Kelahiran Kartini pada 21 April ditetapkan sebagai Hari Kartini dan diperingati di Indonesia tiap tahunnya. Lagu “Ibu kita Kartini” karangan W.R Soepratman kerap dinyanyikan dalam peringatan itu. Jalanan dipenuhi berbagai festival, mulai dari festival kebaya, sampai karnaval anak-anak TK dan SD. Stasiun televisi menayangkan siapa Kartini di era kini, perempuan untuk diteladani di Indonesia. Sayangnya perayaan Hari Kartini ini tidak akurat mencerminkan Kartini dan perjuangannya.
Apa yang Diperjuangkan Kartini?
Kartini dikenal memperjuangkan emansipasi perempuan. Surat yang ditulis Kartini untuk sahabat penanya mengungkap Kartini mencita-citakan pendidikan untuk semua kalangan masyarakat. Baginya baik pribumi miskin, maupun kaya, berhak atas penddidikan. Khususnya pendidikan untuk para perempuan, yang di masa itu didiskriminasi. Pandangan ini bukan hanya simpati dari atas tapi juga empati senasib sebab ia turut merasakan didiskriminasi berdasarkan keperempuanannya.
“kami gadis-gadis masih terantai adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pagi belajar sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat. Ketahuilah bahwa adat negeri kami melarang keras gadis keluar rumah. Ketika aku berumur 12 tahun, aku ditahan dirumah, aku dikurung didalam rumah seorang diri dan terasing dari dunia luar” Surat Kartini kepada Stella Zeehandelar, 25 Mei 1899. “Pengkhianatan besar terhadap adat kehidupan negeriku jika kami bocah-bocah perempuan , keluar rumah untuk belajar dan karenanya harus meninggalkan rumah setiap hari untuk bersekolah,” katanya. Selanjutnya, “Lihatlah adat negeri kami, melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Pergi ke tempat lain pun kami tak boleh.” Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899.
Keprihatinan Kartini atas diskriminasi serta rendahnya hak-hak perempuan dan pendidikan, juga mencakup poligami. 23 Agustus 1900, Kartini menyurati Stella: “Satu-satunya yang boleh kami mimpikan adalah hari ini atau besok menjadi istri yang kesekian bagi seorang lelaki…tidak setiap orang Islam mempunyai empat orang istri, tetapi dalam dunia kami, setiap perempuan yang sudah kawin mengetahui bahwa dia bukan satu-satunya istri suaminya. Dan hari ini atau besok, suami tercinta dapat saja membawa pulang seorang perempuan untuk menjadi temannya, yang memiliki hak sama atas suaminya…Hampir semua perempuan yang aku kenal di sini mengutuk hak laki-laki itu.” Kartini berjuang melawan poligami, karena baginya poligami adalah perbuatan dosa. Sebab menurut Kartini: “segala perbuatan yang menyakitkan sesamanya adalah dosa di mataku”. Kartini menolak sebab poligami menjerat perempuan pada kehidupan amat sengsara, memerihkan, dan memilukan. Masa itu, poligami yang dilihat kartini, berdasarkan nafsu dengan menyalahgunakan agama sebagai pembenarannya.
Bahkan sebagai tambahan, secara historis, feodalisme Jawa yang bertemu dengan kebijakan rasis kolonial Hindia Belanda, memperparah praktik poligami. Peraturan kolonial melanggengkan kesenjangan sosial dengan mensyaratkan Bupati untuk menikahi perempuan dari latar belakang ningrat. Kartini menyadari ini yang terjadi dengan bapaknya yang berpoligami. Bagaimanapun juga, batasan-batasan struktural dan kultural membuat Kartini jadi korban poligami pula. Orang tuanya menikahkannya pada 12 November 1903 ke Joyodiningrat, Bupati Rembang yang sudah punya tiga istri. Awalnya Kartini menolak, namun akhirnya ia berkompromi untuk menyenangkan bapaknya dengan imbalan Kartini diperbolehkan suaminya untuk mendirikan sekolah untuk perempuan di beranda timur kompleks perkantoran Bupati Rembang.
Polemik Kartini Sebagai Pahlawan Nasional
Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 108 tahun 1964. Namun tahun 1970, saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru (Orba), guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah mengkritik ‘pengultusan’ Kartini sebagai pahlawan Nasional Indonesia. Bahtiar menulis artikel yang berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Ia menggugat penokohan Kartini sebagai pahlawan nasional. Menurutnya, ada dua perempuan jauh lebih hebat, yaitu Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan yang berdaulat dari Aceh dan Ratu Siti Aisyah We Tenriolle. Harsja menulis bahwa dua perempuan itu tidak masuk buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978) terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Sedangkan Kartini masuk.
Harsja beralasan, Sultanah Safiatudin perempuan sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Di masa pemerintahannya, ilmu dan sastra berkembang pesat. Lahirlah karya-karya besar seperti Abdur Rauf. Sultanah Safiatudin juga berhasil melawan usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di Aceh. VOC pun gagal memonopoli perdagangan timah dan komoditas lainnya. Ia juga dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sedangkan Siti Aisyah We Tenriolle adalah perempuan yang pertama kali mendirikan sekolah di Ternate, tempat pendidikan pertama yang dibuka baik untuk anak-anak laki-laki maupun perempuan.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar atas penokohan Kartini sebagai Pahlawan Nasional menyatakan Kartini dpilih Belanda untuk ditampilkan sebagai pendekar kemajuan perempuan pribumi di Indonesia. Harsja Bachtiar menyimpulkan: Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi perempuan dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian mengembangkannya. Harsja menghimbau informasi tentang perempuan-perempuan Indonesia yang hebat dibuka luas sehingga menjadi pengetahuan teladan banyak orang.
Bagaimanapun juga keberatannya tidak patut dijadikan landasan untuk menampik jasa-jasa Kartini. Pertama, perjuangan pembebasan perempuan tidak bisa direduksi pada perjuangan bersenjata. Edukasi dan penyadaran juga vital. Kedua, jasa Kartini juga harus dinilai pada pengaruh atau legasi yang ditinggalkannya bagi generasi/gelombang perjuangan berikutnya. Ada perjuangan perempuan yang muncul dipengaruhi Kartini. Selain itu juga banyak generasi perempuan setelah Kartini menjadi pejuang karena terinspirasi olehnya. Maria Ulfa, aktivis Kowani sekaligus pejuang kemerdekaan, mengaku Kartini mengilhami kesadarannya berjuang. Keluarga Van Deventer mendirikan Sekolah Kartini di Semarang tahun 1912. Disusul sekolah-sekolah perempuan lainnya di Cirebon, Yogyakarta, Madiun, Malang, dan Surabaya. Ketiga, Kartini mencapai kesadaran (yang kemudian diikuti para pejuang lainnya) bahwasanya perjuangan kaum perempuan untuk mencapai kemerdekaan, kemandirian, dan kesetaraan merupakan bagian gerakan lebih luas. Sebagai perempuan yang menamatkan karya sastra anti-kolonialisme dalam bahasa Belanda sebelum usia 20 tahun. Seperti Max Havelaar karya Multatuli dan Die Waffen Nieder! (Letakkan Persenjataanmu!) yang anti-perang serta bacaan-bacaan kritis lainnya. Wajar dalam surat-suratnya Kartini termuat cita-cita Zelf-ontwikkelling (Pengembangan Diri), Zelf-onderricht (Pendidikan Diri), Zelf-Vertrouwen (Kepercayaan Diri), Zelf Wwerkzaamheid (Keberhasilan Diri), dan Solidariteit (Solidaritas). Ini menurut Kartini berdasarkan Religieusiteit (Kepercayaan kepada Tuhan), Wijsheid en Schoonheid (Kebijaksanaan dan Kecantikan), bersama Humanitarisme (Kemanusiaan) dan Nationalisme (Kebangsaan). Pandangan ini diyakini Kartini di masa kebangsaan Indonesia belum dirumuskan, apalagi Pancasila.
Peringatan Hari Kartini bisa jadi tak lagi relevan. Apalagi dengan distorsi dan karikatur lomba berkebaya yang mengerdilkan Kartini hanya sebatas busananya. Alih-alih mengulas gagasan, pergulatan, dan perjuangannya. Bahkan ini disalahgunakan Orba untuk domestikasi perempuan, sosok perempuan ideal: istri dan putri yang patuh. Oleh karenanya ada baiknya peringatan perjuangan perempuan dilebur ke Hari Perempuan Internasional. Meskipun demikian, cita-cita Kartini untuk emansipasi perempuan tetaplah relevan untuk terus diperjuangkan di masa sekarang. Masa dimana kapitalisme diuntungkan dari seksisme dan diskriminasi terhadap perempuan dan masa dimana fundamentalisme merongrong berusaha membawa kembali perempuan ke zaman kegelapan.
Ditulis oleh Ayuma, mahasiswa Universitas Brawijaya
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 41, I-II April 2018, dengan judul yang sama.
Comment here