Sejarah

Genosida di Rwanda

Sekitar pukul 20:00 pada 6 April 1994, pesawat yang membawa presiden Rwanda, Habyarimana dan presiden Burundi, Cyprien Ntaryamira diroket sebelum mendarat di Kigali, ibukota Rwanda. Setelahnya tentara dan milisi sipil reaksioner menyatroni rumah-rumah politisi dan jurnalis moderat di Kigali, untuk membunuh mereka. Pagi harinya, Perdana Menteri Uwilingiyimana dibunuh. Antara 7 April 1994 hingga pertengahan Juli 1994, dalam jangka waktu 100 hari sekitar 800 ribu hingga 1 juta rakyat Rwanda dibantai. Sekitar 70 persen populasi Tutsi dan 30 persen populasi Twa dibantai. Pembantaian tersebut berhenti ketika Front Patriotik Rwanda (RPF), yang didukung oleh Uganda, menggulingkan Rejim Hutu.

Genosida dirancang oleh kelompok yang disebut Akazu, terdiri dari anggota pemerintahan dan militer Hutu. Kelompok ini menentang perjanjian Arusha tahun 1993 yang menghentikan perang sipil antara RPF dengan pemerintahan Hutu di bawah presiden Habyarimana. Perencanaannya dimulai dengan berdirinya RTLMC (Radio-Television Libre des Mille Collines), penyusunan daftar orang-orang yang disebut sebagai “musuh negara” dan impor sejumlah besar senjata. RTLMC menyebarkan kebencian terhadap Tutsi, setiap pagi saat Genosida terjadi, daftar orang-orang yang harus dibunuh disiarkan. Sebelumnya Akazu membentuk milisi sipil reaksioner bernama Interhamwe di seluruh negeri dan mendistribusikan persenjataan, dengan dalih inisiatif pertahanan keamanan. Setiap kelompok milisi diajarkan bagaimana menggunakan senjata, menggerebek dan menggiring sekelompok orang ke tempat tertentu. Pada akhir 1993, seluruh individu Tutsi didata dan diwajibkan membawa kartu tanda penduduk khusus Tutsi.

Genosida tidak dilakukan sembunyi-sembunyi tapi terbuka di jalanan dan gedung-gedung publik dengan tongkat, pisau dan golok, kadang juga dengan senjata api. Gereja, sekolah bahkan rumah sakit dimana orang-orang berkumpul dan menganggapnya aman menjadi tempat pembantaian, ratusan mungkin ribuan orang dibakar hidup-hidup. Tetangga saling membunuh, suami membunuh istrinya, dokter, perawat, pendeta, suster dan guru terlibat dalam genosida, termasuk terhadap rekannya yang Tutsi. Perempuan Tutsi dan anak hasil perkawinan campur dibunuh oleh suami dan ayah mereka.

Di daerah perkotaan, untuk mengidentifikasi Tutsi maka tentara dan milisi sipil reaksioner mendirikan pos-pos penjagaan. Setiap orang yang melewatinya diperiksa kartu tanda penduduknya, jika diketahui Tutsi langsung dibunuh. Di daerah pedesaan, keluarga Hutu dan Tutsi hidup berdampingan, lebih mudah untuk mengidentifikasi sasaran Tutsi. Banyak juga Hutu dibunuh, entah karena bersimpati terhadap Tutsi, jurnalis atau penampilannya seperti Tutsi. Di beberapa daerah, pembantaian berhenti lebih cepat karena hampir semua Tutsi sudah dibunuh.

Perempuan Tutsi dipropagandakan binal, perkosaan dilakukan secara sistematis. Banyak diantara para penyintas terinfeksi HIV, milisi sipil reaksioner Hutu melepaskan ratusan pasien penderita AIDS dari rumah sakit dan kemudian membentuk “pasukan pemerkosa”. Perempuan Tutsi juga menjadi sasaran untuk dihancurkan kemampuan reproduksinya, mutilasi seksual terjadi setelah perkosaan. Laki-laki juga menjadi korban kekerasan seksual, termasuk mutilasi alat kelamin secara publik. Diperkirakan 250 ribu hingga 500 ribu perempuan diperkosa dan terdapat 400 ribu yatim piatu .

Kenapa kekejian Genosida Rwanda terjadi? Negara-negara Imperialis dengan media massanya selalu menutupi perannya. New York Time menggambarkan Genosida Rwanda sebagai kekerasan antar suku yang tidak masuk akal. Namun ide bahwa Afrika adalah benua dimana berbagai suku saling bersaing dan siap perang antar suku adalah mitos rasis yang diciptakan Imperialisme-Kolonialisme.

Sebelum kolonialisme, Rwanda adalah masyarakat yang berdasarkan atas ternak (sistem “ubuhake”), dimana petani yang memiliki ternak “meminjamkan” ternaknya ke orang lain sebagai ganti kerja dan loyalitas, dan atau diberikan akses ke tanah untuk menggembalakan ternak. Untuk mereka yang lebih miskin terdapat “ubureetwa”, yaitu pemberian hak menggunakan tanah sebagai ganti kerja yang tidak dibayar dan “akaze, yaitu kerja yang tidak dibayar. “Tutsi” adalah istilah longgar untuk mereka yang memiliki ternak sementara “Hutu” adalah mereka yang tidak memilikinya.

Dikotomi Hutu, Tutsi dan Twa (populasi masyarakat adat yang berburu dan meramu) diciptakan oleh pemerintahan kolonial Belgia saat sensus tahun 1933. Ini berhubungan dengan kepentingan kolonial untuk menarik pajak berdasarkan atas jumlah ternak. Mereka yang memiliki lebih dari 10 ternak wajib membayar pajak 10 Francs per ternak; mereka yang memiliki kurang dari 10 ternak membayar 5 Francs. Sebelum sensus tersebut tidak ada pembagian formal antara kelompok tersebut. Mereka menggunakan bahasa yang sama, agama yang sama, tersebar di berbagai kelas sosial dan memiliki budaya yang sama, pernikahan diantaranya juga cukup umum. Kolonialisme kemudian mendukung satu kelompok lebih daripada kelompok lainnya. Tutsi didukung sebelum akhir 1950an dan pascanya Hutu didukung. Pembagian tersebut kemudian menjadi penting di masyarakat Rwanda.

Bill Clinton, Presiden AS saat itu selalu mengatakan bahwa AS tidak bertindak dengan cepat setelah pembunuhan terjadi serta tidak menyebutkan dengan tepat sebagai Genosida. Nyatanya baik Amerika Serikat (AS), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun negara-negara Imperialis sudah mendapatkan laporan intelijen detail mengenai persiapan militer Rwanda untuk melakukan Genosida serta apa yang terjadi saat Genosida. Pemerintahan Clinton, melalui Duta Besar AS untuk PBB, Madeleine Albright, menekan negara-negara lain untuk menarik pasukan penjaga perdamaian PBB dan menolak bantuan yang lebih besar. Pemerintah Inggris Raya dan AS sendiri terus menerus mengatakan bahwa apa yang terjadi adalah konflik etnis minor dan tidak perlu melakukan apapun, bahkan tidak perlu mengutuknya.

Jenderal Romeo Dallaire, pimpinan misi perdamaian UNAMIR (United Nations Assistance Mission for Rwanda) pada awal Genosida meminta pasukan UNAMIR ditambah, diperkuat serta meminta ijin untuk melindungi Tutsi yang lari ke kamp PBB. Namun permintaan tersebut ditolak oleh Inggris Raya dan AS, pasukan PBB kemudian ditarik oleh negara-negara yang mengirimkannya.

Koran Afrika Selatan, Mail Guardian, melaporkan bahwa pada Januari 1994, United Nations Department of Peacekeeping Operation diperingatkan oleh unit militernya sendiri di Rwanda. Terkait pelatihan dan perencanaan untuk membunuh Tutsi dengan tingkat pembunuhan 1.000 orang setiap 20 menit sudah selesai. Tidak ada tindakan diambil oleh PBB, kepala Departemen tersebut kemudian menjadi SekJen PBB, Kofi Annan. Persenjataan yang dibeli oleh pemerintah Rwanda antara lain berasal dari Mesir, termasuk yang dibeli saat Boutros Boutros Ghali (Sekretaris Jenderal PBB, 1992-97) menjadi Menteri Luar Negeri Mesir.

Perancis juga memberikan bantuan dan pelatihan militer. Sebulan setelah Genosida dimulai, Perancis masih mensuplai persenjataan ke pemerintah Rwanda. Memang Perancis sejak 1990 mempersenjatai dan mengorganisir militer Rwanda di bawah Presiden Habyarimana.

Pasca penembakan pesawat Presiden Rwanda, Perancis mempersiapkan Operasi Amaryllis untuk mengevakuasi penduduk sipil Eropa. Namun mereka menolak mengevakuasi pegawai Tutsi di Kedutaan Besar Perancis, yang kemudian dibantai. Setelahnya Operasi Turquoise dilancarkan, operasi militer yang secara resmi bertujuan untuk mengevakuasi ekspatriat Perancis. Namun secara tidak resmi memindahkan pemimpin pemerintahan dan militer Rwanda ke Perancis serta melindungi Interhamwe dengan mencegah pergerakan RPF dari Uganda yang berupaya menghentikan Genosida. Interhamwe dapat terus melakukan pembantaian di bawah perlindungan Perancis. Ketika Interahamwe dikalahkan oleh RPF, tentara Perancis melindungi mereka sehingga dapat lari ke Zaire.

Saat Genosida, Bank Dunia (WB) dan International Monetary Fund (IMF) sedang menerapkan program penyesuaian struktural sebagai syarat hutang. Perwakilan WB secara reguler mengunjungi Kigali tahun 1993 namun mereka tidak melakukan protes bahwa hutang yang diberikan digunakan untuk membeli persenjataan.

Ditulis oleh Rai Sander, Kader Perserikatan Sosialis dan Anggota Lingkar Studi Kerakyatan

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 63, I-II April 2019, dengan judul yang sama.

Loading

Comment here