ditulis oleh Daniel Taylor
Seiring ekonomi pasar bebas gagal, negara campur tangan dalam ekonomi. Seluruh industri dihentikan, beberapa ada yang diambil alih dan ada pula yang ditopang lewat subsidi dan kucuran dana negara. Diskusi muncul tentang bagaimana kemungkinan negara akan bertanggung jawab terhadap kehidupan publik: nasionalisasi, penyediaan layanan publik gratis dan pengembangan-ulang industri manufaktur yang diarahkan oleh negara. Itu semua membuktikan argumen sosialis yang banyak difitnah bahwa motif profit serta ekonomi pasar bebas tidak bisa mewujudkan masyarakat yang makmur.
Namun pengambilalihan ekonomi oleh negara bukanlah transisi menuju sosialisme, terlepas dari ucapan kaum kanan yang memuja ekonomi pasar dan kaum reformis kiri. Bahkan, bisa saja menjadi pemicu bentuk tatanan kapitalis yang lebih represif, lebih bengis – bentuk yang sering dirasa dibutuhkan oleh kapitalis pada saat krisis. Alternatif dari pasar bebas bukanlah sebuah negara bangsa kapitalis hiper-kuat. Melainkan kekuasan buruh internasional. Jadi meskipun kita berjuang untuk nasionalisasi alih-alih menopang kapitalis privat, ini harus menjadi bagian dari perjuangan yang lebih besar untuk kontrol buruh terhadap ekonomi dan politik.
Di hadapan krisis Covid-19, banyak pemimpin dunia yang coba-coba, berharap untuk menjaga tatanan neoliberal dengan alat bantu hidup supaya dapat dibangkitkan ketika kondisi buruk telah usai. Kebanyakan politisi hari ini masuk dalam situasi krisis setelah dilatih dari masa kecil untuk menolak ide bahwa negara harus bertanggungjawab terhadap jaminan sosial. “Pemerintah bukanlah solusi masalah kita: pemerintah adalah masalahnya”, menurut Ronald Reagan pada pidato pelantikannya tahun 1980. Yang dia maksud bukanlah kepolisian atau militer; maksudnya adalah hal-hal seperti layanan kesehatan gratis dan perumahan rakyat. Walaupun semua perbedaan di antara mereka, politisi borjuis mulai dari Emmanuel Macron di Perancis hingga Donald Trump menerima logika dasar tersebut: kalau berkembang, privatisasikan, kalau tidak, potong anggarannya. Untuk membenarkan kegagalannya memobilisasi industri untuk memproduksi perlengkapan kesehatan, Trump mengatakan pada reporter: “Kita adalah negara yang tidak berdasarkan atas nasionalisasi bisnis kita. Coba bicara pada orang di Venezuela, tanya pada mereka bagaimana nasionalisasi bisnis mereka berjalan? Tidak berjalan baik.”
Namun demikian, pemerintah semakin terpaksa mengambil langkah nasionalisasi tersebut untuk menjaga agar sistem tidak hancur. Dengan melakukan itu mereka membuang ide bahwa kelas kapitalis adalah pencipta kekayaan mandiri yang bisa mencapai hal-hal besar jika saja negara tidak mencampuri urusan mereka. Sehingga menimbulkan pertanyaan: mengapa kita membayar hanya agar mereka mendapat profit?
Operator transportasi publik yang diprivatisasi dibayar jutaan dolar untuk menjalankan bus dan trem yang kosong. Perusahaan didanai oleh negara untuk “hibernasi”. Maskapai besar, banyak dari mereka sebelumnya dikelola negara, diberikan bail out bahkan ketika mereka memecat buruh. Tindakan ini dirancang untuk menopang sistem yang gagal dan untuk membuat “kembali lagi” menjadi mungkin, namun bagaimanapun juga itu buruk. Dengan biaya besar, perusahaan privat yang tidak efisien terus menghasilkan profit padahal mereka tidak melakukan apapun yang berguna. Kenapa tidak mengakhiri sandiwara ini dan mengambilalihnya di bawah kontrol negara?
Ini adalah gagasan yang semakin banyak beredar, meskipun kegelisahan kaum kapitalis dan intelektual mereka. Di Eropa nasionalisasi sementara maskapai besar dan industri manufaktur mobil semakin sering diusulkan. Mesin pers global Rupert Murdoch sedang menjalankan kampanya terkoordinasi untuk menghentikan tindakan ini, memutar balik intervensi negara dan merestorasi kapitalisme laissez-faire, bahkan jika itu berarti jutaan orang akan mati. “Orang Australia bisa – dan harus – kembali bekerja dalam waktu 2 minggu”, tulis Andrew Bolt di Herald Sun. Dia tidak hanya berharap untuk mendapat keuntungan yang cepat, sayap kanan khawatir bahwa intervensi negara akan menjadi permanen dalam ekonomi. Koran The Australian putus asa akan adanya “pertunjukan orang aneh fiskal neo-Whitlamis” di mana “pemerintah-kecil, umumnya konservatif, berpihak pada politik pajak-rendah sedang membangun negara kesejahteraan dalam skala besar” dapat menjadi “hal normal yang baru”.
Pemerintah dari semua sisi politik sekarang sedang bersaing satu sama lain untuk masker dan ventilator sehingga menimbulkan perkembangan kecenderungan dari opini mainstream bahwa, begitu fase pertama krisis telah berakhir, negara entah bagaimana harus memaksa pembangunan kembali sektor manufaktur nasional. “Industri manufaktur kita sangat penting seperti halnya angkatan darat, angkatan laut serta angkatan udara kita” ucap Bill Shorten kepada parlemen. “Kita membutuhkannya kembali… Kita butuh obat-obatan, ventilator dan sejenisnya, dan itu harus berada dalam kendali kita dan di dalam perbatasan kita.”
Tentu saja, adalah carut marut jika maskapai penerbangan dan trem kosong dijalankan oleh operator swasta (privat), dengan anggaran negara yang sebenarnya bisa digunakan untuk layanan kesehatan justru digunakan untuk mengisi rekening bank pemilik operator. Perusahaan tersebut harus segera disita. Kapitalis parasit harus ditendang dari posisi kontrol mereka dalam sektor-sektor penting seperti transportasi, layanan kesehatan, pendidikan, produksi dan distribusi pangan. Namun kalaupun ini dicapai belum berarti kita telah menggantikan logika kapitalisme.
Gilanya persaingan kapitalis masih ada ketika ekonomi lebih dikendalikan-negara. Dan bisa saja tidak manusiawi seperti upaya mengejar profit di pasar bebas. Persaingan antara negara kapitalis yang berperang serta represif, yang semuanya berusaha untuk keluar dari krisis global di depan saingan mereka, bisa saja mendorong terjadinya konfrontasi militer. Dan ekonomi kapitalis yang didominasi-negara akan menindas buruh mereka secara kejam untuk mendapatkan keuntungan secara global.
Jika industri kunci diambilalih oleh negara, hal ini dikarenakan kelas yang berkuasa menyadari dalamnya krisis yang mereka hadapi, bukan karena mereka ingin mengganti sistem tidak manusiawi yang membawa kita ke situasi seperti saat ini. Jauh dari itu: mereka justru berusaha keras untuk melindungi sistem kapitalisme dari serangan kelas buruh dan memperkuat negara-bangsa akan menjadi senjata terbaik mereka.
Banyak yang membandingkan pandemi Covid-19 dengan perang. Perbandingan ini berguna. Pasar bebas tidak mampu mengorganisir perang dengan baik, negaralah yang harus memimpin, mengkomandoi industri dan mengarahkan ekonomi. Namun ketika negara kapitalis secara besar-besaran memperluas kekuasaan mereka selama krisis masa perang, ini bukan tindakan untuk kepentingan kelas pekerja. Ketika sebuah industri kunci ditandai sebagai esensial untuk keberlangsungan nasional, negara bisa mengatur para bos indusri untuk memproduksi barang tertentu. Namun di waktu yang sama mereka bisa juga menghancurkan kelas buruh dengan dalih melawan kepentingan nasional.
Pada akhir tahun 1930an dan awal 1940an, presiden liberal Franklin Roosevelt adalah tokoh yang dikagumi oleh sebagian kaum kiri di Amerika. Program belanja New Deal-nya dipromosikan bahkan hingga hari ini sebagai kebijakan kuasi-sosialis. Namun seiring New Deal berkembang menuju militerisasi ekonomi untuk persiapan Perang Dunia II (PD II), bersama dengannya muncul hukum represif untuk menindas pemogokan dan mereka yang berbeda pendapat. FBI dikirim untuk meneror dan menangkap kaum radikal yang mungkin mengorganisir mogok di industri perang dan banyak kaum sosialis serta anggota serikat buruh yang dipenjara. Represi politik dan industri tersebut terikat pada pemuasan ekonomi dan menjadi meletakan dasar untuk Perang Dingin dan McCarthyisme.
Di dua perang dunia, adalah perjuangan dari buruh yang berada di industri-industri kunci produksi-perang – beberapa dijalankan oleh perusahaan swasta menghasilkan keuntungan besar dari jaminan penjualan, sementara lainnya di bawah kontrol negara sebagai bagian dari totalitas mobilisasi perang – yang paling direpresi dengan kejam oleh negara, dan sering yang paling meradikalisasi. Banyak dari revolusi Rusia dipimpin oleh buruh di industri perang, memproduksi kendaraan lapis baja, peluru artileri dan peledak. Untuk melawan para bos dan negara mereka, kaum buruh membutuhkan keberanian politik yang berasal dari cara padang dunia internasionalis dan anti-kapitalis. Hal ini berarti ketika kaum buruh melancarkan pukulan, mereka sadar bahwa mereka bukanlah pengkhianat bangsa karena menyabotase upaya perang: mereka adalah pahlawan bagi kelas buruh sedunia.
Krisis seperti ini bisa menyatukan politik dan ekonomi, seiring negara kapitalis terpaksa mengambil tanggung jawab produksi dan distribusi. Ini juga berarti perjuangan ekonomi buruh dapat dengan cepat menjadi secara politik berbahaya, mendorong negara untuk melakukan menghancurkannya. Kini, buruh secara heroik mengambil tanggung jawab untuk mengatasi masalah sosial yang disebabkan oleh pandemi. Mereka berjuang untuk menghentikan industri non-esensial dan mengubah industri tidak penting seperti industri perang menjadi industri kesehatan. Usaha seperti inilah yang akan menjadi satu-satunya jalan untuk menjamin hidup yang bermartabat dan aman untuk kaum buruh dimanapun mereka berada.
Organisasi kelas buruh, yang dibangun dari perjuangan sehari-hari di tempat kerja bisa membangun pondasi kolektif, internasionalis untuk reorganisasi kehidupan ekonomi demi kepentingan umat manusia. Ini secara langsung menentang kepentingan kaum kapitalis dan negara borjuisnya. Keduanya ingin mempertahankan penindasan kelas buruh di tempat kerja, terus menjalankan produksi sesuai dengan hukum hirarkis kapitalisme dan mengikat loyalitas kelas buruh kepada musuh kelas mereka dengan cara membagi-bagi dunia menjadi berbagai negara-bangsa. Kontrol buruh, kekuasaan buruh dan sosialisme harus dibangun bertolak belakang dengan itu semua, dari bawah ke atas, dalam perjuangan melawan para bos di perusahaan privat maupun di industri milik negara.
Ini penting, karena krisis saat ini menyediakan basis kuat untuk politik nasionalis, pro-negara. Dengan tiba-tiba, nasionalisasi nampak sebagai akal sehat. Dan beberapa tahun terakhir, kebangkitan kembali reformisme membuat banyak orang mengidentifikasi sosialisme secara sederhana sebagai nasionalisasi sektor-sektor pokok ekonomi. Penguatan negara-bangsa pada masa krisis global menyediakan kesempatan besar bagi pemimpin reformis dan birokrat serikat buruh yang menginginkan peran dalam mengelola ekonomi nasional. Mereka dapat menggambarkan integrasi mereka ke negara sebagai kemenangan buruh. Ini bisa memperkuat ilusi bahwa pengambilalihan ekonomi oleh negara kapitalis berarti langkah menjauh dari sistem kapitalisme.
Beberapa pengambilalihan oleh negara, termasuk nasionalisasi, seharusnya diperjuangkan. Namun untuk menjauh dari kapitalisme, kita membutuhkan sesuatu yang lebih daripada kontrol negara. Kita membutuhkan kelas pekerja untuk mengorganisir dirinya sebagai kekuatan yang independen. Kita membutuhkan solidaritas internasional bukan persatuan nasional. Kekuasaan pekerja bukan kekuasaan negara yang mutlak. Kita perlu menegaskan dan menguji hak kita untuk mogok dan mengorganisir di tempat kerja, bahkan di industri esensial. Masyarakat manusiawi yang kita butuhkan untuk menggantikan kapitalisme tidak akan muncul dari menguatnya negara borjuis melainkan dari aksi kelas buruh. Kita mulai meletakan dasar untuk kontrol tersebut dengan mengorgansir perlawanan kolektif jajaran massa di tempat kerja hari ini.
Naskah diambil dari website Red Flag. Dapat diakses melalui Nationalisation isn’t enough dimuat pada 16 April 2020. Diterjemahkan oleh Munawar Setiyadi, anggota Lingkar Studi Sosialis
Comment here