Perspektif

Kepentingan di Balik ‘New Normal’

Akhir Mei 2020, pemerintah Indonesia mulai menerapkan ‘New Normal’ atau normalitas baru. Kegiatan bisnis dibuka dan pembatasan sosial dihapuskan serta dikatakan harus diiringi penerapan protokol kesehatan. Itu diterapkan dengan dalih menyelamatkan ekonomi. Normalitas baru bahkan menurut para dokter, ilmuwan, dan pakar wabah yang diundang rezim, seharusnya baru bisa diterapkan saat ada penurunan kasus penyakit dan kurva penularan melandai. Kenyataannya  pada 23 Juni 2020, tercatat 47.896 kasus virus Covid-19 di Indonesia, mencapai rekor penyebaran virus tertinggi di Asia Tenggara dengan peringkat enam kematian di Asia: 2.535 jiwa, diperkirakan angka riil jauh lebih tinggi. Alih-alih kurva Covid-19 melandai, wabah virus Corona di Indonesia justru terus naik, bahkan belum mencapai puncaknya. Meskipun fakta di lapangan tidak memenuhi syarat normalitas baru namun pemerintah tetap ngotot menerapkan normalitas baru. Inilah sikap terbaru rezim Joko Widodo (Jokowi) Ma’ruf Amin (Amin) yang awalnya menyangkal, meremehkan, dan menertawakan wabah virus Corona, serta mengutamakan bisnis daripada kesehatan maupun keselamatan rakyat pekerja.

Ini bisa dilihat dari diulang-ulangnya pernyataan pejabat bahwa masyarakat perlu tetap produktif. Misalnya, Achmad Yurianto, Juru Bicara Penanganan Covid-19, berdalih normalitas baru harus diterapkan karena masyarakat harus menjaga produktivitas di tengah pandemi. Sebagaimana diberitakan Tirto.id, Achmad Yurianto menyatakan “Sekarang satu-satunya cara yang kita lakukan bukan dengan menyerah tidak melakukan apapun, melainkan kita harus jaga produktivitas kita agar dalam situasi seperti ini kita produktif namun aman dari Covid-19, sehingga diperlukan tatanan yang baru,” katanya di Graha BNPB, Kamis (28/5/2020). Dengan dalih itu, rezim mengaku sudah menggalang pakar dan tokoh masyarakat untuk menyusun protokol kesehatan yang bisa dipakai agar rakyat tetap bisa beraktivitas kembali secara aman dari Covid-19.

Kenyataannya Normalitas Baru adalah langkah ganjil dan sarat pertentangan. Pertama, bila Normalitas Baru diterapkan dengan alasan menyelamatkan ekonomi rakyat, maka yang seharusnya diterapkan bukanlah pembukaan kembali ekonomi bisnis. Seharusnya nasionalisasi seluruh aset strategis di kontrol rakyat pekerja dan reorientasi seluruh sektor produksi dan distribusi untuk fokus pada penanganan wabah serta penjaminan pemenuhan kebutuhan hidup pokok dengan diiringi karantina dan penghentian sektor non-esensial. Tapi tentu saja hal ini tidak akan dilakukan oleh pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan para konglomerat dan pejabat. Para pembela rezim berdalih kalau bisnis tidak dibuka maka rakyat bisa mati kelaparan di rumah. Padahal sebenarnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan pun memberi jalan untuk karantina dengan menanggung seluruh kebutuhan pokok warga. Namun hukum pemerintahan borjuis tentu saja hanya diprioritaskan untuk memfasilitasi kepentingan pejabat dan konglomerat, bukan rakyat.

Kedua, tidak ada yang normal dan tidak ada yang baru dalam langkah Normalitas Baru. Ini memang mencerminkan sikap rezim yang mencla-mencle dalam menghadapi pandemi Covid-19. 10 April 2020 sebelumnya Jokowi mengajak bersatu melawan Corona akan memerangi virus Corona tapi sebulan berikutnya Jokowi meminta rakyat berdamai dan hidup berdampingan dengan virus Corona. Ini bukan keseleo lidah, salah ucap, atau salah penggunaan istilah. Melainkan didasari logika tidak logis bahwa meskipun ancaman wabah masih tinggi rakyat pekerja harus kembali mengoperasikan bisnis kapitalisme yang sebelumnya merugi dikenakan pembatasan sosial. Ini jelas tidak normal dan tidak waras. Bagaimana mungkin masyarakat yang sedang diterpa wabah diminta produktif? Namun bagi kapitalisme memang normalitas dan kewarasan bisa dikorbankan begitu saja demi menyelamatkan sistem penindasan.

Normalitas Baru sebagai pesanan konglomerat ini ditujukkan pengakuan bahwa tiga pekan sebelum Idul Fitri 24 Mei 2020, Hariyadi Sukamdani, bos Grup Sahid sekaligus Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengaku sudah mendekati tiga menteri Jokowi. “Saya meminta pemerintah realistis untuk hidup berdampingan dengan virus ini dan segera mengelola ekonomi dengan waspada.” Demikianlah permintaan Jokowi agar rakyat berdamai dengan Corona, tidak lebih dari mandat konglomerat.

Sikap mencla-mencle juga ditunjukkan dalam mana daerah yang boleh menerapkan Normalitas Baru. Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada 5 Juni 2020 menyatakan daerah zona merah tidak bisa menerapkan normalitas baru. Tapi pemerintah kemudian menjilat lagi ludahnya sendiri. Rabu, 10 Juni 2020, Wiku Adisasmito, Ketua Dewan Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19, “Sedangkan apabila dampak ekonominya tinggi meskipun daerahnya merah, bisa dibuka untuk sektor-sektor yang esensial. Asal tetap menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat.”

Akibatnya kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kota Malang, Provinsi DKI Jakarta, dan sebagainya, yang tergolong zona merah, malah diprioritaskan untuk dibuka kembali sektor bisnisnya dengan skema Normalitas Baru. Kalau zona-zona merah saja membuka kembali bisnisnya, apa yang mencegah para pejabat dan konglomerat di zona- zona lain untuk tidak mendorong dibuka kembalinya daerahnya untuk aktivitas bisnis? Benar itu yang terjadi. Hanya tinggal dua provinsi dan tiga kabupaten kota yang tetap memberlakukan PSBB, menurut Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Mayoritas daerah malah bergegas menghamburkan diri memasuki masa transisi ke Normalitas Baru. Akibatnya 19 hari terakhir sejak Normalitas Baru diperkenalkan, jumlah pasien Covid-19 sudah melonjak hampir 70% di Indonesia.

Sebelumnya pada Rabu 10 Juni 2020 saat dihadapkan ke risiko peningkatan kembali wabah virus Corona, Jokowi dengan enteng menjawab: “Jika dalam perkembangan ditemukan kenaikan kasus baru, maka langsung akan kita lakukan pengetatan atau penutupan kembali,” ujar Jokowi. Tapi kenyataannya tidak ada pengetatan atau penutupan kembali sama sekali. Begitulah, seperti angin, tidak ada perkataan pejabat yang bisa dipegang kebenarannya saat ini.

Ketiga, rezim menggandeng banyak dokter dan pakar tetapi juga sering mengabaikan masukan mereka. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa baik penggalangan pakar kedokteran, wabah, dan kesehatan, pada khususnya maupun langkah Normalitas Baru itu sendiri pada umumnya hanyalah security theatre atau pencitraan belaka. Pandu Riono, Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, yang diundang pemerintah ikut rapat penyusunan indikator pelonggaran Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 21 Mei 2020 lalu mengemukakan pelonggaran pembatasan sosial dan penerapan Normalitas Baru tidak dapat diterapkan. Sebab menurut Pandu, Indonesia masih berstatus zona merah akibat tren kematian terus meningkat dan tren kasus positif corona masih naik-turun.

Dr. Corona Rintawan, spesialis di bidang medis darurat dan pemimpin tim medis Muhammadiyah untuk menangkal pandemi Covid-19, menyoroti kurangnya bahkan ketiadaan peraturan dan sanksi jelas menunjukkan bahwa Normalitas Baru hanya menjadi kedok bagi pembukaan kembali ekonomi sembari mengabaikan peringatan para ilmuwan.

Lebih lanjut Dr Corona Rintawan menyatakan Normalitas Baru kebijakan Normalitas Baru rezim justru berisiko membingungkan masyarakat, bahkan juga meningkatkan penularan. Kepada Asia Times, Dr. Corona Rintawan mengemukakan: “Kami memiliki kekurangan dalam pengujian dan pelacakan. Kapasitas kami untuk melakukan pengujian PCR jauh dari target 20.000 tes per hari. Tapi sekarang semua dilonggarkan, ekonomi sedang digenjot, sekolah dibuka, tempat ibadah massal diizinkan, semuanya atas nama narasi new normal.” Ia menambahkan, “Tampaknya kementerian berusaha menunjukkan dukungan mereka kepada presiden dengan berlomba menerapkan konsep new normal ini dalam waktu sesingkat mungkin, terlepas dari apakah masyarakat siap atau apakah tindakan itu perlu dilakukan.”

Tentu saja sikap asal bapak senang yang dilakukan pemerintah daerah ini juga berisiko mewujudkan diri berupa tindakan menutup-nutupi kasus Covid-19. Akibatnya angka riil jumlah kematian akibat Covid-19 bisa sebanyak dua atau tiga kali lebih tinggi dari versi resmi pemerintah. Dr. Corona Rintawan menjelaskan, “Ambil contoh, ketika seorang pasien yang diklasifikasikan sebagai ‘di bawah pengawasan’ atau PDP meninggal dan beberapa hari kemudian diketahui bahwa mereka positif COVID-19. Pemerintah daerah, saya tidak akan mengatakan mana, pada saat itu melaporkan bahwa almarhum negatif untuk COVID-19 saat hasil tes belum keluar…Ini karena mereka tidak ingin mendapat masalah jika jumlah kematian kemudian meningkat. Pemimpin daerah mana yang ingin disalahkan saat ‘new normal’ sedang dilaksanakan?

James P Bean, seorang pekerja sosial, melalui tulisannya di Asia Times mengkritik langkah Normalitas Baru rezim Jokowi-Amin dan mengungkap bahwa kebijakan itu diiringi upaya-upaya secara sadar dan sengaja untuk menyesatkan sekaligus mengaburkan skala bahaya wabah. Mematahkan dalih penyelamatan ekonomi rezim, Bean mengemukakan semakin meningkatnya wabah akibat langkah-langkah ekonomi yang prematur dan ceroboh seperti Normalitas Baru justru bisa mengakibatkan gangguan ekonomi yang lebih mendalam dan panjang.

Oleh karena itu, jelas Normalitas Baru memang bukan kepentingan rakyat melainkan kepentingan kalangan pejabat dan konglomerat. Kaum kapitalis selama ini menuntut agar kebebasan bagi para pengusaha dibuka seluas mungkin dan pemerintah campur tangan sesedikit mungkin dengan dalih agar dunia usaha bisa berjalan sehat. Ini salah satunya diwujudkan dengan mencabut banyak subsidi, memangkas anggaran publik, serta mengurangi kewajiban pengusaha, dengan mantera yang sering dirapal para pejabat: “rakyat jangan manja.”

Nyatanya memang hanya para pengusaha yang boleh dimanja. Lobi para pengusaha gencar dilakukan sejak wabah merebak dan PSBB diterapkan utamanya untuk mendapatkan dua hal: bantuan keuangan dari pemerintah sekaligus pembukaan kembali bisnis. Awal April, Rosan Perkasa Roeslani, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengeluh protes kebijakan pemerintah yang mereka anggap mengutamakan stimulus ekonomi terhadap pelaku usaha mikro dan BUMN serta meminta Rp 600 triliun untuk perangsang arus kas korporasi.

Namun bukan hanya konglomerat yang berkepentingan terhadap Normalitas Baru. Militerisme* juga mengambil keuntungan dalam pembukaan kembali bisnis dengan cara mendesakkan dirinya agar ditempatkan sebagai penegak otoritas disiplin. Keuntungan ini pertama, berupa didapatkannya anggaran operasional bagi aparat sekaligus jatah jabatan bagi para petingginya. Ini langkah mereka menyelesaikan kelebihan aparat yang 22 tahun pasca-Reformasi, militer Indonesia masih bengkak jumlah personel dan boros anggaran serta terus-menerus haus menuntut pendanaan. Demi memuluskan langkah itu terus diciptakanlah kesan aparat sebagai pihak paling disiplin dan solusi bagi semua permasalahan. Ini diungkap Ardi Manto Putra, peneliti Imparsial, “…tata birokrasi di kedua institusi tersebut bermasalah, lalu kemudian mengorbankan BUMN untuk menampung mereka.” Penempatan aparat sebagai pejabat demikian meningkatkan kontra-reformasi di jajaran birokrasi. Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga mengemukakan bahwa pengerahan aparat dalam Normalitas Baru berisiko konflik kepentingan. “Kalau ada kasus korupsi kan mungkin disidik oleh polisi, sedangkan dia juga adalah polisi.” Sementara dibandingkan itu menurutnya TNI malah lebih tinggi risiko konflik kepentingannya karena mereka hingga kini masih diadili di peradilan militer yang menurut Asfin tidak terjangkau. Sebagai efek rentetannya, hal ini berisiko meningkatkan pemberangusan demokrasi dan impunitas (pelaku pelanggaran HAM tidak dihukum).

Kedua, keuntungan bagi militerisme juga berupa kekuasaan mencampuri ranah sipil bahkan menempatkan dirinya di atas rakyat sipil. Ini bukan hanya dorongan inisiatif dari Jokowi tapi juga desakan faksi-faksi tertentu di kalangan militerisme. Connie Rahakundini Bakrie, dosen Universitas Pertahanan Indonesia, sejak bulan Februari bahkan mendesakkan agar diberlakukan darurat militer untuk memerangi Corona. Istri dari Djaja Suparman, mantan Pangdam Brawijaya yang pernah divonis bersalah akibat kasus korupsi senilai Rp 17,6 miliar, sempat berbicara sebagai narasumber di Kompas TV, mengkritik darurat sipil atau darurat kesehatan tidaklah cukup, dan menuntut agar militer bukan hanya diberi kekuasaan sebagai kepala pelaksana penanganan wabah tapi juga kepala pemerintahan darurat. Ia menakut-nakuti bahwa kalau tidak diterapkan darurat militer maka akan muncul risiko kerusuhan sosial dan penjarahan. Ini belum termasuk aktivitas mencurigakan Kementerian Pertahanan di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto yang meningkatkan pasokan alat-alat utama sistem persenjataan di tengah situasi pandemi.

Konflik bahkan juga muncul antara pemerintah sipil dengan militerisme. Saat Risma bersujud di hadapan para dokter perwakilan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur dan Surabaya karena frustrasi disalahkan, ia lantas dikritik Pangdam Brawijaya sebagai pemain drama. Pangdam Brawijaya menyalahkan selama ini pelanggaran protokol kesehatan hanya ditegur saja dan karenanya terus diulangi. Argumen Pangdam Brawijaya yang menuntut penegakan disiplin lebih keras menyiratkan kepentingan militerisme untuk merangsek memanfaatkan pandemi demi memperluas jatah serta ranah kekuasaannya berdalih sebagai pihak paling dengan otoritas paling kuat dalam menegakkan disiplin.

Terhitung sejak akhir Mei, Jokowi sebagai panglima tertinggi RI mengerahkan 340.000 aparat dengan dalih ‘membina’ masyarakat di empat provinsi dan 25 kota agar berdisiplin menerapkan protokol kesehatan dalam rangka menuju Normalitas Baru. Pendisiplinan oleh aparat ini tentu saja bias kelas. Para pejabat dan elit politisi borjuis Indonesia sendiri sering tidak disiplin. Mulai dari kasus anggota DPRD Blora murka dan menolak diperiksa suhu tubuhnya di bandara, anggota DPRD Pasaman Sumbar tidak pakai masker saat mobil dinas yang dikendarainya kena razia, seringnya Jokowi dan berbagai menteri tidak pakai masker dan menjaga jarak secara benar, dan sebagainya. Tapi mereka tidak dihukum. Berbeda perlakuan TNI-Polisi terhadap rakyat. Rakyat yang tidak pakai masker saat dirazia bisa dihukum push up sampai ditembak dengan meriam air. Justinus Silas Dimara, pemuda berusia 35 tahun dari Hamadi Jayapura Selatan tewas karena terpelanting dan pendarahan menghindari tembakan meriam air oleh aparat.

Pendekatan bersenjata berdalih penanganan wabah demikian demikian disimpulkan Rivanlee Anandar, Kepala Biro Penelitian Pemantuan, dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) sebagai tindakan yang malah: “…membentuk situasi tidak normal, bukan pengkondisian kelaziman baru…malah cenderung masuk ke ranah sipil dan berbuat sewenang-wenang. Keterlibatan mereka dalam penanganan Covid-19 menyusutkan kebebasan sipil.” Rivanlee juga menganggap upaya menanamkan kedisiplinan kesehatan dengan mengerahkan aparat sebagai kesalahan. “…semestinya lebih banyak otoritas kesehatan yang mampu menunjukkan peranan dalam PSBB.” Lebih lanjut ia mengungkapkan pengerahan aparat malah tidak menurunkan kurva penyebaran virus Covid-19.

Dengan sederet fakta diutamakannya pembukaan kembali bisnis yang diiringi pendekatan bersenjata demikian, tentu saja, bukan hanya konglomerat, pejabat, dan aparat, yang berkepentingan atas Normalitas Baru. Melainkan juga kepentingan kapitalis global yang menanamkan kapitalnya di Indonesia. Penanaman modal asing (PMA) di triwulan pertama 2020 anjlok Rp 9,9 triliun akibat PSBB. Jadi target PMA meleset 71,8% atau Rp 250 triliun. Sedangkan modal asing yang dilarikan keluar Indonesia sebanyak Rp 120 triliun. Kapitalis global hanya akan menanamkan kembali kapitalnya bilamana ada jaminan keuntungan serta jaminan operasi bisnis, yang oleh rezim Jokowi-Amin dilayani dengan skema Normalitas Baru. Ini ditegaskan dengan pernyataan Djauhari Oratmangun, Duta Besar untuk Tiongkok pada 18 Juni 2020, yang mengungkap investasi asing adalah sumber pertumbuhan di era Normalitas Baru. Dengan utang pemerintah RI per akhir Maret 2020 mencapai Rp 5.192 trilliun, represi akibat pendekatan bersenjata berdalih penegakan disiplin dalam kerangka Normalitas Baru untuk membuka kembali bisnis dan melayani investasi, berisiko akan semakin meninggi sementara pandemi belum tentu teratasi.

CATATAN:

*Perlu dipahami bahwa militerisme adalah penggunaan kekuatan militer secara aktif sebagai alat penindasan kelas penindas yang berkuasa. Sedangkan militer adalah institusi bersenjata yang menggunakan kekuatan mematikan. Walaupun di Indonesia pasca-98 institusi kepolisian sudah dipisahkan secara hukum dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) namun fakta bahwa kepolisian menggunakan persenjataan mematikan membuatnya secara faktual tetap tergolong militer.

Ditulis oleh Leon Kastayudha, Anggota Sosialis Muda dan Kader Perserikatan Sosialis

SUMBER:

BBC Indonesia. (28 Mei 2020). ‘New Normal’: Pelibatan Tentara Justru Menciptakan ‘Abnormalitas’, Pemerintah Beralasan Demi ‘Mendisiplinkan’ Warga.(Daring). Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/amp/indonesia52834296.

Bean, James. (11 Juni 2020). Indonesia’s ‘New Normal’ A Disaster in The Making. (Daring). Diakses dari https://asiatimes.com/2020/06/indonesias-new-normal-a-disaster-in-the-making/.

Briantika, Adi, (28 Mei 2020). Masalah di Balik Pengerahan TNI-POLRI untuk New Normal. Tirto.id (Daring). Diakses dari https://tirto.id/masalah-di-balik-pengerahan-tni-polri-untuk-new-normal-fC9f.

Hastuti, Rahajeng Kusumo. (23 Juni 2020). Ironi, Kasus Corona RI Melesat 70% Saat Transisi New Normal. CNBC Indonesia (Daring). Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20200623170610-4-167467/ironi-kasus-corona-ri-melesat-70-saat-transisi-new-normal.

Kumparan. (10 Juni 2020, 12:31). Jokowi: Jika Kasus Baru Corona Naik, Kita Langsung Perketat atau Tutup Lagi. (Daring). Diakses dari https://kumparan.com/kumparannews/jokowi-jika-kasus-baru-corona-naik-kita-langsung-perketat-atau-tutup-lagi-1taIud0JSRS/full.

Kumparan. (11 Juni 2020, 12:23) Media Asing Soroti New Normal di Indonesia: Bakal Jadi Bencana. (Daring). Diakses dari https://kumparan.com/kumparansains/media-asing-soroti-new-normal-di-indonesia-bakal-jadi-bencana-1tafVQQYrek/full.

Putsannara, Dipna. (29 Mei 2020). Arti New Normal Indonesia: Tatanan Baru Beradaptasi dengan COVID-19. Tirto.id. (Daring). Diakses dari https://tirto.id/arti-new-normal-indonesia-tatanan-baru-beradaptasi-dengan-covid-19-fDB3.

Rikang, Raymundus. (30 Mei 2020). Lobi-Lobi Pengusaha Mengegolkan Normal Baru. Tempo (Daring). Diakses dari https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/160596/lobi-lobi-pengusaha-mengegolkan-normal-baru?hidden=login.

Taher, Andrian Pratama. (25 Juni 2020). Pemerintahan Sipil Jokowi di Tangan TNI&Polri. Tirto.id (Daring). Diakses dari https://tirto.id/pemerintahan-sipil-jokowi-di-tangan-tni-polri-fK5p.

Loading

Comment here