BATALKAN OMNIBUS LAW! SEMUA KLASTER, BUKAN HANYA KETENAGAKERJAAN!TOLAK PHK MASSAL!
Di tengah pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera mereda, proses Omnibus Law terlihat masih akan terus berjalan. Setelah UU Minerba disahkan pada bulan lalu, beberapa pimpinan serikat buruh belum lama ini bertemu dengan Menkopolhukam. Pertemuan itu menunjukkan bahwa itikad untuk meneruskan pembahasan Omnibus Law tidak terlihat akan dikoreksi. Walau situasi keseluruhan negeri masih dalam keadaan darurat bencana, publik belum menyaksikan adanya perubahan gestur politik baik di tubuh eksekutif, maupun legislatif.
Tiga bulan terakhir ini kondisi kehidupan rakyat semakin memburuk dalam kecepatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dalam hitungan hari, ratusan ribu orang dilempar keluar dari sentra-sentra industri sebagai pengangguran baru. Ratusan ribu yang lainnya dirumahkan atau dipangkas upahnya. Angka PHK yang menembus lebih dari 3 juta orang, tanpa ada upaya apapun bagi pemerintah untuk menghentikannya, disempurnakan dengan parade pelanggaran hak-hak normatif buruh secara telanjang dan membabi buta di berbagai tempat.
Dalam kondisi yang sangat sulit bagi kelas pekerja Indonesia ini, negara memainkan peran yang kelewat tak bertanggungjawab, seperti tidak efektifnya kinerja Dinas Ketenagakerjaan di berbagai daerah, regulasi yang mendorong pembayaran THR dicicil menjelang Lebaran, menggulirkan program Kartu Pra Kerja yang semrawut dan terakhir mengeluarkan Peraturan Pemerintah terkait Tapera. Dalam dua puluh tahun terakhir, rasanya kita belum pernah melihat serangan kepada kelas pekerja Indonesia seburuk seperti yang kita alami sekarang ini.
Kerusakan yang akut pada tenaga produktif di Indonesia akan terus menggelinding kencang kedepan. Asumsi pertumbuhan ekonomi tahun ini tidak akan melampaui angka 1%, bahkan sebagian pihak menyebut angka di bawahnya. Tren inflasi pun melemah. BPS mencatat inflasi Ramadan dan Idulfitri pada Mei 2020 hanya 0,07 persen secara month to month (mtom). Bandingkan dengan inflasi Lebaran tahun lalu sebesar 0,55 persen. Pertumbuhan ekonomi yang kisut dan inflasi yang rendah akan memukul upah pekerja di tahun depan, sebagaimana skema penetapannya yang diatur PP 78/2015.
Berpadu padan dengan limbungnya tiang pancang ekonomi, curva pandemi belum juga menunjukkan angka penurunan. Per 12 Juni 2020, sebanyak 36.406 orang telah terpapar corona dan lebih dari 2000 orang telah meninggal. Bila beberapa negara sudah beranjak mempersiapkan protokol pencegahan gelombang kedua pandemi, pemerintah negeri ini bukan saja belum mampu menuntaskan masalah pertamanya, mereka malah berniat melompat ke ‘New Normal’ tanpa indikator saintifik apapun. Tidak ada ‘trik sulap’ seberbahaya seperti yang sedang direncanakan pemerintah saat ini.
Kini rakyat bukan semata hidup dalam kemerosotan ekonomi yang kronis, pun keseharian mereka dibekap ketakutan akibat tidak kunjung jelasnya pengendalian angka penularan Covid-19. Kondisi ini mengekpos situasi krisis yang sangat dalam, setidaknya untuk dua hal, krisis ekonomi dan krisis kesehatan publik. Di atas kondisi yang runyam ini, belum terdengar pernyataan tegas untuk menghentikan proses pembahasan Omnibus Law. Penghentian dalam makna mencabutnya secara penuh. Protes rakyat terhadap Omnibus Law sebelum masa pandemi, yang melibatkan sekurang-kurangnya 42 kota/kabupaten, serta serbuan puluhan ribu pesan pendek ke anggota parlemen, rupanya tak cukup menghentikan niat kekuasaan demi menjalankan kemauannya.
Beberapa pimpinan serikat buruh belakangan waktu malah bermanuver untuk mencoba memisahkan Omnibus Law Cipta Kerja dengan kluster lain yang juga membahayakan kehidupan rakyat. Upaya ini merupakan tindakan yang tak patut dan sangat jauh dari terpuji. Masalah kelas buruh di Indonesia tentu bertalian erat dengan problem kemiskinan kaum tani di pedesaan, perampasan tanah, kejahatan korporasi, pengerusakan lingkungan dan peminggiran perempuan. Upaya memisahkan kluster ketenagakerjaan dari kluster-kluster lain dalam Omnibus Law pantas dinyatakan sebagai tindakan mencacah persatuan rakyat tertindas.
Patut diingat, RUU Cipta Kerja tidak saja membahayakan kelas buruh. RUU liberal ini membahayakan seluruh sendi-sendi ekonomi berbasiskan kerakyatan, yakni buruh, petani, nelayan, masyarakat miskin di pedesaan dan di perkotaan. Tidak saja klaster ketenagakeraan, RUU Cipta kerja juga tengah mengobrak-abrik banyak UU dan Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait hak-hak petani dan agenda reforma agraria untuk petani, buruh tani dan rakyat tak bertanah. Saat ini kita memerlukan persatuan nasional gerakan sosial.
Pimpinan-pimpinan serikat buruh semacam ini tentu tidak bisa dinyatakan sebagai representasi utuh gerakan buruh di Indonesia. Mereka bukanlah wajah kelas buruh Indonesia secara keseluruhan! Di tengah situasi jutaan buruh kehilangan pekerjaan dan dibanjiri pelanggaran hak-hak normatif selama pandemi, sementara negara tampak abai atasnya, tidak ada pilihan bagi pimpinan gerakan buruh yang sejati kecuali menjaga jarak dengan kekuasaan. Namun sebagian pimpinan serikat buruh yang lain malah merapatkan diri dalam pertemuan-pertemuan dengan elit kekuasaan.
Atas berbagai perkembangan situasi di atas dan didorong kemendesakan untuk menyatakan sikapnya secara terang benderang, maka Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menyatakan:
1. Batalkan Omnibus Law Cipta Kerja! Semua Klaster, Bukan Hanya Ketenagakerjaan!
2. Menuntut dihentikannya pembahasan Omnibus Law dan mendesak negara memfokuskan diri pada penyelesaian pandemi Covid-19.
3. Menuntut negara untuk menghentikan PHK massal yang sedang terjadi dan mengambil tindakan tegas atas berbagai pelanggaran hak-hak normatif yang diatur oleh Undang-Undang.
4. Menuntut negara segera menjalankan reforma agraria sejati untuk petani, buruh tani, peladang tradisional dan rakyat miskin.
5. Menyerukan kepada seluruh anggota GEBRAK untuk menggelar aksi pemasangan spanduk besar-besaran di perkotaan dan di pedesaan; di pabrik-pabrik, kawasan industri, tempat kerja, kantor serikat, di desa, sawah-sawah dan kebun rakyat, yang berisikan penolakan Omnibus Law.
6. Menyerukan persatuan diantara gerakan buruh, petani, rakyat miskin kota, pemuda, mahasiswa, perempuan dan semua lapisan rakyat tertindas untuk membatalkan Omnibus Law.
Jakarta, 15 Juni 2020
☆☆☆GEBRAK☆☆☆《Gerakan Buruh Bersama Rakyat》
1. KPBI
2. KASBI
3. SGBN
4. KSN
5. Purple Code
6. SP Jarkom Perbankan
7. Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)
8. Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR)
9. Perempuan Mahardhika
10. Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI)
11. Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO)
12. Aksi Kaum Muda Indonesia (AKMI)
13. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
14. LBH Jakarta
15. BEM Jentera
16. Solidaritas Pekerja VIVA (SPV)
17. LMND-DN
18. BEM FE Unisma Bekasi
19. UKM Pusaka Unisma Bekasi
20. SP Johnson
21. Federasi Mahasiswa Kerakyatan (FMK)
22. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
“Bebaskan Seluruh Tahanan Politik yang Berjuang Melawan Tindakan Rasisme Papua”
Berangkat dari situasi diskriminasi rasial pada bulan Agustus 2019 di Surabaya.
Mahasiswa Papua mengalami diskriminasi rasial dengan dikatakan “Orang Papua Monyet”, mengalami intimidasi, hingga diusir oleh aparatur dan ormas tertentu.
Pemerintah Indonesia beserta aparat keamanan akan terus menghembuskan diskriminasi rasial, tindakan represif hingga kriminalisasi demi melanggengkan tindasan dan hisapan terhadap rakyat Papua Barat.
Bahwa tindakan diskriminasi rasial (rasisme) adalah perbuatan yang merendahkan martabat manusia dan menciderai Hak Asasi Manusia.
Aksi protes anti rasis yang dilakukan seluruh rakyat Papua merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia dalam hal kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Hak asasi tersebut tidak sepatutnya dijawab dengan tindakan represif.
Dalam perkembangannya, upaya protes yang dilakukan justru menuai respon negatif pemerintah Republik Indonesia dengan mengarahkan aparat bersenjata untuk melakukan pengejaran, pemburuan, penangkapan, kriminalisasi, pengiriman ribuan personel militer, pemutusan jaringan internet, dan beragam bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kebebasan sipil lainnya.
Hingga akhir tahun 2019, Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan upaya kriminalisasi, terdapat 83 tahanan politik papua baik di wilayah Papua maupun diluar Papua. Salah satunya ialah Ferry Kombo (Mantan Ketua BEM Uncen) dan 6 tahanan politik lainnya yang saat ini sedang berada di Rutan Klas II Balikpapan, Kalimantan Timur.
Sebelumnya, tahanan Politik Papua tersebut mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan pada tanggal 25 juni 2020. Jaksa Penuntut Umum melakukan tuduhan terhadap Tahanan Politik Papua dengan Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang makar.
Berdasarkan surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada 7 Tahanan Politik Papua ialah sebagai berikut :
1. Ferry Kombo (Mantan Ketua Bem Uncen) dituntut 10 Tahun penjara
2. Alex Gobay (Ketua Bem USTJ) dituntut 10 Tahun penjara
3. Hengky Hilapok (Mahasiswa USTJ) dituntut 5 Tahunpenjara
4. Irwanus Urobmabin (Mahasiswa USTJ) dituntut 5 Tahun penjara
5. Buktar Tabuni (Aktivis ULMWP) dituntut 17 Tahun penjara
6. Steven Itlay (Ketua KNPB Timika) dituntut 15 Tahunpenjara
7. Agus Kossay (Ketua Umum KNPB Papua) 15 Tahun penjara
Seluruh kawan-kawan yang sedang ditahan merupakan korban tindakan diskriminasi rasial yang berupaya menyuarakan sikap politiknya menentang rasisme.
Mereka yang mendiamkan tindakan rasis adalah mereka yang membiarkan kemanusiaan berada di telapak sepatu kaki penguasa.
Maka dari itu, kami Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menyerukan semangat solidaritas antar sesama rakyat tertindas yang menghendaki keadilan, kesetaran, serta menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Selama masih ada sistem Kapitalisme-Imperialisme, maka diskriminasi rasial akan terus berlangsung di tanah Papua dan wilayah lainnya.
Maka, menyatukan kekuatan seluruh rakyat tertindas untuk melawan Kapitalisme adalah jawaban yang tepat.
Atas dasar situasi tersebut, berikut pernyataan sikap Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) :
1. Bebaskan 7 Tahanan Politik Papua (Ferry Gomboh dkk.) sekarang juga tanpa syarat!
2. Menolak politik rasial terhadap rakyat Papua dan rakyat lain secara lebih luas.
3. Hentikan segala bentuk represi, pelanggaran HAM, dan pelanggaran kebebasan sipil, khususnya terhadap rakyat Papua dan rakyat pada umumnya.
4. Tarik militer dari Papua dan lakukan penyelesaian damai serta berkemanusiaan terhadap masalah Papua.
5. Hentikan seluruh tindakan teror, intimidasi, dan represi terhadap diskusi-diskusi yang membahas rasisme dan persoalan rakyat lainnya.
Organisasi Gebrak: 1. Konfederasi Serikat Nasional (KSN) 2. Bengkel Sastra Universitas Sanatadharma Jogja. 3. HMPS sasindo Universitas Sanatadharma Jogja. 4. Aksi Kaum Muda Indonesia (AKMI) 5. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)6. Forum Persatuan Mahasiswa Universitas Bung Karno ( FPM – UBK ) 7. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) 8. Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) 9. LMND-DN 10. Kesatuan perjuangan rakyat (KPR) 11. LBH Jakarta 12. Perempuan Mahardhika 13. BEM Jentera 14. Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO) 15.Konfederasi KASBI 16. Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI) 17. Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN) 18. BEM universitas Budi Luhur 19. Federasi Pelajar Jakarta (Fijar) 20. Federasi Mahasiswa Kerakyatan (FMK) 21. Gerpuan UNJ 22. BEM FH UBK 23. Space UNJ 24. Forum Mahasiswa IISIP Bersatu
Homat Kami, Kolektif Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK)
Comment here