23 Mei 1920 silam, Indische Sociaal Democratische Vereening (ISDV) atau Perhimpunan Demokratis Sosial Hindia berubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Momentum ini kemudian tiap tahun diperingati sebagai hari pendirian Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun perubahan nama dari PKH jadi PKI baru tahun 1924. Terlepas dari itu, ini bukan hanya perubahan nama. Melainkan metamorfosis atau pertumbuhan maju segi organisasi, keanggotaan, politik, dan praktik perjuangan.
Kapitalisme Hindia-Belanda, Lahirnya Kelas Buruh, dan Pendirian ISDV
Persemaian Marxisme di Hindia terkait erat dengan tumbuhnya kondisi-kondisi material. Meningkatnya penanaman kapital, meluasnya industrialisasi, dan lahirnya kelas proletar. Ini faktor objektifnya. Sedangkan faktor subjektifnya: lahirnya pergerakan buruh, kebangkitan nasional pergerakan kebangsaan, dan pengaruh internasionalisme proletar serta gerakan Marxis internasional.
Sehingga sebagai titik puncaknya didirikanlah ISDV tahun 1914 oleh Kaum buruh sosialis di Hindia Belanda. ISDV memiliki 85 orang anggota di koloni dengan keanggotaan politik ganda di pusat Imperialis Belanda. Sebagian merupakan anggota SDAP atau Partai Buruh Demokratis Sosial. Sebagian anggota Partai Sosialis Belanda. Mereka memperkenalkan wacana dan teori Marxis ke rakyat Jawa pada khususnya dan Hindia pada umumnya.
Statuta ISDV menerangkan empat tujuan organisasi. 1. Propaganda gagasan-gagasan demokratis-sosial; 2. Partisipasi dalam politik praktis sesuai yang diperbolehkan Pasa 111 Peraturan Pemerintah; 3. Mempelajari isu-isu ekonomi Hindia sebagai contohnya untuk menginformasikan ke Fraksi Kamar demokratis sosial di Belanda; 4. Menerbitkan publikasinya sendiri. Kemudian delapan pasal program ISDV: 1. Memperjuangkan kemerdekaan atas kehancuran kapitalisme. Kaum buruh dan tani karena senasib harus bersatu melawan. 2. Mempersatukan rakyat, buruh, dan tani segala bangsa dan agama atas dasar perjuangan kelas. 3. Mendidik rakyat dengan pengetahuan sosialisme. 4. Membangun koperasi untuk kaum tani. 5. Membangun serikat-serikat buruh. 6. Menerbitkan surat kabar-surat kabar. 7 Menyiarkan buku-buku sosialisme. 8. Turut memilih dalam pembentukan badan-badan perwakilan dan berjuang dalam badan-badan perwakilan ini.
Markas pusat ISDV lalu dipindah dari Surabaya ke Semarang. ISDV menarik banyak minat dari kaum bumiputera. Termasuk banyak aktivis pergerakan. Lalu demi menyebarkan agitasi-propaganda Marxis, ISDV lalu menerbitkan koran Het Vrije Woord (Kata Merdeka) Oktober tahun berikutnya. Adolf Baars memegang posisi sebagai editor. Saat itu koran masih sepenuhnya berbahasa Belanda. Meskipun bahasa Belanda bahasa resmi pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan mayoritas kaum terpelajar Hindia juga menggunakannya namun bukanlah Lingua Franca. Bahasa Belanda bukanlah bahasa bersama yang paling banyak dipahami dan dipakai di Hindia. Ini juga tercermin dalam komposisi kebangsaan di keanggotaan ISDV. Tahun 1915 anggota ISDV berjumlah 100 orang. 97 orang Belanda dan hanya tiga orang bumiputera: Semaun, Darsono, dan Alimin.
Meskipun demikian, karena komitmen ISDV sebagai organisasi sosialis, mereka tidak hanya menaruh perhatian pada perjuangan kelas buruh saja. Melainkan juga mendukung perjuangan kebangsaan dan pembebasan nasional di Hindia. Ini salah satunya ditunjukkan dalam tulisan Sneevliet yang menggunakan momentum Revolusi 1917 di Rusia untuk menggugat imperialisme Belanda serta menyerukan rakyat untuk menempuh jalan revolusi demi menghapuskan penjajahan dan penindasan.
ISDV dan Gelombang Revolusioner 1917
Revolusi Februari 1917 di Rusia (berlangsung 8 Maret menurut kalender Gregorian) dikobarkan kelas buruh dengan organ-organ Sovietnya berhasil menumbangkan kekuasaan Tsar. Semangat revolusionernya menular ke banyak belahan dunia. Termasuk Hindia. Merespon itulah, 19 Maret 1917 Sneevliet menerbitkan tulisannya bertajuk “Zegepraal” (Kemenangan) di koran “De Indier.” 22 Maret 1917, terjemahannya dalam bahasa Melayu diterbitkan di koran “Pertimbangan.” Artikel ini mengulas mengenai revolusi buruh di Rusia bukan hanya sebagai bukti pembebasan namun juga peluangnya menghentikan perang imperialis serta pemberian kemerdekaan bagi bangsa jajahan Rusia sebelumnya sekaligus sebagai contoh yang patut diikuti oleh rakyat Jawa.
Seruan sekaligus gugatan Sneevliet ini memancing dua reaksi. Pertama, rezim kolonial Hindia Belanda menuding Sneevliet menghasut rakyat untuk makar. Rezim kolonial menangkap Sneevliet. Sneevliet memanfaatkan momentum ini untuk menyampaikan pleidoinya. Selama sembilan jam Sneevliet berpidato di hadapan majelis hakim. Pidato pembelaannya dibukukan dengan judul Het Proces Sneevliet dengan 368 halaman panjangnya. Membongkar kejahatan imperialisme Belanda dan menyerukan perpaduan perjuangan kelas dengan pembebasan nasional untuk kemerdekaan. Sneevliet akhirnya memenangkan proses peradilan yang panjang ini. Maret 1918 Sneevliet dinyatakan bebas. Tiga ribuan orang menyambut kedatangan Sneevliet di Stasiun Semarang yang dinyatakan bebas Pengadilan Tinggi di Batavia. Meskipun demikian karena aktivismenya ini, Mei 1917 Sneevliet dipecat dari pekerjaannya sebagai Sekretaris Kamar Dagang Semarang.
Namun di sisi lain reaksi kedua datang dari dalam ISDV. Khususnya sayap moderat-reformis dan sauvinis sosial yang menentang kubu Lenin dalam PD I. Lenin dalam menentang PD I menyerukan taktik Revolutionary Defeatism, yang artinya bukan hanya menentang perang imperialis tapi bahkan menganjurkan kekalahan negara imperialis serta mengubah perang penjajah berebut jajahan menjadi perang kelas dari kelas buruh dan rakyat pekerja untuk menggulingkan penindasan. Represi dan intimidasi rezim kolonial Hindia Belanda terhadap posisi Sneevliet yang mendukung Lenin dan Revolusi 1917, kemudian dimanfaatkan kaum moderat-reformis di ISDV untuk membendung militansi ISDV. RA Schotman, pimpinan ISDV Cabang Batavia, mendorong agar ISDV berhenti menjadi suatu organisasi politik independen dan berubah jadi cabang Hindia Belanda dari SDAP atau Partai Buruh Demokratis Sosial Belanda. Sejarawan Ruth McVey menulis, “Baginya ISDV itu partai kecil, terpencil, tidak efektif dan bahkan tidak memiliki programnya sendiri. Satu-satunya hal yang membuatnya berarti terletak pada afiliasinya dengan SDAP sebagai cabang di Indonesia.” Posisi ini juga didukung kelompok tengah pimpinan DJA Westerveld.
Sneevliet dan Semaoen mati-matian mempertahankan posisi mereka dari rongrongan kanan dan tengah dalam ISDV. Sneevliet terus menekankan pentingnya perjuangan kelas, kerjasama dengan SI, dan agitasi revolusioner massa. Sementara Semaoen bahkan mengancam keluar bila ISDV dikerdilkan hanya jadi cabang SDAP Belanda. Kubu internasionalis pimpinan Sneevliet kemudian menang dalam Kongres ISDV, usulan Schotman mencabangkan ISDV ke SDAP Belanda ditolak. Namun kubu Kanan dan Tengah kemudian menelikung di belakang. Usulan Schotman yang sudah ditolak dalam Kongres ISDV, diajukan dan dibahas di rapat anggota ISDV cabang Batavia dan 8 September 1917 keluar dari ISDV lalu membentuk SDAP cabang Hindia Belanda. Kelompok Tengah Westerveld menyusul pada akhir tahun 1917. Kelak segala dalih kecilnya dan inefisiensi ISDV yang dikemukakan kaum Kanan dan Tengah untuk mencabangkan diri ke SDAP Belanda terbukti hanya sekadar selubung untuk memfasilitasi moderasi dan reformisme mereka, karena 1 Juni 1919 mereka malah memutuskan SDAP Hindia Belanda lepas dari SDAP Belanda dan menjadi Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) atau Partai Demokratis Sosial Hindia.
Dengan keluarnya kaum reformis kanan dan tengah dari ISDV, maka kubu internasionalis dan militan pimpinan Sneevliet dan Semaoen semakin kukuh mendominasi ISDV. Hasilnya semakin memantapkan orientasi perpaduan perjuangan kelas dan pembebasan nasional. Tahun 1917 itu pula ISDV menerbitkan koran dalam bahasa Melayu bertajuk Soeara Merdeka. Dukungan terhadap sosialisme dan Revolusi 1917 tidak hanya muncul dalam media ISDV. Tapi juga Sinar Djawa, koran SI yang redaksinya diasuh oleh Semaoen.
Tingginya gelombang revolusioner pasca PD I yang tidak hanya melanda Eropa tapi juga mempengaruhi wilayah Hindia akhirnya meletuskan pergolakan sosial. Pergolakan melanda di kalangan para prajurit dan pelaut Hindia. Rendahnya hajat hidup prajurit dan pelaut yang kontras dengan mapannya pejabat sipil Eropa di Hindia menjadi ladang subur bagi propaganda sosialistis ISDV mengenai konflik kelas. Garda-Garda Merah lalu bermunculan dengan keanggotaan mencapai 3.000 orang. Akhir tahun 1917 para prajurit dan pelaut memberontak di pangkalan laut Surabaya dan mendirikan Dewan-Dewan Matros dan Marine yang formatnya seperti Soviet. Pemerintahan kolonial Hindia Belanda menindas pemberontakan ini. Para pimpinan ISDV banyak yang dideportasi ke Belanda. Termasuk Sneevliet yang diusir 5 Desember 1918 via hak-hak istimewa Gubernur Jenderal. Adolf Baars juga meninggalkan Hindia menuju Belanda. Sedangkan para pimpinan prajurit dihukum penjara 40 tahun. Gelombang represif ini terus berlanjut ke tahun-tahun berikutnya, khususnya tahun 1919. Rezim kolonial Hindia Belanda banyak menangkap, membui, mengasingkan para anggota ISDV dari Eropa dengan tujuan menghancurkan internasionalisme dan solidaritas antar rakyat tertindas di satu sisi serta kerjasama teori-praktik Marxisme antara Eropa dan pribumi di sisi lain.
Meskipun demikian banyak juga capaian maju kombinasi praksis ISDV dan pengaruh gelombang revolusioner 1917. Terutama bagaimana ISDV mengakar di gerakan massa rakyat Hindia. Baik gerakan buruh maupun gerakan kebangsaan dan kerakyatan. Khusus di gerakan buruh, ISDV yang terilhami pengaruh Revolusi 1917 menerapkan tiga prinsip untuk memajukan gerakan buruh di Hindia. 1. Menguasai pandangan hidup Marxisme; 2. Membangkitkan kesadaran kelas; 3. Membangkitkan semangat perlawanan anti-imperialis. Buku Manuskrip Sejarah PKI mencatat: sejak ISDV mempropagandakan Marxisme ke VSTP mulai tahun 1914 di satu sisi dan di sisi lain berkat pengaruh berbagai pemogokan, krisis PD I, Revolusi 1917, keanggotaan VSTP melonjak lima kali dari 1242 menjadi 6474 orang. Selain itu VSTP juga menerbitkan medianya: Volharding—terbitan berbahasa Belanda beroplah 1.300 eksemplar dan Si Tetap—yang berbahasa Melayu beroplah 6.000 eksemplar. Selain itu ISDV juga mendorong maju persatuan buruh. Desember 1919 berdirilah Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB). Tidak kalah pentingnya, untuk pertama kalinya diadakan peringatan Mayday di Hindia pada 1 Mei 1918. Sayangnya Hari Buruh Internasional yang pertama kalinya diperingati di Asia ini masih minim keterlibatan kaum bumiputera. Sisi positifnya yang melibatkan diri bukan hanya kaum buruh tapi juga kaum prajurit dan pelaut Hindia. Itu terjadi di tengah larangan rezim terhadap kaum serdadu untuk mengunjungi rapat-rapat akbar dan aksi massa. Koran Sinar Hindia (yang berubah namanya dari Sinar Djawa) bahkan melaporkan terdapat gairah meluap kepada sosialisme.
Selain pemberontakan prajurit dan pelaut Hindia Belanda, terdapat pula berbagai pergolakan sosial di Hindia yang bisa dikategorikan dalam satu zaman revolusioner pasca PD I yaitu 1917-1923. Gelombang revolusioner 1917-1923 utamanya diakibatkan oleh kekacauan pasca PD I sekaligus diilhami keberhasilan Revolusi Rusia. Gelombang yang memuat revolusi, pemberontakan, dan pergolakan ini utamanya berwatak sosialis dan anti-kolonial. Gelombangnya melanda melampaui Eropa. Revolusi, konflik revolusioner, dan pergolakan sosial turut melanda Meksiko, Mesir, dan Malta. Khusus di Indonesia, bisa ditambahkan antara lain: Pemberontakan Sarekat Abang di Palembang, pemberontakan Gelambit di Jambi, pemberontakan-pemberontakan tani di Kalimantan, Sulawesi, dan Ternate, dan demonstrasi tani Caping Koprak di Semarang, yang semuanya meletus tahun 1917. Sedangkan tahun 1919 meletus pemberontakan kaum tani Toli-Toli yang dipengaruhi Abdul Muis dan SI serta pemberontakan Juni 1919 di Cimareme, Garut, yang dipimpin Haji Hasan dari SI. Organ-organ pers kiri mengulas peristiwa-peristiwa ini dan mengungkap keserakahan, kejahatan, serta kekejaman rezim kolonial Hindia Belanda.
Selain itu ISDV juga berhasil mendorong organisasi-organisasi pergerakan di Hindia semakin maju. Kerjasama dan pengaruhnya terhadap cabang-cabang SI serta pemimpin kerakyatannya membuat Kongres III Sarekat Islam mengarah ke posisi semakin progresif dan revolusioner. Dalam Kongres yang berlangsung 29 September – 8 Oktober 1918 di Surabaya ini imperialisme yang ‘haram’ dikecam sengit. Selain itu diusung pula tuntutan-tuntutan seperti penurunan pajak, penghapusan kerja paksa, penyempurnaan pengajaran, dan sebagainya. Tidak kalah pentingnya diadopsilah soal strategi dan taktik (stratak) yang memandatkan pengorganisiran buruh dan tani sebagai alat terkuat terbaik memperkuat tuntutan-tuntutan.
Soal ini ISDV kerap dituduh menyusup dan memecahbelah SI. Padahal kenyataannya apa yang dilakukan ISDV adalah bekerja di tengah massa. ISDV berusaha menjangkau, melibatkan diri, dan mengakar dalam pergerakan rakyat. Oleh karena itu ISDV beroperasi baik di luar, di dalam, maupun di antara organisasi-organisasi massa rakyat yang berlawan. Sehingga secara konkret, ISDV tidak hanya berhubungan dengan SI tapi juga Boedi Oetomo dan Indische Partij. Hubungannya merentang luas. Mulai dari menyebarkan wacana-wacana perjuangan kelas dan anti-penindasan, memajukan kesadaran dan pandangan kritis, mendukung dan turut memperjuangkan tuntutan-tuntutan maju, memenangkan orang-orang paling maju ke pandangan Marxisme, bahkan juga tidak ragu mengkritik kekeliruan atau kesalahan pandangan orang maupun organisasi lainnya.
ISDV mengapresiasi Boedi Oetomo yang terbentuk lebih dahulu pada 1908, namun menilainya mandeg menjadi organisasi elitis priyayi yang hanya mengurusi pendidikan dan membatasi keanggotaannya berdasarkan suku Jawa dan Madura saja. Haluannya terlalu lunak dan didominasi pengaruh politik etis kolonial. Berbeda dengan itu, Indische Partij berdiri dengan mengembangkan sikap jauh lebih berani dan maju. Indische Partij terang-terangan menentang kekuasaaan Belanda dan menuntut kemerdekaan atas Hindia. Indische Partij adalah perwujudan organisasional kaum intelektual radikal, nasionalis kiri, dan borjuis demokratis anti-imperialis. Namun secara etnis, merupakan ekspresi dari kaum Indo atau keturunan Eropa. Secara kebangsaan, sentimennya menyerupai kaum koloni di Amerika yang memberontak terhadap kekuasaan Britania. Namun mereka tidak punya basis massa dan tidak bisa menggalang rakyat. Kekuatan basis massa dan penggalangan rakyat ini baru ditemukan pada SI. Namun kepada SI, ISDV mengkritik permusuhannya terhadap kaum Tionghoa. Terlepas dari kritik demikian, ISDV mengapresiasi betul SI. Dalam Kongres Komintern II Sneevliet mengemukakan pentingnya gerakan revolusioner di Hindia Belanda berjuang bersama dengan SI. “Sarekat Islam memiliki karakter kelas…kita dapat menghargai tugas gerakan revolusioner sosialis untuk membangun ikatan kuat dengan organisasi massa Sarekat Islam.” Inilah kejelian ISDV memetakan organisasi dan pergerakan rakyat di Hindia. Justru sebaliknya, tindakan memecahbelah SI sebenarnya diakibatkan oleh kelompok SI Putih yang mendominasi Centrale Sarekat Islam (CSI). Agus Salim, Tjokroaminoto, dan Abdoel Moeis melarang keanggotaan ganda dengan dalih disiplin organisasi. Alih-alih keluar dari PKI, banyak cabang dan anggota SI justru memilih keluar dari SI dan mendirikan Sarekat Rakjat. Imbas yang dikeluarkan atau keluar dari SI bukan hanya pada anggota PKI namun juga anggota organisasi lainnya, termasuk Muhammadiyah.
ISDV kemudian mendirikan koran Soeara Rakyat. Keanggotaan ISDV berkembang dari mayoritas Belanda menjadi didominasi rakyat Hindia. Tahun 1919 keanggotaan ISDV mencapai 400 orang. 375 orang Hindia. 25 orang Belanda. Diusirnya banyak anggota Eropa ISDV dari Hindia oleh rezim kolonial tidak mengakibatkan mandegnya organisasi. Sebaliknya ISDV berhasil memperbanyak kader bumiputeranya.
Kongres VII ISDV – Berubah Menjadi PKH
Kemenangan Revolusi Oktober 1917 dan pendirian negara-negara buruh sosialistis sesudahnya, membuka peluang untuk konsolidasi partai-partai Marxis revolusioner dengan putus hubungan sepenuhnya terhadap kaum Demokratis Sosial alias Sauvinis Sosial yang mengaku sosialis tapi mendukung PD I. Internasional Komunis didirikan pada Kongres 2–6 Maret 1919 di tengah Perang Sipil Rusia dalam rangka konsolidasi perjuangan kelas dengan berlandaskan Marxisme revolusioner secara terpadu. Proses ini paralel terjadi di Hindia. Kongres VII ISDV 23 Mei 1920 menjadi medan keinginan menarik garis pemisah yang jelas antara kaum Internasionalis, militan, Marxis revolusioner, dengan kaum moderat-reformis. Apalagi karena kaum Kanan dan Tengah pimpinan Schotman dan Westerveld yang dulu keluar dari ISDV kemudian mendirikan ISDP yang singkatan maupun pelafalannya susah dibedakan. Selain juga untuk memisahkan diri dengan kaum Demokratis Sosial yang mendukung perang imperialis, mengkhianati revolusi, dan menentang kediktatoran proletar, menyikapi itulah kelompok mayoritas yang dipimpin Semaun dan Bergsma mendorong ditinggalkannya nama Demokratis Sosial dan memakai nama Komunis serta bergabung dengan Internasionale III.
Pandangan ini bentrok dengan Hartogh yang cenderung masih ingin mempertahankan nama dan format ISDV. Dalihnya tingkat kesadaran kelas anggota dan rakyat yang masih rendah, partisipasi lebih karena faktor ekonomi bukan ideologis, sehingga lebih baik memfokuskan pada pendidikan dan propaganda. Pandangan Hartogh ini sebenarnya mencerminkan halangan intelektual yang tidak bisa beranjak dari lingkar studi dan grup propaganda padahal pertumbuhan organisasi sudah dimungkinkan bahkan dituntut menjadi partai. Kongres VII ISDV tersebut mengangkat Semaoen sebagai Ketua namun perdebatan perubahan nama belum selesai. Barulah pada Konferensi Luar Biasa Desember 1920, cabang-cabang dalam referendum memutuskan. 33 setuju, 2 tidak setuju, dan 1 abstain. ISDV secara resmi berubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia yang dalam bahasa Belanda ditulis Partij der Komunisten de Indie. Lewat Konferensi Luar Biasa ini pula diputuskan untuk turut bergabung dengan Internasionale III. Manuskrip Sejarah PKI, mengutip sejarawan J.Th. Petrus Bloemberger: “Grup-grup kecil dari kaum sosialis revolusioner itu yang kemudian menamakan dirinya komunis dan bergabung dalam Internasionale III, telah menjadi badan organisasi yang besar. ISDV telah menjiwai gerakan rakyat Indonesia yang masih muda itu, dimana elemen-elemen revolusioner bisa dipersatukannya.”
Perjalanan ISDV menjadi PKH mengandung tujuh poin penting. 1. Metamorfosis organisasi politik Marxis menempuh tiga babak pertumbuhan: A. Lingkar studi; B. Grup Propaganda; C. Partai; 2. Pemaduan pengajian dan penyebaran teori-teori Marxisme dengan investigasi sosial dan analisis kelas terhadap masyarakat di Hindia yang disemaikan, ditanam, dan ditumbuhkan di medan perjuangan buruh dan pergerakan pembebasan nasional; 3. Vitalnya penggunaan cara-cara organisasi modern dalam pembangunan pergerakan melawan penindasan. Mulai dari perekrutan, pendidikan, publikasi, pers partai dan pers serikat/organisasi massa yang di bawah panduan partai, aksi massa, rapat akbar, pemogokan, aliansi, dan sebagainya. 4. Organisasi Marxis harus bekerja di dalam, di luar, dan di antara organisasi-organisasi massa; 5. Pembangunan organisasi Marxis berjalan di atas dua kombinasi: persatuan (dengan elemen progresif atau maju) dan perpecahan (dengan elemen korosif atau merusak). Dalam kasus ISDV/PKH, mereka berhasil bersatu dengan bunga-bunga revolusioner terbaik pribumi Hindia dalam pergerakan dan memisahkan diri dari elemen moderat-reformis bahkan regresif-revisionis. 6. Gerakan Marxis di negeri jajahan harus menggabungkan perjuangan kelas dengan pembebasan nasional sembari tetap menjunjung tinggi independensi kelas. 7. Penjunjungtinggian internasionalisme proletar dan Marxisme revolusioner.
Ditulis oleh Leon Kastayudha, Anggota Sosialis Muda dan Kader Perserikatan Sosialis.
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 43, I-II Mei 2018, dengan judul “Dari ISDV ke PKH: 98 Tahun Pendirian Kepeloporan Revolusioner di Indonesia”.
Comment here