Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet atau dikenal dengan sebutan singkat Henk Sneevliet, lahir pada 13 Mei 1883 di Rotterdam, Belanda, dari ibu rumah tangga dan bapak yang pekerjaannya bergonta-ganti antara jadi juru tulis, buruh rokok, dan penjaga penjara. Sneevliet di sekolah adalah murid yang cerdas dan potensial. Nyaris tidak bisa bersekolah karena ayahnya tidak mampu membiayai, Sneevliet ditanggung bibi-bibinya dan mendapatkan beasiswa uang saku untuk menuntaskan sekolah tingkat duanya.
Usia 17 tahun Sneevliet memburuh di perkeretaapian Belanda. Tahun 1902 di usia 19 tahun ia bergabung ke serikat buruh kereta api dan trem Belanda (NV) dan Partai Pekerja Demokratis Sosial (SDAP). Dua tahun kemudian Sneevliet pindah ke kota Zwolle yang sarat sejarah gerakan sosialis dan berkawan dengan Henriette Roland Holst, penyair sekaligus aktivis sosialis yang kemudian banyak membimbingnya.
Keterlibatan sangat tingginya dalam perjuangan buruh membuat Sneevliet dipilih sebagai anggota komite eksekutif NV di tahun 1906 dan tiga tahun berikutnya dilantik sebagai wakil ketua serikat sekaligus kepala editor koran resmi serikat. Selain itu Sneevliet juga terpilih sebagai anggota Dewan Kota pertama dari kalangan demokrat sosial di tahun 1907.
Bagaimanapun juga Sneevliet kemudian pecah dengan serikat dan partainya karena kedua organisasi tersebut tidak mendukung pemogokan pelaut internasional di tahun 1911. Sneevliet yang kecewa kemudian mengundurkan diri, keluar, dan bergabung dengan Partai Demokratis Sosial Belanda (cikal bakal Partai Komunis Belanda) yang lebih radikal dan revolusioner serta menjadi penulis bagi majalah Marxis De Nieuwe Tijad (Zaman Baru). Tahun 1913 Sneevliet berangkat ke daerah koloni: Hindia Belanda dan tiba di Surabaya pada pertengahan Februari.
Di Surabaya, Sneevliet bekerja jadi staf editor koran Soerabaiasch Handelsblad, media corong industri gula bernama Suikersindicate. Mei 1913, Sneevliet pindah ke kota Semarang untuk menggantikan D.M.G. Koch, kawan sesama sosialis, pada Juni 1913 sebagai sekretaris di Semarang Handelsvereeniging, kamar dagang dengan gaji sekitar 1.000 gulden. Reputasi Sneevliet sebagai aktivis sebenarnya sudah diketahui para atasannya di kamar dagang. Namun ia tetap dipekerjakan karena kinerjanya mumpuni dengan syarat jangan melakukan praktik revolusioner. Permintaan yang sepenuhnya diabaikan Sneevliet.
Selama kerja di Kamar Dagang Semarang, Sneevliet berkawan dengan para buruh kereta api dan kemudian bergabung dengan Vereniging van Spoor-en Tramweg Personeel (VSTP) atau Perhimpunan Pegawai Kereta Api dan Trem serta menyambi jadi editor korannya: De Volharding. Salah satu intervensi yang dilakukan Sneevliet ke VSTP adalah mengurangi perpisahan ras dan mendorong persatuan pekerja antara Eropa dengan pribumi.
Selain itu Sneevliet belajar bahasa melayu dan jawa agar dapat berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Ia juga menulis artikel berjudul De Handel van Semarang, mengulas kondisi buruh pada kapal perdagangan yang menghisap pribumi dari desa dengan upah murah dan dipekerjakan seperti binatang, di bawah terik sinar matahari, dan memikul beratnya barang dagangan dari gudang-gudang berbagai firma dagang. Pemetaan sosial yang dilakukan Sneevliet juga banyak mengungkap fakta kaum miskin kota dan kaum buruh di Semarang.
Sebelum kedatangan Sneevliet sendiri, sudah terdapat beberapa aktivitas orang-orang sosialis di Hindia Belanda. Leendert J.D. Reeser, guru sejarah dan geografi di HBS Surabaya menulis korespondensi untuk koran Het Volk, media resmi SDAP, untuk menggalang dana kampanye pemilu di Belanda melalui Kontributie Vereeniging (KV) Perhimpunan Penyumbang. Selain itu ada Charles G. Cramer yang bekerja sebagai insinyur dan tenaga ahli di Dinas Pengairan dan Pekerjaan Umum di Sidarjo dan turut membantu Reeser. Kemudian ada Van Kol yang melakukan investigasi tentang Surabaya sebagai pusat industri Hindia Belanda dan perkampungan miskin pribumi, rumah sakit tidak layak, dan tangsi-tangsi tentara, serta lain sebagainya. Namun aktivisme-aktivisme itu mayoritas masih dilaksanakan perorangan, belum secara kolektif dipandu oleh satu organisasi. Barulah pada 9 Mei 1914 di Marinegebouw, Surabaya, Sneevliet, J.A. Brendsteder, H.W. Dekker, dan Piet Bergsma, serta 60an orang sosialis lainnya mendirikan suatu organisasi politik Marxis bernama Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) atau Perhimpunan Demokratis Sosial Hindia.
ISDV berdiri dengan delapan poin program: 1) Memperjuangkan kemerdekaan atas kehancuran kapitalisme. Kaum buruh dan tani karena senasib harus bersatu melawan; 2) Mempersatukan rakyat, buruh dan tani segala bangsa dan agama atas dasar perjuangan kelas; 3) Mendidik rakyat dengan pengetahuan sosialisme; 4) Membangun koperasi untuk kaum tani; 5) Membangun serikat-serikat buruh; 6) Menerbitkan surat kabar-surat kabar; 7) Menyiarkan buku-buku sosialisme; 8) Turut memilih dalam pembentukan badan-badan perwakilan dan berjuang dalam badan-badan perwakilan ini.
Dengan demikian ISDV menjadi organisasi politik Marxis pertama di Asia. Meskipun begitu, ia masih belum bisa disebut sebagai partai. Suatu partai layak menyandang namanya bilamana mampu memainkan kepemimpinan dalam perjuangan kelas. Oleh karena itu harus memiliki kader-kader dalam jumlah prosentase signifikan dari kelas buruh, kader-kader yang bukan hanya matang ideologinya namun juga terbukti tergembleng dalam perlawanan. Demi mencapai ke sana, ISDV mengawali aktivismenya berupa analisis sosial serta diskusi-diskusi teoretis tentang situasi kondisi Hindia Belanda dan permasalahannya.
ISDV menganalisis bahwa ia hadir di tengah kebangkitan bangsa Indonesia serta lahir dan bergeliatnya gerakan buruh. Oleh karena itu ia menghubungkan diri ke dalam perjuangan kelas sekaligus perjuangan kemerdekaan. Dalam medan pergerakan di Indonesia, pemetaan ISDV menganalisis bahwa meskipun Boedi Oetomo berdiri cukup awal namun cenderung stagnan, tidak radikal, malah birokratis akibat orientasi priyayinya. Sedangkan Indische Partij dan Insulinde sangat radikal namun tidak memiliki basis massa bahkan berkutat di kalangan Indo-Eropa. Berbeda dengan itu, Sarekat Islam mengakar di rakyat dengan keanggotaan ratusan ribu serta berpotensi radikalisasi. Bekerja di tengah massa, berarti ISDV juga harus meluaskan jangkauannya ke organisasi tersebut. Termasuk untuk menarik sebanyak mungkin kontak potensial demi dikader. Salah satunya Semaoen.
Tahun 1914 itu, Semaoen seorang sekretaris Sarekat Islam (SI) Surabaya. Setahun berikutnya, Semaoen masuk ke ISDV Surabaya. Juli 1916, Semaoen pindah ke Semarang karena diangkat menjadi propagandis VSTP dengan upah bulanan. Semarang merupakan kota kepengurusan pusat VSTP. Sneevliet dan Semaoen saling belajar serta saling melengkapi satu sama lain. Sebagai sesama buruh, keduanya merasa senasib dan seperjuangan. Keduanya sama-sama berani dan berusia belia saat pertama kali masuk dunia kerja dan medan pergerakan. Semaoen hormat kepada Sneevliet karena sebagai orang kulit putih, Sneevliet konsisten menentang penjajahan dan rasisme terhadap orang-orang jajahan Belanda. Semaoen mendapatkan banyak pemahaman teoretis dari Sneevliet, sedangkan Sneevliet banyak mendapatkan pemahaman sosial mengenai kondisi rakyat lewat Semaoen sampai konkret.
Oktober 1915, Het Vrije Woord yang berarti Kata Merdeka, diterbitkan sebagai koran resmi ISDV berbahasa Belanda. Keanggotaan ISDV kemudian naik jadi 85 orang dimana di dalamnya terdapat tiga orang Indonesia. Het Vrije Woord meskipun peredarannya terbatas, tapi diarahkan Sneevliet bukan hanya sebagai media propaganda tapi juga koran pengintervensi dan pengorganisir pergerakan. Salah satunya kampanye Het Vrije Woord menentang kriminalisasi Mas Marco Kartodikromo. Marco dikriminalisasi dan ditahan rezim kolonial Hindia Belanda karena artikel-artikelnya di media cetak Doenia Bergerak mengkritik kesewenangan rezim terhadap SI. Perkaranya, D.A. Rinkes, Penasihat Urusan Pribumi Pemerintaha Kolonial Hindia Belanda menekan H. Samanhoedi selaku Ketua Umum SI akibat koran Sarotomo memuat kritik Marco atas Welvaart Commissie atau Komisi Kesejahteraan. Kritik Marco didasari para personel Belanda dalam Welvaart Commissie tidak paham tentang rakyat miskin Jawa, apalagi mereka bersandar pada priyayi yang memberikan informasi sesat tentang keadaan rakyat miskin karena ingin menjilat kekuasan.
Atas prakarsa Sneevliet, ISDV, Insulinde, dan VSTP menggalang solidaritas dengan membentuk Commite Van Actie Voor Drukpersvrijheid atau Komite Aksi untuk Kemerdekaan Pers pada 29 Agustus 1915. Bukan hanya komite aksi ini berhasil membuat hukuman Marco dikurangi dari tujuh bulan jadi hanya tiga bulan enam hari. Namun mereka juga meraih simpati massa rakyat serta menunjukkan bagaimana kaum sosialis mempraktikkan solidaritas lintas ras dan agama, sementara Central SI sendiri tidak menggalang solidaritas untuk Marco.
6 Mei 1917, pergantian kepengurusan SI Semarang, menempatkan seorang anggota aktif ISDV juga propagandis VSTP yaitu Semaoen sebagai ketua SI Semarang. Pergantian kepengurusan ini memberi kesempatan pada Sneevliet untuk mulai meradikalisasi gerakan dan menarik simpati rakyat Semarang dari kaum buruh dan kaum miskin kota. Termasuk dalam kampanye penolakan Indie Weerbaar.
Para pengusaha Belanda berdalih pecahnya Perang Dunia pada 1914 membutuhkan pembangunan laskar rakyat di bawah komando Belanda. Pemerintah Belanda kurang menanggapi isu ini karena bermaksud mempertahankan netralitas dalam PD I, termasuk bagi wilayah-wilayah koloninya seperti Hindia Belanda. Namun usulan ini malah didukung Boedi Oetomo, CSI, Perhimpunan Pangeran-Pangeran, Perhimpunan Bupati-Bupati, dan Perhimpunan Minahasa di Hindia Belanda. Isu ini dijadikan komoditas politik selain untuk mengangkat pamor organisasi juga untuk menaikkan daya tawar di hadapan pemerintah demi memperbesar hak-hak politik. Di bawah kepemimpinan Sneevliet, Het Vrije menentang usulan ini karena berisiko memunculkan militerisme dan malah memperkuat imperialisme dengan mengorbankan rakyat jelata. Senada dengan Sneevliet, Semaoen melalui SI Semarang menerbitkan pamflet berjudul Anti-Indie Werbaar. Lewat itu Semaoen memperingatkan bahayanya rakyat jelata dijadikan tameng saat negara-negara penjajah saling berebut jajahan. Usulan Indie Werbaar akhirnya resmi ditolak pada 3 Januari 1917 di Belanda.
Tahun 1917 itu pula ISDV akhirnya menerbitkan koran mereka dalam bahasa Melayu dengan judul Soeara Merdeka. ISDV saat itu tegas bertentangan tanpa kompromi dengan SDAP di Belanda yang revisionistik, hal ini pula yang menimbulkan perpecahan faksi di dalam badan ISDV. Faksi reformis ini memisahkan diri dan membentuk ISDP (Partai Demokrat Sosial Hindia ).
Selain Semaoen, Sneevliet juga akrab dengan Mas Marco Kartodikromo dan Darsono. Mas Marco merupakan wartawan surat kabar Medan Prijaji, yang terkena hukuman Persdelict lalu setelah itu aktif pada pers SI Semarang dan surat kabar Sinar Djawa. Sedangkan Darsono merupakan redaktur Sinar Hindia yang kagum pada perjuangan Sneevliet. Darsono diajak bergabung dalam aktivitas SI Semarang untuk membantu Mas Marco menerbitkan koran SI Semarang dan Sinar Djawa. Darsono juga kemudian ikut aktif membangun ISDV.
Peristiwa penting lainnya di tahun 1917 yang turut mempengaruhi ISDV adalah revolusi Februari yang menggulingkan Tsar dan Revolusi Oktober 1917 yang menggulingkan Pemerintahan. Melalui artikelnya: Zegepraal yang bermakna kemenangan, Sneevliet mengulas revolusi dan mengemukakan bagaimana rakyat jajahan Belanda juga bisa mengusir imperialisme. Karena ini Faksi Kanan di ISDV pimpinan RA Schotman yang menolak aksi dan agitasi menyatakan keluar dan bergabung ke SDAP, diikuti Faksi Tengah pimpinan DJA Westerveld. Dengan demikian ISDV semakin mantap di bawah pengaruh kaum revolusioner. Pengaruh ISDV juga bukan hanya di antara kaum buruh, kaum tani, dan kaum miskin kota. Di bawah kepemimpinan Sneevliet, gelombang revolusioner pasca-PD I juga dimanfaatkan untuk mengorganisir para prajurit dan pelaut. Sehingga terbentuklah Garda Merah yang terdiri dari 3.000an orang. Aksi-aksi protes dan mogok pun dilancarkan, insureksi dikobarkan, soviet-soviet pelaut berdiri di Surabaya. Rezim kolonial menindas ini habis-habisan dan mengusir kaum revolusioner Belanda, khususnya para pimpinan ISDV termasuk Sneevliet dari Hindia Belanda.
SI Semarang di bawah kepemimpinan Semaoen membelejeti habis pemerintahan kolonial saat itu, perihal masalah agraria, kebijakan ekonomi liberal yang pada nyatanya tidak mensejahterakan rakyat. Pembuangan Sneevliet oleh rezim kolonial tak luput dari pandangan Mas Marco, seorang wartawan berhaluan kiri yang juga kawan dekat Semaoen dan Sneevliet. Mas Marco mengkritik pembuangan Sneevliet melalui tulisannya pada surat kabar Sinar Hindia pada 10 Desember 1918. Pada tahun yang sama setelah pembuangan Sneevliet dari Hindia Belanda, ia harus bertahan di Tiongkok tepatnya di Kanton, dengan nama samaran Maring.
Pembuangan tersebut menyisakan ISDV dengan 400 anggota dimana hanya tinggal 25 orang berkebangsaan Belanda dan beberapa Tionghoa, sisanya adalah kader dari Hindia Belanda. Ini membuat ISDV melakukan kaderisasi besar-besaran terhadap kaum terpelajar Hindia Belanda.
23 Mei 1920, kongres VII ISDV di Gedung SI Semarang, menyepakati pergantian nama dengan berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di tahun yang sama, Sneevliet mewakili PKI dalam kongres Internasional Komunis (Komintern) kedua di Moskow. Lenin merasa cukup terkesan olehnya sehingga ia mengutus Sneevliet sebagai wakil Komintern ke Tiongkok pada tahun 1921-1923, untuk membantu Partai Komunis Tiongkok yang masih kecil. Selama periode ini, Sneevliet bergonta-ganti nama samaran dari Maring, Martin, Philips, hingga Sentot. Tugas Sneevliet di Tiongkok usai pada tahun 1924 dan ia kembali ke Moskow. Dari Moskow, Sneevliet kemudian kembali ke Belanda untuk menjabat di Nationaal Arbeids-Secretariaat (NAS) atau Sekretariat Buruh Nasional dan di Komite Eksekutif Partai Komunis Belanda. Periode itu sayangnya bersamaan dengan munculnya birokratisasi di Uni Soviet dan Komintern dimana kelompok di bawah pimpinan Stalin mulai mendominasi kekuasaan. Pertentangan faksional ini merembet hampir ke seluruh dunia. Sneevliet akhirnya putus hubungan dengan Partai Komunis Belanda dan Komintern pada tahun 1927. Tahun 1929 Sneevliet dan para mantan oposisi internal di Partai Komunis Belanda bersama mantan anggota Partai Sosialis mendirikan Revolutionair Socialistische Partij (RSP) atau Partai Sosialistis Revolusioner. Selain rutin mengintervensi isu-isu nasional, RSP juga mengorganisir gerakan pengangguran, aksi-aksi mogok, dan kampanye-kampanye anti-fasis.
Dalam perjuangannya melawan Stalinisme di satu sisi dan bahaya fasisme di sisi lain, Sneevliet dan kelompoknya kemudian bekerjasama dengan Oposisi Kiri pimpinan Leon Trotsky. RSP bersama Liga Komunis Internasional pimpinan Trotsky, OSP, dan Partai Buruh Sosialis Jerman, menandatangani Deklarasi Empat yang diniatkan sebagai langkah maju menuju pembangunan Internasionale Keempat. Sayangnya di kemudian hari Sneevliet dan Trotsky pecah karena berbeda pandang soal strategi taktik. Jong (2017) mengemukakan Trotsky menekankan pentingnya komunis bekerja di serikat-serikat buruh massal bukan kelompok sempit seperti NAS dimana Sneevliet berada di dalamnya. Sementara itu Sneevliet menghendaki Internasionale Keempat harus bekerjasama dengan kelompok-kelompok lebih luas seperti Partai Buruh Independen Inggris dan Partido Obrero de Unificación Marxista (POUM) atau Partai Buruh Persatuan Marxis di Spanyol, bukan hanya partai-partai Trotskyis. Sedangkan Trotskyis sendiri mengkritik kelompok-kelompok tersebut karena posisi Sentris atau Tengah dan tidak tegas memilih antara revolusi atau reforma, itu akan membahayakan di masa krisis.
Sneevliet serta kawan-kawannya juga mengorganisir aksi-asi solidaritas terhadap aksi pemberontakan kapal Zeven Provincien yang diawaki para pelaut Belanda dan Indonesia. Akibatnya pada tahun 1935 ia divonis penjara lima bulan. Tahun yang sama RSP menjalin persatuan dengan pecahan sayap kiri dari SDAP. Keduanya kemudian mendirikan Revolutionair Socialistische Arbeiderspartij (RSAP) atau Partai Buruh Sosialistis Revolusioner. Selama di penjara, Sneevliet terpilih sebagai anggota Parlemen Kamar Bawah, posisi yang dijabatnya sampai tahun 1937.
Perang Dunia II kemudian meletus 10 Mei 1940, kelompok Sneevliet terjepit menghadapi kepungan musuh dari empat arah sekaligus: fasis, stalinis, kaum demokrat sosial, serta kelas penguasa Belanda yang terdiri dari kaum borjuis dan monarkis. RSAP terpaksa dibubarkan Sneevliet dan mereka bergerilya di bawah tanah. Sneevliet kemudian mendirikan Front Marx-Lenin-Luxemburg untuk melawan kaum fasis NAZI-Jerman yang saat itu sudah menduduki Belanda. Selain menjalankan perlawanan bersenjata dan sabitase mereka juga menerbitkan koran klandestin berjudul Spartakus. Namun April 1942 Sneevliet dan para pimpinan lainnya tertangkap. Mereka dieksekusi pada 13 April 1942. Sneevliet menutup hidupnya pada usia 58 tahun dengan nyanyian Internasionale sebelum kemudian ditembak mati.
Ditulis oleh Leon Kastayudha, Anggota Sosialis Muda dan Kader Perserikatan Sosialis serta Dipayana Raka, Anggota Lingkar Studi Kerakyatan dan Kader Perserikatan Sosialis.
REFERENSI:
Lunn, John (1995) “Hendricus Josephus Franciscus Marie ‘Henk’ Sneevliet” dalam Lane, Thomas (ed.), Biographical Dictionary of European Labor Leaders: Volume 2, M-Z. Westportm CT: Greenwood Press, 1995; hal. 909-910.
Jakasurya, Pandu. (2011). Henk Sneevliet: Tak Berhenti Kecuali Mati! (Online). Diterbikan pada Sabtu 29 Oktober 2011.
Jong, Alex de. (2017). Being Brave Because It Is Right. Jacobin. (Online). Diterbitkan pada Kamis, 13 April 2017.
Kurniawan, Hasan. (2016). Marco Kartodikromo dan Syair Sama Rasa Sama Rata. Sindonews.com. (Online). Diterbitkan pada Senin, 11 Januari 2016.
Matanasi, Petrik. (2009). Peran Sejarah Henk Sneevliet sebagai Mahaguru Pendiri PKI. Tirto.id.
Matanasi, Petrik. (2019). Boedi Oetomo dan SI Mendukung Wajib Militer pada Perang Dunia I. Tirto.id. (Online). Diterbitkan pertama kali pada Rabu 11 September 2019.
Riadi, Fajar. (2019) Runtuhnya Gagasan Milisi Negara. Historia. (Online).
Comment here