Menurut Ki Hadjar Dewantara dalam Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan Sukarno menyatakan dibutuhkan simbol persatuan pasca-proklamasi. Ki Hadjar Dewantara mengemukakan bahwa untuk itu Sukarno memilih tanggal pendirian Boedi Oetomo (BO). Sebab hari itu didirikanlah perhimpunan kebangsaan pertama pertama. “…Boedi Oetomo, didirikan dengan maksud menyatukan rakyat, yang dulu masih terpecah-belah, agar dapat mewujudkan suatu bangsa yang besar dan kuat,” tulis Ki Hadjar Dewantara. Peristiwa berdirinya BO pada 20 Mei kemudian diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional (saat itu istilahnya Kebangunan Nasional). Peringatan pertamanya digelar pada 20 Mei 1948 di Istana Kepresidenan, Yogyakarta, dimana Presiden Sukarno dalam pidatonya mengatakan meskipun sudah merdeka, namun bahaya tetap mengancam Republik dari segala penjuru.
Perayaan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) tahun 1948 berhasil diselenggarakan dan menghasilkan “Dokumen Kesatuan Nasional.” Dokumen ini ditandatangani partai-partai politik, serikat buruh dan tani, organisasi pemuda, dan golongan masyarakat. Baik yang berdasarkan keagamaan, kebudayaan, kerguruan, kewanitaan, perekonomian, kepanduan, persuratkabaran, kesenian dan sebagainya. Dokumen tersebut “menetapkan hari 20 Mei 1908 ini sebagai saat permulaan menggalang kesatuan sikap, program, dan tindakan.” Kelak penetapannya secara resmi baru pada tanggal 16 Desember 1959 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 tahun 1959.
Perayaan pertama Harkitnas pada 1948 dan penetapan resmi pada tahun 1959 memiliki dua konteks serupa meskipun terjadi di tahun berbeda. Konteks 1948 adalah masa Revolusi Nasional. Banyak konflik internal antara tahun 1945 dengan tahun 1959. Dari konflik jalan diplomasi vs jalan perjuangan, isu kudeta seperti Peristiwa 3 Juli 1946 dan kemudian akan muncul Peristiwa Madiun, sampai berbagai revolusi sosial di beberapa daerah. Terdapat banyak organisasi dengan perspektif bahkan ideologi masing-masing yang juga memiliki sayap militer atau bersenjata pula. Hampir setiap organisasi atau formasi organisasi itu punya pandangan sendiri mengenai arah yang harusnya ditempuh Republik Indonesia (RI) dalam revolusi. Sedangkan penetapan Harkitnas pada tahun 1959 berlangsung pada tahun yang sama penetapan Demokrasi Terpimpin. Ini terjadi setelah rangkaian pemberontakan bersenjata. Seperti pemberontakan PRRI dan Permesta serta pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Perbedaannya pada tahun 1959 bukan hanya Sukarno menghendaki persatuan lintas agama, ideologi, dan organisasi, namun juga mengusung pergerakan haluan semakin ke kiri. Tahun-tahun seputar itu dirumuskanlah Manifesto Politik (Manipol) pada 1957, diberlakukanlah Demokrasi Terpimpin (1959), diajukanlah konsep politik Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom). Sedangkan di sisi lain peran militerisme juga semakin menaik. Sebelumnya tahun 1957 Sukarno menyetujui penetapan Darurat Militer yang diajukan Nasution, berikutnya tahun 1959 lewat Demokrasi Terpimpin, militer secara resmi mendapatkan perwakilannya untuk duduk dan berpartisipasi di pemerintahan.
Namun dorongan atas “persatuan” justru memunculkan persoalan. BO dijadikan simbol “Kebangkitan Nasional” karena dianggap bisa diterima oleh semua kelompok. Padahal BO adalah organisasi yang moderat dan didominasi politik etis kolonial Belanda.
Di aula Stovia (sekolah kedokteran di Jakarta) pada 20 Mei 1908 pukul 09:00, berkumpul siswa Stovia juga dari sekolah pertanian (landbouw school) dan kehewanan (veeartsnij school) di Bogor; sekolah pamongpraja (OSVIA) di Magelang dan Probolinggo; sekolah menengah petang (hogere burger school) di Surabaya; serta sekolah pendidikan guru bumiputra (normaalschool) di Bandung, Yogyakarta dan Probolinggo. Mereka kemudian sepakat mendirikan organisasi bernama Boedi Oetomo.
BO mendapatkan kepopulerannya berkat tulisan-tulisan E F E Douwes Dekker baik dalam Bataviaasch Nieuwsblad maupun terbitan-terbitan luar negeri. Selain itu juga karena kedudukan Mas Wahidin Soediro Hoesodo sebagai redaktur Retno Doemilah ditambah sokongan dari tokoh berpengaruh Yogyakarta, Pangeran Notodirodjo.
Namun BO hanya berkutat di pendidikan dan budaya. Tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan politik. Bahkan BO kembali membatasi geraknya hanya pada penduduk Jawa dan Madura. Banyaknya pendukung dari para priyayi rendahan membuat BO meluaskan pendidikan Barat. Salah satunya pengetahuan bahasa Belanda. Bahasa Belanda sangat penting bagi para priyayi ini karena merupakan syarat memasuki jenjang kepegawaian kolonial. Kondisi ini menjadikan BO cenderung memajukan pendidikan bagi golongan priyayi dibandingkan golongan pribumi. Bahkan slogan BO berubah dari “perjuangan untuk mempertahankan penghidupan” menjadi “kemajuan secara serasi”. Ini menandakan besarnya pengaruh golongan tua moderat dan priyayi yang lebih mengutamakan jabatan.
BO semakin melemah karena terjerembab dalam politik etis Gubernur Jenderal Van Heutsz, yaitu edukasi. Sama halnya dengan pendirian Commissie voor de Volkslectuur yang pada tahun belasan nanti terkenal dengan nama Balai Pustaka dan pembukaan sekolah-sekolah desa oleh Gubermen. Tidak mengherankan apabila Wahidin Soediro Hoesodo, penganjur berdirinya Boedi Oetomo, Ketua Cabang I Yogyakarta, memimpin berkala Goeroe Desa, terbitan Boedi Oetomo, untuk para guru sekolah desa (sekolah desa 3 tahun didirikan oleh Van Heutsz mulai 1907), yang dibantu Pemerintah dengan jalan menjadi pelanggan massal. Jadi wajar apabila sekolah-sekolah yang didirikan Budi Utomo dengan serta merta menggunakan kurikulum sekolah dasar Belanda dengan penyesuaian pada kondisi asal murid, dan mendapat subsidi dari Pemerintah sejauh telah dianggap memenuhi syarat.
ISDV mengapresiasi Boedi Oetomo yang terbentuk lebih dahulu pada 1908, namun menilainya mandeg jadi organisasi elitis priyayi yang hanya mengurusi pendidikan dan membatasi keanggotaannya berdasarkan suku Jawa dan Madura saja. Haluannya terlalu lunak dan didominasi pengaruh politik etis kolonial. Tirto Adhi Soerjo juga melihat hal yang serupa, dia tidak puas dengan perkembangan BO. Bukan saja karena bantuan yang telah diberikan oleh Tirto dalam berpropaganda dan memberikan ruangan dalam terbitannya secara royal tidak digubris. Melainkan terutama karena dalam perjalanannya yang baru setahun, BO telah jatuh ke tangan “angkatan tua”, para priyayi, dan angkatan muda tergeser ke belakang. Kekuatan kolonial ikut campur dalam pergeseran tersebut. Dalam surat sangat rahasia kepada Residen Kedu tanggal 15 Oktober 1908, P. Wijers (Sekretaris-I Pemerintah) menyampaikan bahwa “pimpinan sejak semula harus berada di tangan yang baik”, dan bahwa:
Wali Negeri berkenan melihat, bahwa keketuaan perhimpunan Budi Utomo ditawarkan kepada orang yang cakap dan cerah, dan bersungguh-sungguh dan masak seperti Regent Karanganyar, Raden Toemenggoeng Ario Tirto Koesoemo… Apabila ia menerima presidium yang ditawarkan kepadanya… dapat diharapkan bahwa gerakan itu akan dipimpinnya ke arah yang baik dan menjamin kerjasama, bila diperlukan, dengan Pemerintah dan pemerintah… Menurut wawasan Gubernur Jendral perlu juga dianjurkan… agar disampaikan pada pejabat tinggi Pribumi itu dengan jalan rahasia dan bijaksana atas nama Pemerintah, bahwa dan mengapa Pemerintah menyambut dan menyetujui pilihan para anggota perhimpunan itu kepadanya dan bahwa Pemerintah tidak hendak melakukan tekanan sedikit pun… Sudah sewajarnya pemberitahuan itu jangan sampai berupah ‘prentah alus’…
Dengan jatuhnya BO ke tangan angkatan tua Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat keluar dari BO untuk kemudian bergabung dengan E F E Douwes Dekker. Di samping itu para bupati yang tidak terpilih dalam Pimpinan Pusat, tetapi sebelum itu disebut-sebut sebagai calon, mendirikan perhimpunan sendiri: Regente Bond (Ikatan Bupati). Tirto Adhi Soerjo juga kemudian meninggalkan BO. Demikianlah betapa bermasalahnya penetapan hari pendirian BO sebagai momentum Kebangkitan Nasional. Kebangkitan Nasional tidak bisa ditentukan dari hanya yang pertama namun malah eksklusif, elitis, kolot, dan dikooptasi kolonialisme.
Ditulis oleh Dipo Negoro, Kader Perserikatan Sosialis.
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 44, III-IV Mei 2018, dengan judul yang sama
Comment here