Fasisme adalah gerakan reaksioner berbasis borjuis kecil dan lumpen proletar yang lahir dan subur saat kapitalisme mengalami krisis serta bertujuan untuk menghancurkan gerakan kelas buruh dan rakyat pekerja pada umumnya serta gerakan kiri pada khususnya agar mencegah mereka mengambil alih kekuasaan serta dengan demikian menyelamatkan kapitalisme dan masyarakat kelas itu sendiri. Fasisme berwatak ekstrem kanan, ultra-nasionalis, dan subjektivis dalam filsafat dan totaliter dalam praktiknya. Sedangkan sebagai kekuasaan, fasisme adalah bentuk paling reaksioner dari pemerintahan kapitalis.
Fasisme bangkit dimulai dari Italia pada 1922 – 1943. Kemudian Jerman pada 1933 – 1945. Lalu Spanyol pada 1939 – 1975 dan diikuti negara-negara lainnya, umumnya di masa antara Perang Dunia I (PD I) dan Perang Dunia II (PD II). Asal muasal istilah ini dari kata bahasa Italia: fascismo yang merupakan kata turunan dari kata bahasa latin yaitu fasces (seikat ranting atau cabang yang memiliki kapak di tengahnya—simbol otoritas di Romawi Kuno). Benito Mussolini mengadopsi lambang ini sebagai lambang gerakan Fasis Italia tahun 1919.
Sebagaimana dicantumkan sebelumnya, komposisi kelas dan susunan sosial gerakan Fasis utamanya terdiri dari kelas borjuis kecil dan lumpen proletar. Borjuis kecil atau kapitalis kecil adalah mereka yang menguasai modal dan alat produksi namun dalam skala kecil serta tidak memegang dominasi ataupun monopoli dalam corak produksi kapitalisme. Berbeda dengan borjuasi besar yang menguasai alat produksi dan bisa membeli tenaga kerja proletar—mulai dari mempekerjakan buruh, satpam, hingga manager—(bahkan menyewa lumpen proletar) demi kepentingan operasi produksinya, borjuasi kecil memang bisa mempekerjakan buruh namun itu dalam jumlah kecil sehingga seringkali mereka juga tetap harus bekerja juga bersama buruhnya.
Mereka yang termasuk ke dalam kelas ini antara lain: pedagang kecil, pemilik bisnis kecil atau pengusaha kecil, juragan toko dan bengkel, hingga petani sedang (menguasai tanah luas) dan petani kaya (menguasai tanah luas dan mempekerjakan orang lain) serta para pejabat pemerintahan. Pendirian ekonomi-politik dan ideologis mereka pada masa stabilitas sosio-ekonomi mencerminkan pandangan borjuasi (besar) yang mana merupakan sosok kelas ideal bagi mereka dan menjadi cita-cita bagi mereka untuk menjadi borjuasi besar. Sentimen dan moralitas borjuis kecil juga meniru borjuasi besar.
Karl Marx memandang dan memperkirakan bahwa kelas borjuasi kecil akan kalah dalam alur atau laju perkembangan ekonomi. Kapitalisme yang menerapkan persaingan dan pasar bebas berkonsekuensi langsung: seorang atau suatu kubu kapitalis menang dengan mengalahkan bahkan menghancurkan kapitalis-kapitalis saingannya. Kapitalis yang menang menguasai semakin banyak dominasi pasar, laba, kapital, dan alat produksi. Sedangkan kapitalis lainnya kalau mau bertahan terpaksa melakukan merger atau diakusisi kapitalis pemenang atau kapitalis lebih besar. Sementara kapitalis yang kalah gulung tikar alias bangkrut dan buyar perusahaannya. Tentu saja kapitalis yang punya risiko besar terancam kalah dan bangkrut adalah kapitalis kecil alias borjuasi kecil. Karena kecilnya modalnya, alat produksinya, dan tenaga kerjanya membuatnya mudah jadi mangsa empuk dan bulan-bulanan di hadapan borjuasi besar atau bahkan kapitalis raksasa.
Sedangkan kelas lumpen proletar di sisi lain adalah kelas yang terbuang, merosot, dan tidak terserap dalam industri atau corak produksi kapitalis sehingga mereka tidak berkontribusi positif dalam produksi secara sosial bahkan berperan negatif. Mereka yang termasuk lumpen proletar antara lain: pengemis, pelacur, preman, pencuri, perampok, pemeras, penipu, pencopet, penjahat-penjahat kelas teri, dan bahkan termasuk pengangguran. Singkat kata kalangan yang terbuang dari industri dan terdegenerasi.
Meskipun para pentolan gerombolan fasis umumnya berkuasa juga lewat sponsor dan pendanaan kapital-kapital besar namun basis massanya sekali lagi adalah kelas borjuis kecil dan kelas lumpen proletar itu tadi. Bagaimana bisa?
Saat kapitalisme mengalami krisis berkepanjangan atau depresi ekonomi secara besar-besaran, bukan hanya kelas proletar yang menderita namun lapisan luas dari rakyat, termasuk borjuasi kecil dan lumpen proletar. Namun berbeda dengan kelas buruh yang memang sejak awal tidak memiliki alat produksi, dalam krisis, kelas borjuasi kecil terancam kehilangan alat produksinya. Dengan kata lain terancam terlempar masuk ke kelas buruh atau bahkan menjadi pengangguran. Namun berbeda dengan kelas proletar, borjuasi kecil tidak berkepentingan terhadap pengambilalihan alat produksi sebaliknya berkepentingan mempertahankan alat produksinya. Tapi berbeda dengan borjuasi besar yang bukan hanya menguasai alat produksi dan modal dalam skala besar namun juga punya kecakapan politik, keahlian organisasional, dan pengaruh opini publik dalam skala besar, borjuasi kecil (karena kecilnya modal dan alat produksinya) umumnya bersandar pada keluarga patriarkal (sebagaimana kita tahu perusahaan kecil seperti Usaha Kecil dan Menengah (UKM) umumnya berupa home industry atau industri rumah tangga) dimana kepala perusahaannya umumnya dipimpin pula oleh Bapak alias Kepala Rumah Tangga dengan segenap moralitas sisa feodal dalam posisi ekonomi yang rawan pula. Oleh karenanya borjuis kecil lebih rentan jatuh pada prasangka reaksioner seperti teori konspirasi hingga rasisme. Respon borjuis kecil terhadap risiko kehilangan kekuasaan ekonomi, politik, dan sosial seringkali juga berupa tindakan-tindakan teroristis. Ini juga yang membuat mereka rentan menjadi basis kelas Fasisme.
Sedangkan lumpen proletariat juga rentan menjadi basis kelas Fasisme sebab umumnya atau biasanya lumpen proletariat bergantung pada borjuasi. Bukan hanya kelompok-kelompok dalam kelas lumpen proletar yang terdiri dari antara lain: pengemis, pelacur, preman, pencuri, perampok, pemeras, penipu, pencopet, penjahat-penjahat kelas teri, dan pengangguran, sering diperalat dan dijadikan barisan tukang pukul oleh kelas penindas, namun juga sebagaimana dikatakan Marx, karena lumpen proletariat tidak punya motif istimewa atau kepentingan utama untuk berpartisipasi dalam revolusi. Posisi negatifnya dalam corak produksi bahkan sering membuahkan tindakan-tindakan liar, brutal, dan tak terkendali dalam berbagai babakan pergolakan sosial. Bersama dengan borjuis kecil, lumpen proletariat bisa menjadi barisan berbahaya di pihak Fasisme.
Fasisme itu sendiri memiliki banyak bentuk dan aliran, alias tidak tunggal dan seragam. Misalnya Fasisme di Italia pimpinan Mussolini seringkali berbeda bahkan bergesekan dengan fasisme Hitler di Jerman. Berlainan pula dengan fasisme Jenderal Franco di Spanyol. Berbeda dengan di Portugal. Bahkan berbeda pula dengan Statisme di Jepang.
Namun bila disimpulkan mengapa fasisme bisa bangkit dan berkuasa, itu bisa dibagi ke dalam dua faktor, faktor subyektif (internal) dan faktor obyektif (eksternal). Faktor obyektif meliputi 1) terjadinya krisis kapitalisme, 2) kepentingan kapitalisme untuk mempertahankan sistemnya membuatnya berseberangan tidak hanya dengan kelas proletar namun juga terhadap demokrasi, 3) serta kegagalan perjuangan kelas proletar untuk merebut kekuasaan dan menumbangkan kapitalisme. Sedangkan faktor subyektif terdiri atas 1) basis massa fasisme yang bertopang pada kelas borjuis kecil dan lumpen proletar serta pandangan kelas fasisme yang menentang perjuangan kelas dan menggantinya dengan kolaborasi kelas, 2) sistem ekonomi fasisme yang tidak anti kapitalisme melainkan menopang kapitalisme negara, 3) praktek politik fasisme (anti demokrasi, anti oposisi), 4) serta pandangan sosial-kebudayaannya yang membangun kultus (pemujaan) individu, membangun kultus (pemujaan) maskulinitas, berorientasi rasis—bahkan tak terbatas pada ras namun juga dengan menggunakan sentimen suku, agama, dan antar golongan (baik secara chauvinis maupun secara diskriminatif), serta menggunakan mitos-mitos kejayaan di masa lalu.
Secara lebih detail, sistem ekonomi fasisme merupakan ekonomi korporat yang merupakan total kebalikan dari model anarko-sindikalis. Sistem ekonomi di bawah rezim fasisme menjunjung tinggi asosiasi-asosiasi majikan di industri-industri tertentu untuk menetapkan kondisi kerja, harga, dan sebagainya. Korporatisme demikian membuat majikan mendikte segala hal. Mulai dari jam kerja hingga upah minimum tanpa intervensi negara atau bahkan di sisi lain justru majikan-majikan ini terintegrasi penuh dengan kapitalisme negara. Contohnya Confindustria di Italia, Reichswerke di Jerman, Zaibatsu di Jepang, dan sebagainya. Perbedaan model korporat fasisme dengan model korporat moderat adalah: fasisme menghapus semua bentuk kontrol yang melindungi buruh, lingkungan, dan menghancurkan semua organisasi buruh independen. Kemudian dalam fasisme, parlemen korporat akan menggantikan badan perwakilan pemerintah atau mengerdilkannya menjadi sekadar formalitas sehingga negara bebas campur tangan bahkan mendikte aktvitas perusahaan.
Selain yang sudah dijelaskan di atas ciri-ciri dasar lainnya dari fasisme adalah: esktrem kanan, ulta-nasionalis, menjunjung tinggi hirarki, anti-kesetaraan, relijius bahkan mengembangkan kultus individu, kapitalistis, dan menentang modernisme. Walter Benjamin menarik kesimpulan dengan sangat tepat, “Di balik setiap fasisme ada revolusi buruh yang kalah.”
Anti Fasisme
Anti Fasisme, dalam pengertian luas, adalah gerakan perlawanan terhadap ideologi, kelompok, orang-orang, dan gerakan fasis. Namun dari pertama kali sekali kita harus mengecualikan negara-negara Sekutu seperti Britania dan Amerika Serikat dari kelompok anti fasisme ini. Hanya karena mereka berada dalam kubu PD II yang berseberangan, itu tidak otomatis membuat Britania dan AS pantas disebut sebagai anti fasis. Sebab patut diketahui dan diingat, lahirnya fasisme di Jerman sendiri dibantu oleh pemerintah-pemerintah Barat yang selama dua dasawarsa memandang bahwa fasisme adalah ideologi yang akan berhasil menghancurkan Uni Soviet. Barulah saat tank-tank Jerman bergerak ke perbatasan Inggris dan Prancis maka pemerintah-pemerintah tersebut menyatakan anti-Fasis yang intinya hanya saat dominasi imperialis mereka terancam oleh rival-rival fasisnya.
Gerakan Anti Fasis bisa dilacak muasalnya di jantung kelahiran Fasisme itu sendiri: Italia. Kebangkitan fasisme dengan organnya Partai Fasis Nasional langsung dihadapi dengan penentangan dari kaum Kiri. Banyak orang dari gerakan buruh bertarung melawan barisan fasis Kemeja Hitam. Lahirlah organisasi-organisasi anti-fasis seperti Arditi del Popolo dan Serikat Anarkis Italia di periode 1919-1921. Namun perjuangan anti-fasis ini menghadapi hambatan internal yaitu politik reformis kaum Demokrat Sosial (Demsos) di satu sisi dan politik ultra-kiri kaum Komunis Italia khususnya tendensi Bordiga di sisi lain. Para birokrat partai justru menghalang-halangi. Mereka justru tidak mau bentrok melawan fasis dan mencari pertolongan aparat serta di sisi lain malah berkompromi banyak terhadap kaum fasis. 10 Juli 1921 Lenin menulis artikel di Pravda yang memuji Arditi del Popolp dan mengkritik tendensi Bordigan dari Partai Sosialis Italia (PSI) yang menentang anti fasisme militan. Bahkan lebih parahnya 3 Agustus 1921 PSI menandatangani pakta perdamaian dengan Partai Fasis Nasional. Sisi lain Konfederasi Umum Buruh dan PSI menolak mengakui laskar-laskar anti-fasis. Bahkan Partai Komunis Italia (PCI) memerintahkan para anggotanya berhenti dari laskar itu cuma gara-gara keberadaan orang-orang non-komunis di barisannya. PCI kemudian membuat kelompok-kelompok militannya sendiri yaitu Squadre Comuniste D’azione namun aksi-aksi mereka relatif kecil dan partai terus menempatkannya sebatas strategi legalis non-kekerasan. Tendensi Bordiga ini ditentang oleh Antonio Gramsci dan beberapa komunis lainnya. Kesalahan-kesalahan kepemimpinan birokrat ini berakibat fatal berupa kekalahan anti fasisme di Italia.
Leon Trotsky menulis: “Fasisme mendapatkan pertolongan dari mereka-mereka yang tidak sadar yang mengatakan bahwa ‘perjuangan fisik’ adalah salah atau tak berpengharapan, serta menuntut Doumergue untuk melucuti senjata milisi fasisnya. Tak ada yang lebih berbahaya bagi kaum proletar, terutama untuk situasi saat ini, selain racun berasa gula dalam bentuk harapan-harapan yang palsu. Tak ada yang meningkatkan keangkuhan kaum fasis begitu banyak seperti halnya ‘pasifisme lembek’ dari organisasi-organisasi pekerja. Tak ada yang merusak kepercayaan kelas-kelas menengah terhadap kelas pekerja selain keragu-raguan, pasifitas dan tidak adanya keinginan untuk bertarung.”
Sedangkan di Jerman dasawarsa 1930an kaum NAZI semakin menguat. Pemilu 1930 menunjukkan suara kaum fasis ini naik enam kali sampai 18% dan pertengahan 1932 suaranya sudah mencapai 37%. Namun NAZI tidak membatasi dirinya hanya pada Pemilu. Mereka juga secara aktif menyerang dan membunuhi lawan-lawannya. Setiap organisasi gerakan buruh di Jerman berada dalam ancaman serangan NAZI: serikat-serikat buruh, Partai Demokratis Sosial (SPD), dan Partai Komunis Jerman (KPD). Sayangnya alih-alih menyatukan barisan, menggalang kekuatan, dan membangun front persatuan anti-fasis, para pimpinan SPD dan KPD malah bersikap sektarian serta memusuhi satu sama lain. SPD mencap kaum komunis sebagai fasis merah dan menyebutnya KOZI sementara KPD meyebut SPD sebagai “fasis sosial.” SPD mendirikan Eiserne Front atau Front Besi yang sebenarnya merupakan front persatuan semu karena hanya terdiri dari serikat-serikat yang dipimpin SPD sendiri ditambah beberapa liberal di satu sisi dan sisi lain SPD bergantung dan berharap negara, konstitusi Weimar, dan aparat polisi akan melindungi mereka. Sedangkan KPD di sisi lain secara aktif melawan laskar fasis Sturmabteilung (SA) atau Pasukan Badai dengan pandangan keliru seolah-olah mereka sendiri sebagai minoritas radikal bisa mengalahkan NAZI. KPD mendirikan Roter Front kämpferbund atau Liga Petarung Front Merah pada tahun 1924 setelah Proletarische Hundertschaften atau Ratusan Proletar dibubarkan dan dilarang. Setelah bentrokan pada Mayday 1929 dimana 30 orang tewas tertembak dan dibunuh polisi, Front Merah ini dibubarkan dan seluruh asetnya dirampas pemerintah. Sebagai gantinya KPD kemudian membentuk Antifaschistische Aktion atau Aksi Anti Fasistis. Front baru yang terbuka bagi setiap orang termasuk para anggota SPD namun dengan syarat mereka harus mau menerima serangan-serangan Aksi Anti Fasis terhadap SPD. Saat itu ada anggapan bahwa para anggota SPD akan bersedia meninggalkan partainya sebelum bergabung dengan Aksi Anti Fasis. Kenyataannya tidak berlaku demikian.
Memang SPD sudah merupakan suatu partai birokrat serikat buruh yang korup dan tidak berminat pada revolusi sosialis melainkan lebih menghendaki mengelola memanajeri kapitalisme. Namun suka tidak suka harus diakui bahwa SPD masihlah merupakan partai yang memiliki jumlah buruh berserikat paling banyak di Jerman. Tanpa massa mereka, perjuangan melawan NAZI tidak bisa menang. Para pendukung Leon Trotsky yang berhimpun di kubu Oposisi Kiri menyerukan pembangunan front persatuan namun sayangnya tidak didengarkan SPD maupun KPD selain karena jumlahnya yang minoritas. Sektarianisme di kedua pihak—di KPD dan SPD ini bertahan sampai 30 Januari 1933 dimana Elit Penguasa Jerman mengalihkan kekuasaan ke tangan Hitler. Segera setelahnya gerakan buruh digilas oleh SA dan aparat kepolisian. Serikat-serikat dilarang, bersamaan dengan KPD dan SPD, tanpa satu pun senjata ditembakkan. Kekalahan tanpa perlawanan adalah kekalahan paling tragis sekaligus memalukan. Aktivis buruh tidak kunjung bersatu sampai akhirnya jadi satu di kamp konsentrasi.
Terdapat beberapa pelajaran yang bisa ditarik dari gerakan anti fasisme. Pertama, kita tidak bisa bergantung dan mengandalkan aparat maupun negara untuk melawan kaum fasis. Kedua, kita butuh aksi massa yang luas melawan fasisme. Mulai dari demonstrasi, blokade, hingga pelipatgandaan tindakan-tindakan individual. Ketiga, perjuangan ini tidak bisa dibatasi hanya kepada minoritas radikal yang terbatas saja. Setiap organisasi rakyat—khususnya organisasi buruh harus diseru untuk secara aktif memobilisasi massanya. Mengapa massa buruh menempati posisi penting dalam perjuangan anti fasis? Sebab bukan hanya buruh yang paling berkepentingan sekaligus berkekuatan menjalankan tuntutan-tuntutan sosial dan demokratis dari kaum tertindas dan terhisap, namun juga buruh yang menjalankan tuas ekonomi dan roda masyarakat. Para sopir bus dan masinis serta buruh perkeretaapian bisa menolak mengangkut rombongan fasis. Para buruh bisa mogok dan memblokade jalan raya untuk menghadang konvoi fasis.
Kita juga harus menarik pelajaran dari kesalahan taktik Popular Front akibat politik Stalinis. Sebelumnya Stalinis bersikap sektarian dengan teori Periode Ketiga (yang menyatakan setelah Hitler naik berikutnya giliran kita) dan bersikap ultra-kiri dengan menolak Front Persatuan bahkan mencap kaum Demokrat Sosial sebagai Fasis Sosial. Namun tahun 1934 kaum Stalinis bergerak menjauh ke kanan dan menganut Popular Front. Kalau sebelumnya mereka menolak persatuan dengan massa buruh termasuk buruh Demokrat Sosial. Kini kaum Stalinis dengan taktik Popular Front berusaha melawan fasisme dengan menggalang SEMUA pihak yang mengaku demokratis TERMASUK borjuis demokratis. Bukan hanya perjuangan untuk revolusi sosialis yang ditunda dengan dalih menghadang fasisme, namun seluruh kepentingan kelas buruh ditundukkan ke bawah borjuasi. Inilah yang terjadi di Spanyol. Revolusi buruh di sana justru ditelikung oleh Partai Komunis Spanyol. Laskar-laskar buruh dan milisi-milisi rakyat dibubarkan, komune-komune industrial dan kolektif-kolektif agraria dihancurkan dan dikembalikan ke para kapitalis dan tuan tanah, semua demi menggalang persekutuan dengan borjuasi Spanyol. Namun pada momen terakhir toh Partai Komunis Spanyol juga dikorbankan borjuasi Spanyol yang menjelang kalahnya ingin berunding dengan kekuatan fasis pimpinan Jenderal Franco.
Sedangkan dalam konteks Indonesia, gerakan anti fasisme, muncul dalam masa kekuasaan rezim kolonial Jepang. Gerakan kiri anti fasis di Indonesia setidaknya terbagi dalam tiga kelompok: Pertama, kelompok PARI (singkatan terbuka sebagai Partai Republik Indonesia dan singkatan lain sebagai Proletariat Aslia (Asia-Australia) Republic International) pimpinan Tan Malaka. Organisasi ini didirikan Tan Malaka setelah perpecahannya dengan para pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI), khususnya Musso-Alimin yang menyetujui pemberontakan 1926 dimana pemberontakan tersebut berakhir dengan kegagalan, pemenjaraan, penggantungan, dan pembuangan para anggotanya ke Boven-Digul di Papua. PARI didirikan Tan Malaka bersama Subakat dan Djamaluddin Tamin dalam situasi dimana kebijakan Komunis Internasional (Komintern) semakin mengarah pada subordinasi negara-negara koloni dan superioritas Rusia.
Kedua, kelompok demokrat-sosial pimpinan Sutan Sjahrir. Basis kelompok anti fasis ini mayoritas berasal dari kader-kader yang berhasil direkrut dan didik oleh Sjahrir-Hatta melalui PNI Baru (Pendidikan Nasional Indonesia) serta mahasiswa-mahasiswa progresif yang bersimpati dengan gagasan-gagasan Sjahrir.
Ketiga, kelompok perlawanan komunis bentukan Munawar Musso dengan pola gerakan bawah tanah yang dikenal juga sebagai PKI Ilegal. Setelah kehancuran PKI pada 1926, Musso yang berhasil melarikan diri dari penangkapan aparat Belanda, akhirnya kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1935 untuk membentuk kembali PKI. Kembalinya Musso berlangsung bertepatan dengan pelaksanaan kongres Komintern ke-7 sekaligus membawa garis politik Popular Front. Taktik Popular Front ini menimbulkan friksi karena mengesahkan persekutuan dengan Imperialisme Belanda yang dianggap kubu Kapitalis Demokratis untuk melawan Kapitalis Fasis. Bahkan Amir Sjarifuddin dari Gerakan Rakyat Anti Fasis (GERAF) menerima uang dari Van Der Plas untuk aktivitas anti-Jepang. Kubu Nasionalis dan Islamis yang berkolaborasi dengan Jepang dengan dalih meraih kemerdekaan Indonesia mendapatkan amunisinya untuk menuduh kaum komunis menjadi antek Imperialis Belanda. Bahkan karena pengaruh kolaborasi kelas dan taktik Popular Front ini, kepemimpinan PKI pasca kemerdekaan justru banyak berkapitulasi terhadap Imperialis. Parahnya Widarta, tokoh pejuang bawah tanah anti-fasis Jepang sekaligus pimpinan PKI ilegal, jadi sasaran pengadilan internal karena keterlibatannya dalam revolusi sosial di peristiwa tiga daerah serta kerjasamanya pasca proklamasi dengan Persatuan Perjuangan, kelompok oposisi anti imperialis dan anti diplomasi pimpinan Tan Malaka. Tragisnya nasib Widarta tidak hanya berakhir dengan sanksi disiplin partai namun berakhir di peluru senapan Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), organisasi PKI di sayap pemuda. Semua ini menggariskan kesimpulan penting bukan hanya salahnya taktik Popular Front namun juga bahwasanya perjuangan anti fasis harus berdasarkan persatuan perjuangan kelas dan kaum tertindas bukan kolaborasi kelas antara kelas penindas dan kelas tertindas.
Ditulis oleh Leon Kastayudha, Kader KPO PRP.
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 23, I-II Juni 2017, dengan judul yang sama.
BAHAN:
Flakin, Wladek. (2017). The Origins of Antifa: A Short Historical Analysis of Antifascist Action. Antidote Zine: Berlin.
Gramsci, Antonio. (1921). Article in Favour of the Arditi del Popolo. L’Ordine Nuovo: Milan.
Hari. (2013). Jejak Gerakan Kiri dan Perlawanan Bawah Tanah Anti Fasisme Jepang. Bumi Rakyat: Malang.
Lucas, Anton. (1986). Radikalisme Lokal – Oposisi dan Perlawanan terhadap Pendudukan Jepang di Jawa (1942-1945). Syarikat Indonesia: Yogyakarta.
Trotsky, Leon. Apa Itu Fasisme dan Bagaimana Melawannya. Marxist Internet Archives seksi Indonesia.
Comment here