Pada dasawarsa 1980an, Rejim Militer Soeharto mengarahkan ekonomi pada pembangunan industri berorientasi ekspor. Berbagai kemudahan diberikan untuk perkembangan industri yang berorientasi ekspor salah satunya dengan kebijakan upah murah. Tidak mengherankan jika kemudian konflik perburuhan meningkat di masa itu. Terjadi berbagai aksi massa ataupun pemogokan, walau bersifat spontan dan sporadis. Ini tidak terlepas dari kondisi tidak adanya serikat buruh sejati. Organisasi buruh yang ada adalah Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang dibentuk dan dikontrol oleh Rejim Militer Soeharto.
Dengan latar belakang tersebutlah terjadi pemogokan buruh PT Catur Putra Surya (CPS) pada 3-4 Mei 1993. Tuntutan mereka adalah: naikan upah sesuai peraturan UMR, cuti haid, cuti hamil, asuransi kesehatan buruh ditanggung perusahaan, THR satu bulan gaji sesuai himbauan pemerintah, uang makan ditambah, kenaikan uang transport, upah pekerja baru disamakan dengan pekerja yang sudah 1 tahun bekerja, bubarkan SPSI serta pengusaha dilarang melakukan PHK, intimidasi atau mutasi terhadap pekerja yang menuntut haknya. Marsinah dibunuh setelah memperjuangkan tuntutan tersebut.
Persoalan diawali dengan penolakan PT CPS untuk memenuhi Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, yang isinya meminta agar para pengusaha menaikan upah buruh 20 persen. Ini merupakan turunan dari KepMen 50/ 1992 yang mengatur bahwa UMR Jawa Timur adalah Rp 2.250,- Sebenarnya kebanyakan pengusaha menolak aturan tersebut. Dalam perundingan, manajemen PT CPS hanya mau memberikan kenaikan upah dalam tunjangan, bukan upah pokok. Permasalahannya, jika buruh tidak masuk kerja karena sakit atau melahirkan maka tunjangan tersebut akan dipotong.
Negosiasi mengalami kebuntuhan, akhirnya buruh PT CPS melancarkan mogok kerja pada 3 Mei 1993. Sekitar 150 dari 200 buruh ikut mogok. Pada mogok hari pertama ini, Yudo Prakoso, koordinator aksi ditangkap dan dibawa ke Markas Koramil 0816/ 04 Porong. Dia diinterogasi dan dituduh melakukan cara-cara PKI, sorenya dia dibebaskan.
Keesokan harinya, mogok kembali dilancarkan dan perundingan dilakukan. Negosiasi dilakukan antara manajemen PT CPS dengan melibatkan 24 orang perwakilan buruh (15 orang dipilih oleh buruh secara spontan dan sisanya 9 orang merupakan pengurus SPSI setempat) dengan melibatkan pejabat Depnaker, DPC SPSI, Kanwil Sospol Sidorjo dan jajaran Muspika termasuk wakil Polsek dan Danramil Sidorjo. Semua tuntutan dikabulkan kecuali pembubaran SPSI.
Di hari itu juga, Yudo Prakoso, mendapat surat panggilan dari Koramil Porong. Dalam surat bernomor B/ 1011V/ 1993 itu, Prakoso diminta datang ke kantor Kodim 0816 Sidoarjo. Di Kodim Sidoarjo, Prakoso diminta untuk mencatat nama-nama buruh yang terlibat dalam pemogokan. Esoknya buruh-buruh tersebut mendapatkan surat yang sama. Mereka dikumpulkan di ruang data Kodim Sidoarjo kemudian dipaksa dengan intimidasi maupun bujukan untuk mengundurkan diri dari PT CPS. Selepas magrib, mereka menerima pembagian uang pesangon yang diberikan oleh manajemen PT CPS di markas Kodim.
Bersamaan dengan itu, Marsinah yang bekerja shift pagi bertemu dengan kawannya dan mengingatkan rencana pertemuan buruh untuk mendengar informasi mereka yang dipanggil Kodim. Marsinah kemudian membuat surat pernyataan kepada perusahaan di rumah pondokannya. Sore hari surat itu difotokopi dan rencananya akan dibagikan ke kawan-kawannya saat pertemuan malam hari. Surat itu rencananya akan disampaikan ke perusahaan melalui ketua unit kerja SPSI PT CPS namun akhirnya disampaikan langsung ke pabrik melalui satpam.
Sepulang mengantarkan surat, Marsinah bersama empat orang kawannya memutuskan menyusul ke Kodim untuk mencari kabar. Namun di Makodim Sidoarjo, ke 13 kawannya sudah pulang. Marsinah memutuskan untuk kembali dan dalam perjalanan, Marsinah sempat mampir ke beberapa kawan buruhnya untuk membagi-bagikan fotokopi surat pernyataannya. Di perempatan desa Siring, Marsinah bertemu dengan empat dari 13 kawan buruhnya. Marsinah mengajak dua orang kawannya itu untuk bercakap-cakap di teras rumah pondokannya. Marsinah menceritakan mengenai surat pernyataan yang dia buat namun dia terkejut dan gusar mengetahui bahwa ke 13 kawannya dipecat di Makodim. Setelah kawan-kawannya pulang, Marsinah pergi ke rumah seorang teman perempuannya. Namun tidak bertemu karena temannya bekerja shift malam. Dalam perjalanan pulang, Marsinah bertemu dengan dua orang kawannya yang lain. Mereka kemudian pergi ke rumah pondokan kawan lainnya untuk meminta Surat Persetujuan Bersama hasil perundingan 4 Mei 1993. Marsinah ingin memastikan janji pihak perusahaan pada butir 10 yang berbunyi: “Sehubungan dengan unjuk rasa ini (pemogokan kerja), pengusaha dimohon untuk tidak mencari-cari kesalahan karyawan”.
Setelahnya, 5 Mei menjelang setengah sepuluh malam, Marsinah berpisah dengan dua kawannya untuk membeli makanan. Mereka berpisah di bawah pohon mangga dekat Tugu Kuning, desa Siring. Tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi pada Marsinah setelah itu. Hingga 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan sudah tidak bernyawa di pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk.
Marsinah dibunuh, dan pembunuhannya coba ditutup-tutupi. Pemilik PT CPS, manajer perusahaan, bagian personalia, kepala bagian mesin, seorang satpam dan supir perusahaan diculik, disekap dan disiksa Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstranasda) di Makodam V Brawijaya selama 19 hari. Selain dipukuli, mereka juga dipaksa meminum air seni, mengalami kekerasan seksual, mengepel lantai dengan lidah, dsb. Mutiari, personalia PT CPS, satu-satunya perempuan yang disekap mengalami keguguran. Mereka dipaksa mengaku bersekongkol memperkosa, menganiaya dan membunuh Marsinah. Pada 21 Oktober 1993, aparat Kodam V Brawijaya menyerahkan mereka ke Polda Jawa Timur. Persidangan kemudian dimulai dan mereka diputus bersalah dan divonis penjara, kecuali Yudi Susanto yang dibebaskan Pengadilan Tinggi Surabaya. Pada 3 Mei 1995, mereka divonis bebas oleh Mahkamah Agung. Penyelidikan dan penyidikan ulang dilakukan pada pertengahan 1995 namun tanpa hasil apapun.
Proses peradilan berusaha membuktikan bahwa Marsinah diperkosa dan vaginanya ditusuk dengan kayu oleh para terdakwa. Hasil visum et repretum pertama tidak memenuhi standar karena bersifat parsial. Barang bukti berupa balok tidak sesuai dengan luka. Dengan tulang panggul bagian depan hancur, tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping, tulang kemaluan kanan patah, tulang usus kanan patah sampai terpisah, tulang selangkangan kanan patah seluruhnya, labia minora kiri robek dan ada serpihan tulang, luka di bagian dalam alat kelamin sepanjang 3 sentimeter serta pendarahan di dalam rongga perut, luka tersebut disebabkan vaginanya ditembak senjata api.
Laporan Komnas HAM dan LBH menyebutkan bahwa kemungkinan kuat Marsinah dibunuh di markas Kodim dan tanggungjawab atas pembunuhan Marsinah terletak pada penguasa militer yang berpangkat lebih tinggi. Para perwira tersebut antara lain: Kepala Staf Kodam V/ Brawijaya, Mayjen TNI Farid Zainuddin diduga keras terlibat, atau setidak-tidaknya mengetahui terjadinya pembunuhan Marsinah. Tahun 2018 lalu dia diangkat menjadi Dewan Pembina Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), partai Hendropriyono yang berkoalisi mendukung Jokowi. Panglima Kodam Brawijaya saat itu Mayjen TNI Haris Sudarno, yang sebelum Pemilu 2019 sempat memperebutkan PKPI melawan kubu Hendropriyono. Mayjen TNI Soetarto SK, Komandan Detasemen Intel Kodam V/ Brawijaya dan mantan Komandan Korem Surabaya terlibat karena markasnya dipakai menyiksa para terdakwa kasus Marsinah. Panglima ABRI saat itu adalah Jenderal TNI Edi Sudradjat yang kemudian mendirikan PKPI. Sementara Kasad dipegang oleh Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar, Februari lalu menghadiri dukungan deklarasi purnawirawan jenderal untuk Jokowi-Ma’aruf.
Militerisme di Indonesia berkuasa dengan menghancurkan serikat buruh, membantai aktivis buruh serta menghancurkan tradisi perjuangan buruh. Demikian Kekerasan dan kekerasan seksual terhadap perempuan telah menjadi bagian dari militerisme dan Rejim Militer Soeharto. Malapetaka 1965, Aceh, Timor Leste, Papua, hingga Kerusuhan Rasis Mei 1998 menunjukan bagaimana pola kekerasan seksual terhadap perempuan dari Rejim Militer Soeharto. Bahkan kekuasaannya berdiri dengan menyebarkan hoax yang mengibliskan perempuan yang berjuang dan berpolitik, yaitu tari harum bunga Gerwani di Lubang Buaya. Ditembaknya vagina Marsinah, menunjukan pola yang sama bagaimana Rejim Militer Soeharto merendahkan perempuan dan terlebih pejuang perempuan. Perjuangan Marsinah juga memberikan pelajaran bagi kelas buruh bahwa tanpa demokrasi maka ruang untuk perjuangan untuk hak akan sangat sempit. Demikian juga dengan menjadi pelopor dalam perjuangan demokratis akan memperkuat perjuangan kelas buruh untuk menghancurkan penindasan kapitalisme.
Jangan lupa, sisa-sisa Rejim Militer Soeharto hingga kini masih berkuasa dan kaya raya. Mereka berada di kubu Prabowo namun juga berkuasa bersama Jokowi. Kelas buruh memiliki kepentingan untuk menyingkirkan mereka semua, membangun tatanan masyarakat baru yang demokratis, memenuhi kesejahteraan buruh dan anti seksisme.
Ditulis oleh Hajrudin, Anggota Lintas Komunal
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 65, I-II Mei 2019, dengan judul yang sama
Comment here