setelah 1992 terdapat lonjakan aksi massa. Pada 1993, terdapat 71 kali protes, 1994 terdapat 111 kali protes, tahun 1995 menurun (kemungkinan kurang tepat) menjadi 55 protes dan kemudian menjadi 143 kali protes pada tahun 1996. Pada 1 Mei 1995, peringatan Hari Buruh Sedunia pertama kali pasca 1966 dilancarkan di Semarang. Menjelang 27 Juli 1996 terdapat 3 aksi pada Januari 1996, 10 aksi pada Februari, 32 aksi pada Maret. Pada 23 April 1996 di Makassar aksi mahasiswa memprotes kenaikan ongkos transportasi berubah menjadi kerusuhan. Ini dilanjutkan hingga 26 April sekitar 10 ribu mahasiswa turun ke jalan. Gubernur Sulawesi Selatan akhirnya membatalkan kenaikan ongkos tersebut. Pada bulan Mei 1996, menurut YIP terjadi 48 aksi massa. Isu yang diangkat antara lain solidaritas mahasiswa untuk petani Kedungombo, demokrasi kampus, solidaritas terhadap petani dan buruh, protes terhadap penangkapan aktivis yang mendistribusikan buku-buku Pramoedya Ananta Toer, penggusuran gedung-gedung bersejarah, perang irak pertama, kebebasan pers, uang kuliah, dsb. Data tersebut belum memasukan aksi di luar mahasiswa dan di luar Jawa, termasuk juga hanya mengandalkan sampel terbatas dari beberapa koran saja. Misalnya aksi buruh terbesar sejak 1965 yang melibatkan 10 ribu buruh Great Rivers. Aksi ini diorganisir oleh aktivis Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI).
Berbagai macam aksi tersebut melibatkan berbagai kelompok non permanen (ad hoc). Paling tidak terdapat satu kelompok yang terkait atau dipengaruhi oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalam berbagai aksi tersebut. Memang PRD adalah satu-satunya organisasi pada saat itu yang mendorong politik mobilisasi massa sebagai strategi perjuangan melawan Rezim Militer Soeharto.
Konflik antara kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dengan Rezim Militer Soeharto mulai mendorong munculnya aksi-aksi protes. Ini terutama mulai pada awal Juni 1996. PRD bersama PDI Pro Megawati melakukan aksi-aksi bersama seperti di Semarang pada 14 Juni, Surabaya dan Yogyakarta pada 17 Juni, Salatiga pada 18 Juni, aksi di Jakarta pada 18 Juni diikuti oleh 4 ribu orang. Aksi 20 Juni di Jakarta melibatkan sekitar 15 ribu orang dan diorganisir oleh aliansi lebih banyak organisasi lagi. Dari markas PDI di Jalan Diponegoro massa bergerak ke arah Monumen Nasional. Namun mereka dihentikan di Stasiun Kereta Gambir oleh polisi dan tentara. Polisi dan tentara berusaha membubarkan aksi dan bahkan tank Angkatan Darat menabrak kerumunan barisan. Lima orang dilaporkan meninggal dunia, sekitar 70 orang luka berat dan 50 orang ditangkap dan dibawa ke kantor Kostrad. Pasca peristiwa Gambir, mimbar bebas dibuat di Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. Semakin hari massa yang berkumpul di mimbar bebas tersebut semakin besar. Di berbagai kota juga muncul demonstrasi, di Yogyakarta pada 25 Juni sekitar 7 ribu orang menerobos barikade tentara dan bergerak ke DPRD Yogyakarta. Di Jakarta pada 28 Juni sekitar 3 ribu orang berkumpul di DPR RI setelahnya pada 12 Juli sekitar 5 ribu orang berkumpul di Gedung Proklamasi.
Perkembangan mobilisasi massa tersebutlah yang kemudian mendorong Rejim Militer Soeharto untuk menghentikannya dan melemparkan kesalahan pada PRD. Pagi hari Sabtu, 27 Juli 1996, markas DPP PDI diserbu oleh segerombolan orang beratribut PDI pro Soerjadi dengan tulisan dikaos mereka “Pendukung Kongres IV Medan” disertai juga dengan ikat kepala berwarna merah. Massa PDI pro Soerjadi dengan leluasa menyerbu karena aparat kepolisian dan militer melakukan blokade jalan disekitar kantor DPP PDI.
Penyerbuan itu sempat dihentikan oleh Kapolres Jakarta Pusat Letkol. (Pol) Abubakar Nataprawira untuk bernegosiasi dengan perwakilan massa PDI pro Megawati. Negosiasi gagal dan para penyerbu kembali melempari markas DPP PDI dan membakar dua motor yang parkir di depan halaman. Pagar didobrak dengan bantuan perlindungan pasukan huru-hara tepat di belakang massa penyerbu. Pukul 09.00 pagar sudah berhasil dijebol dan para penyerbu mengobrak-abrik markas DPP PDI pro Megawati. Massa dan satgas PDI pro Megawati terkunci didalam kantor, ada juga yang lari lewat belakang. Sekitar 139 orang satgas PDI pro Megawati satu per satu digelandang keluar markas untuk diangkut menggunakan 2 truk polisi. Sedangkan yang terluka parah langsung dimasukkan ke ambulans yang sudah disiapkan polisi.
Massa PDI pro Soerjadi yang merasa telah memenangkan pertempuran dengan girang berbagi rokok, makanan, dan minuman serta saling berjabat tangan. Beberapa diantaranya saling memberi hormat ala militer. Salah seorang yang berpakaian preman memegang HT dan memerintahkan teman-temannya untuk segera mencopot seragam PDI. Dari perawakan dan potongan rambut serta tongkat yang dibawanya, jelas banyak diantaranya adalah tentara. Mereka diduga berasal dari Brigade Infanteri 1/ Jaya Sakti/ Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf Tri Tamtomo serta Batalion Infanteri 201/ Jaya Yudha. Menurut penyelidikan Komnas HAM, peristiwa tersebut menybebabkan korban berjatuhan. Diantaranya 5 orang meninggal dunia, 149 orang luka-luka, 136 orang ditahan, dan 23 orang hilang.
Berita penyerbuan tersebut membangkitkan kemarahan rakyat dan berbagai kelompok pro demokrasi. Diperkirakan sekitar 70 ribu massa yang memadati area jembatan Cikini sampai ke depan LBH Jakarta. Massa kemudian melakukan mimbar bebasnya mengecam kebrutalan Rezim Militer Soeharto hingga Dwi Fungsi ABRI. Terdengar pula teriakan-teriakan “pembunuh” “Soerjadi antek Soeharto”. Akhirnya kemarahan massa yang besar tak dapat terbendung lagi dan segera mendorong blokade aparat sampai mundur ke depan DPP PDI. Mengetahui massa semakin beringas, tentara yang telah bersiap disiapkan di depan kantor DPP PDI dan Pegangsaan Timur segera maju kedepan. Kerumunan massa yang tidak terpimpin kemudian berlarian tercerai berai sambil merusak dan membakar gedung-gedung.
Setelah peristiwa 27 Juli 1996, PRD dinyatakan sebagai biang keladi kerusuhan karena terlibat dalam orasi-orasi dan berperan menggerakkan massa solidaritas. Para anggota PRD diburu hingga ketempat tinggal mereka. PRD juga menjadi organisasi terlarang dan dikampanyekan sebagai PKI versi baru. Hal tersebut merupakan bentuk ketidakmampuan rezim untuk membendung kemarahan rakyat, yang terus-menerus melakukan represi demi represi. Walaupun sempat tiarap namun pada akhir 1996 PRD sudah terkonsolidasikan kembali. PRD kemudian mendorong pembangunan komite-komite aksi di berbagai kota untuk mengorganisir aksi-aksi massa. Aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa yang bersifat lokal, aksi buruh maupun petani sendiri sebenarnya tetap terjadi pasca 27 Juli. Pemilu dan sidang MPR yang memilih kembali Soeharto di tahun 1997 serta kemudian krisis ekonomi yang terjadi semakin memperkuat dan meluaskan aksi-aksi yang sudah meluas sebelumnya.
Hingga kini Rezim Militer Soeharto tidak pernah bertanggung jawab atas peristiwa 27 Juli 1996. Soeharto sebagai sang diktaktor, Faisal Tanjung: Panglima ABRI, Kepala Staf Angkatan Darat R Hartono, Kasospol ABRi Syarwan Hamid, Pangdam Jaya Sutiyoso, SBY yang menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Jaya melakukan rapat yang memutuskan penyerbuan kantor DPP PDI bersama Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso dan Alex Widya S dari Badan Intelijen ABRI serta Kolonel Tri Tamtomo.
Ditulis oleh Faranisa Alana, Kader PS dan Anggota Resistance
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 47, III-IV Juli 2018, dengan judul yang sama.
Comment here