Dua puluh satu tahun yang lalu, pada 12 Mei 1998, aksi mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta dibubarkan oleh Rejim Militer Soeharto. Empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak sementara puluhan lainnya luka-luka. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie. Penembakan tersebut bukanlah sebuah ketidaksengajaan, menggunakan peluru tajam dan bukan tidak mungkin dilakukan oleh penembak jitu karena mereka ditembak di daerah vital seperti kepala, leher dan dada.
Keesokan harinya kerusuhan menjalar di Jakarta hingga 15 Mei 1998. Kerusuhan tersebut merupakan Pogrom terhadap Tionghoa. Pogrom (bahasa Rusia: погром; dari “громить” yang artinya menghancurkan) adalah serangan kekerasan besar-besaran yang terorganisasi atas sebuah kelompok tertentu, etnis, keagamaan, atau lainnya, bersamaan dengan penghancuran terhadap lingkungannya (rumah, tempat usaha, pusat-pusat keagamaan, dll).
Penembakan Trisakti bermula dari mimbar bebas keprihatinan terhadap kondisi politik dan ekonomi. Mimbar bebas tersebut dihadiri sekitar 6 ribu mahasiswa, pekerja, dosen, pimpinan fakultas dan Universitas Trisakti. Siang hari mereka berencana untuk bergerak ke gedung DPR/ MPR, namun diblokade aparat di depan Kantor Walikota Jakarta Barat. Sekitar pukul 17:00, mahasiswa dan aparat sepakat untuk bersama-sama mundur. Namun seseorang yang tidak dikenal melakukan provokasi ke mahasiswa kemudian berlindung di barisan aparat keamanan, provokasi ditambah caci maki yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap mahasiswa. Ini kemudian menjadi pembenaran aparat untuk menyerang mahasiswa; mereka dipentungi, ditendangi, dipukuli, ditembaki juga terjadi pelecehan seksual.
Esoknya Pogrom merebak di Jakarta 13-15 Mei; Solo pada 14-15 Mei; Palembang 14-15 Mei; Surabaya 14 Mei. Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) menyebut Pogrom 12-15 Mei 1998 menelan korban 1.190 orang meninggal akibat terbakar dan dibakar, 27 orang meninggal akibat penembakan, 91 orang luka-luka, dan setidaknya ada 168 lebih perempuan mengalami pemerkosaan serta 20 diantaranya meninggal selama kerusuhan berlangsung. Ini belum termasuk orang yang hilang maupun diculik. Selain itu, dampak dari Pogrom tersebut setidaknya merusak 13 pasar, 2.479 ruko, 40 mall/plaza, 1.604 toko, 45 bengkel, 2 kecamatan, 11 polsek, 383 kantor, 65 bank, 24 restoran, 9 pom bensin, 8 bus kota, 1.119 mobil, 821 motor, 486 rambu lalu lintas, 11 taman 18 pagar, hingga 1.026 rumah penduduk dan gereja.
Massa dipancing untuk masuk ke dalam pusat-pusat belanja untuk kemudian dibakar. Rumah-rumah dan toko-toko Tionghoa diserang dan dijarah, untuk menghindarinya orang-orang menuliskan “Milik Pribumi” di tempatnya. Mobil-mobil dihentikan, diperiksa apakah pengendaranya Tionghoa atau bukan. Jika iya maka mereka akan diturunkan, dianiaya dan bukan tidak mungkin dibunuh. Perempuan-perempuan Tionghoa diperkosa, bahkan anak kecil, oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu dan tempat yang sama. Kebanyakan aksi dilakukan di hadapan orang lain (suami/ tunangan/ pacar/ anak/ saudara). Lokasinya di dalam rumah, jalan atau tempat usaha mereka. Terdapat indikasi bahwa pemerkosaan dilakukan oleh orang-orang terlatih.
Apa yang terjadi bukanlah sebuah kerusuhan, yang dianggap spontan. Apa yang terjadi adalah Pogrom dengan sasaran etnis Tionghoa dilancarkan demi mengalihkan kemarahan rakyat terhadap kediktaktoran Rejim Militer Soeharto. Memang sejak berdirinya, dengan menggulingkan Soekarno, Rejim Militer Soeharto menggunakan rasisme terhadap Tionghoa. Pola Pogrom Mei 1998 adalah rasisme terhadap Tionghoa diperkuat serta penyebarluasan hoax mengenai kerusuhan dan penjarahan. Sekelompok provokator diturunkan dari truk militer atau kendaraan lainnya. Provokator tersebut memiliki ciri-ciri yang mirip dengan aparat keamanan (ada mereka yang diduga berasal dari BIA-Badan Intelijen ABRI) misalnya bersepatu boot militer, berbadan kekar, rambut cepak, membawa HT dan pistol. Terdapat juga provokator lain yang berseragam SMU atau jaket mahasiswa namun berwajah tua, pemuda berbadan kekar, berwajah sangar dan bertato, ribuan provokator ini sudah mendapatkan pelatihan di Cilangkap, Ciracas, Bekasi, Pondok Gede dan Bogor. Mereka memprovokasi dengan melakukan pembakaran ban, kayu, serta meneriakan sentimen anti-Tionghoa. Para provokator memancing massa berkumpul, masuk dan menjarah pusat-pusat perbelanjaan yang kemudian mereka bakar saat massa masih berada di dalamnya. Para provokator tersebut kemudian akan meninggalkan lokasi.
Kapolda Metro Jaya saat itu, Hamami Nata mengatakan Pogrom Mei 1998 terorganisir dan dilakukan orang-orang terlatih. Alat komunikasi polisi dibuat tidak berfungsi dan polisi tidak berani melakukan penembakan terhadap perusuh karena di tengah-tengah massa itu terdapat “orang-orang bersenjata dari angkatan.”
Di Solo, kerusuhan melibatkan preman dari kelompok milisi sipil reaksioner, juga kelompok berbaju loreng dan baret merah seperti yang digunakan satuan Kopassus. Di Surabaya dan Lampung kerusuhan berlangsung cepat dengan skala relatif kecil. Sementara itu Palembang, kerusuhan diorganisir dan terencana dalam skala yang lebih besar dibandingkan Surabaya dan Lampung.
Mereka yang berpotensi untuk mengungkap kekejian tersebut terus mendapatkan represi oleh militer. Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) diancam akan diperkosa, mendapatkan surat kaleng, kantor mereka dipasangi granat dan terus menerus didatangi militer, rumah sakit-rumah sakit didatangi pasukan bersenjata, mereka diancam untuk tidak memberikan keterangan apapun, korban – terutama korban perkosaan – diancam untuk tidak melapor. Tentara bersenjata yang berulang kali datang ke kantor TRK mengatakan “mana para pembela Cina itu? Ngapain Cina-Cina itu dibela?” Kekejian menimpa Ita Maradinata, korban perkosaan yang hendak berangkat memberikan kesaksian di kantor Komisi HAM PBB. Beberapa hari sebelum keberangkatannya, Ita dibunuh dengan sadis di rumahnya sendiri. Dia diperkosa untuk kedua kalinya dan digorok lehernya oleh orang yang sudah terlatih. Polisi menutupi kasus tersebut dengan mengatakan Ita dibunuh oleh preman tetangganya sendiri.
Militer terus menerus menyangkal terjadi pemerkosaan massal. Wiranto, Panglima ABRI saat itu merupakan yang pertama menyangkal. Kapolri, Roesmanhadi menyangkal yang kemudian diamini oleh Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, Gories Mere. Gories Mere saat itu adalah Ketua Pelaksana Lapangan penyelidikan kasus perkosaan massal. Dia juga yang memaksa keluarga Ita untuk berbicara ke publik dan menyatakan bahwa mereka bukan anggota TRK. Sementara itu kelompok-kelompok Islam binaan Rejim Militer Soeharto dan MUI menyatakan bahwa pemerkosaan tersbut sengaja dibesar-besarkan untuk mendiskreditkan Islam di ranah internasional.
Soeharto belum dimintai tanggungjawab. Demikian para jenderal yang kini tetap kaya raya, memiliki jabatan tanpa bertanggungjawab atas kekejian Pogrom Mei 1998. Mereka antara lain Sjafrie Sjamsoeddin yang saat itu merupakan Pangdam Jaya. Dia bahkan sempat dilantik sebagai Wakil Menteri Pertahanan oleh SBY. Hamami Nata, Kapolda Metro Jaya. Timur Pradopo, Kapolres Metro Jakarta Barat. Dia kemudian menjadi Kapolri. Sutiyoso yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tentu saja Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI dan Prabowo Subianto yang saat itu menjadi Pangkostrad.
Pasca Pogrom Mei 1998, pogrom terus terjadi, rasisme juga, tidak beberapa lama kita disuguhi dengan Kerusuhan 22 Mei 2019. Polanya sama, dan pasti pelakunya juga sama yaitu sisa-sisa Rejim Militer Soeharto. Kelas buruh dan rakyat Indonesia butuh kekuatannya sendiri. Kekuatan yang terdiri dari beragam etnis, agama, suku, jenis kelamin, orientasi seksual. Kekuatan yang akan menyingkirkan sampah-sampah sejarah, menghentikan rasisme, mewujudkan demokrasi serta membuka jalan bagi perjuangan membangun tatanan masyarakat yang bebas dari penindasan.
Ditulis oleh Lady Andres, Anggota Lingkar Studi Sosialis
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 66, III-IV Mei 2019, dengan judul yang sama
Comment here