Yogyakarta (21/5). Komite 22 Tahun Reformasi yang merupakan gabungan dari beberapa organisasi dan individu pro demokrasi mengadakan aksi bergilir di Bundaran UGM, Yogyakarta untuk memperingati 22 Tahun Reformasi. Organisasi yang tergabung dalam aliansi ini adalah Lingkar Studi Sosialis (LSS), PEMBEBASAN, Cakrawala Mahasiswa Yogyakarta (CMY), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Lavender Study Club (LSC), Aliansi Sanata Dharma Bergerak (ASBAK), dan individu-individu pro-demokrasi di Yogyakarta. Aksi yang diikuti oleh sekitar 30 massa ini dilakukan dengan metode piket (bergilir) sepuluh orang dengan tetap melakukan physical distancing (jaga jarak). Selain itu, massa aksi juga diwajibkan untuk menggunakan masker dan hand sanitizer untuk menghindari pencegahan COVID-19. Dalam aksi yang dilakukan ini, massa aksi membawa berbagai keresahan yang dirasakan di tengah pandemi dan permasalahan demokrasi yang semakin dikuasai oleh kelas penguasa. Isu-isu yang diangkat antara lain PHK sepihak dan dirumahkan tanpa di gaji terhadap buruh, THR yang tidak dibayarkan, pemenuhan akses kesehatan gratis dan berkualitas, penghapusan biaya perkuliahan dan berbagai macam kuliah online, penolakan terhadap Omnibus Law, isu kriminalisasi aktivis dan gerakan rakyat, dan menuntut pembebasan tahanan politik pro demokrasi tanpa syarat.
Aksi piket ini di bagi dalam tiga shift (giliran), yaitu pukul 11.00-13.00; pukul 13.00-15.00; dan pukul 15.00-17.00. Setiap shift, aksi di lakukan oleh sepuluh orang dengan orasi dan mengangkat poster tuntutan. Aksi dimulai pukul 11.35, setelah 30 menit aksi berlangsung, massa aksi mendapatkan intimidasi dari aparat dengan ancaman pembubaran paksa dengan alasan aksi ini dilakukan tanpa izin dan bertepatan dengan hari libur nasional. Salah satu massa aksi mencoba berdialog dengan pihak aparat namun pihak aparat tetap meminta massa untuk membubarkan diri. Pukul 12.25 massa aksi memutuskan untuk mundur dan kembali menyusun strategi. Ketika massa aksi sudah mundur, aparat masih tetap melakukan intimidasi dan meminta mereka membubarkan diri.
Aksi kembali dilakukan pada pukul 14.00 dengan mengubah metode aksi. Aksi tidak lagi dilakukan secara bergilir, melainkan seluruh massa aksi turun dan mengelilingi Bundaran UGM dengan tetap menjaga jarak. Pukul 14.05, salah satu kawan dipanggil untuk berdialog dengan kepolisian. Pihak kepolisian menyampaikan tiga hal yaitu berkaitan dengan pandemik, berkaitan dengan hari besar, dan tidak menghargai keagamaan. Mereka juga menyampaikan tidak membatasi bentuk aksinya mau seperti apa (orasi, aksi diam, dan sebagainya) tetapi harus ada kejelasan terkait dengan waktu aksi. Itu hanya tipuan semata, karena polisi terus berupaya melakukan represi dan intimidasi.
Ketika massa aksi menyampaikan aksi berakhir pukul 17.00 WIB. Aparat kepolisian menolak dengan argumen bahwa waktu terlalu panjang. Setelah itu, pihak aparat juga mengancam dengan Maklumat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: Mak/ 2 /III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19). Secara tidak langsung mereka mengatakan bahwa mereka berhak membubarkan perkumpulan massa yang tidak resmi di tengah pandemi ini. Berbagai ancaman ini tidak menghentikan massa aksi untuk tetap melakukan aksi dan menyampaikan berbagai bentuk kemarahan mereka terhadap negara dan kelas penguasa. Pukul 14.30, orasi dari beberapa massa aksi pun dimulai. Orasi baru berlangsung sekitar sepuluh menit, lagi-lagi aparat mendatangi massa aksi dan memaksa untuk menghentikan orasi. Padahal diawal mereka telah menyatakan bahwa mereka tidak akan membatasi bentuk aksi yang dilakukan. Sekitar 8-10 aparat mengancam akan mengangkut paksa massa aksi jika dalam dua menit aksi tidak selesai. Tidak cukup hanya mengintimidasi massa secara keseluruhan, lima menit kemudian sebanyak lima aparat kembali melakukan intimidasi secara personal kepada salah satu massa aksi. Mereka mengancam akan melakukan penangkapan dengan mendatangi rumahnya. Beberapa massa yang bersolidaritas mulai hadir, baik dari organisasi, mahasiswa, pers, maupun individu pro demokrasi. Aksi tetap dilanjutkan hingga akhir meskipun di tengah tekanan para aparat.
Kita memperingati 21 Mei sebagai sebuah momentum besar di mana ruang demokrasi di Indonesia mulai terbuka. Tetapi, ironisnya, kini demokrasi semakin digerogoti oleh kelas penguasa. Demokrasi yang seharusnya bisa menyejahterakan kelas buruh dan rakyat, kini justru semakin menjerumuskan mereka dalam jurang kesengsaraan dan ketidakadilan. Represi terhadap Komite 22 Tahun Reformasi tersebut menjadi potret buram dari kondisi demokrasi hari ini. Adanya pandemi justru semakin menguatkan kelas penguasa untuk melakukan represifitas terhadap gerakan rakyat. Mereka yang menuntut hak-haknya untuk dapat bertahan di tengah kondisi hari ini terus-menerus ditekan dan dibungkam. Sudah saatnya kita -kaum buruh, mahasiswa/pelajar, buruh tani, rakyat tertindas lainnya- menyatukan kekuatan bukan saja untuk bertahan di tengah pandemi hari ini, melainkan untuk melawan segala bentuk kesewenangan dan penindasan kelas penguasa. Berjuang dalam kondisi apapun di tengah pandemi hari ini! (ad)
Comment here