Tindakan diskriminasi rasis oleh Indonesia bukan hal yang baru terjadi, tetapi sudah terjadi sejak 1 Mei 1963, ketika Papua dianeksasi ke dalam Indonesia secara paksa. Sejak saat itu pula tindakan rasis oleh Indonesia dimulai. Ini terus terjadi sampai dengan saat ini.
Aksi demo anti rasisme beberapa wilayah di tanah Papua bukan terjadi begitu saja tetapi akibat kemarahan rakyat Papua atas semua tindakan rasis hingga kejadian pengepungan Asrama Kamasan Papua, Surabaya pada tanggal 16 dan 17 Agustus 2019.
Ke-7 Tapol Papua di Balikpapan, Kalimantan Timur yang tuntut oleh JPU Papua 5 sampai 17 tahun penjara adalah korban rasisme. Mereka bukan pelaku rasisme.
Kami Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua (Sepaham-Papua) melihat, mulai proses penangkapan, penyelidikan, sampai dengan persidangan ke-7 Tapol sangat diskriminatif dan rasis. Hukum Indonesia sangat rasis. Hal ini bisa terlihat dari proses penangkapan yang tidak menunjukan surat perintah penangkapan kepada ke-7 Tapol dari pihak keluarga, proses BAP dilakukan tanpa ada pendampingan hukum dari PAHAM Papua maupun LBH Papua, bahkan proses pemindahkan ke-7 Tapol ke Balikpapan, Kalimantan Timur, Polda Papua melakukanya secara diam-diam dan tanpa ada pemberitahuan ke pihak kelurga dan juga tim kuasa hukum dari ke-7 Tapol yang mendampingi.
Terkait dengan pasal-pasal yang di sangkakan kepada ke-7 Tapol jika dikaitkan dan disimak baik dengan penjelasan saksi ahli pasal makar, saksi ahli hukum ketatanegaraan dan saksi ahli hukum pidana, jelas terlihat tidak ada satupun tindakan makar yang dilakukan oleh ke-7 Tapol. Tetapi apa yang dilakukan ke-7 Tapol itu adalah hak mereka dalam hal menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar 1945, Pasal 28.
Indonesia tidak layak disebut sebagai negara demokrasi dan negara yang menjunjung tinggi HAM, sebab pada faktanya apa yang tertulis dalam undang-undang itu tidak sejalan dengan penerapannya pada kehidupan bernegara.
Dari ini, atas nama Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua (Sepaham-Papua), kami mendesak dan menuntut:
Pertama: Pemerintah Indonesia segera bebaskan 7 Tapol Papua di Balikpapan, Kalimantan Timur dan seluruh Tapol Papua tanpa syarat apapun.
Kedua: Kami meminta kepada ketiga hakim yang memimpin persidangan untuk ke-7 Tapol agar menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan berpenggan penuh pada fakta persidangan yang ada.
Ketiga: Kami mengutuk elit-elit politik Papua yang mempolitisasi proses hukum ke-7 Tapol untuk agenda Otsus Plus dan pemekaran di tanah Papua.
Keempat: Berikan hak penentuan nasib sendiri sebbagai solusi demokratis untum mengakhiri tindakan rasisme dan pelanggaran HAM terhadap Bangsa Papua.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan. Semua kalangan harus lebih demokratis melihat ini. Terima kasih.
Port Numbay, Jumat 12 Juni 2020
Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua (Sepaham-Papua)
Juru Bicara
Nelius Wenda
Comment here