Lahir pada 31 Maret 1872 dari keluarga ningrat kaya berlatar belakang Finlandia, Ukraina, dan Rusia, Alexandra Kollontai besar di Rusia dan kemudian menjadi Marxis revolusioner serta pejuang pembebasan perempuan. Kollontai memainkan peran utama mendorong gerakan sosialis Rusia untuk mengorganisir para pekerja, diantaranya para pekerja perempuan, mengorganisir massa gerakan perempuan buruh dan tani.
Pada tahun 1896, Alexandra Kollontai melihat wajah penghisapan dari perkembangan industri kapitalis untuk pertama kalinya dalam sistem kerja upahan. Saat itu pekerjaan para buruh dipisahkan menurut jenis kelamin. Umumnya buruh perempuan ditempatkan di industri tekstil, manufaktur, dan layanan-layanan domestik lainnya dimana kondisi-kondisinya sangat parah dan menyengsarakan. Mereka banyak yang sakit dan meninggal. Namun di satu sisi, serikat-serikat buruh tengah mengalami perkembangannya dan di sisi yang lain berangkat dari kondisi objektif, perlawanan-perlawanan pekerja mulai terjadi, termasuk perlawanan dari pekerja perempuan yang tidak bergabung dalam serikat.
Atas dasar penindasan akut yang dialami oleh buruh di ruang-ruang kerja, belakangan tahun itu Kollontai menjadi aktif dalam melakukan propaganda-propaganda melalui selebaran dan penggalangan dana untuk mendukung pemogokan buruh tekstil yang pada akhirnya mengguncang Petersburg. Kollontai terus mempertahankan hubungannya dengan para pekerja perempuan di St. Petersburg. Dia adalah tokoh utama dalam gerakan sosialis Rusia sejak pergantian abad dan perang saudara.
Pemogokan umum di St. Petersburg tahun 1886 tampaknya merupakan sebuah perjuangan yang murni berhubungan dengan ekonomi, yakni persoalan upah, disisi yang lain adalah kondisi kerja para pemintal dan penenun di St. Petersburg yang sangat teraniaya oleh sistem kerja upahan yang menghisap, jam kerja diatas dua belas jam sehari, upah bayaran kerja yang sangat rendah, dan berbagai penipuan yang dilakukan oleh majikan. Sejarah periode perjuangan massal yang dimulai dari pemogokan-pemogokan di St. Petersburg, bermakna penting. Karena pemogokan itu menjadi benih dari semua pemogokan-pemogokan yang terjadi setelahnya.
Awalnya Kollontai tidak berpihak pada Bolshevik ataupun Menshevik dalam perpecahan di tahun 1903. Namun di tahun 1904, ia bekerjasama dengan faksi Bolshevik dan mengadakan kelas-kelas Marxisme. Tahun 1905 hingga 1908, Kollontai memimpin kampanye serta mengorganisir para pekerja perempuan Rusia untuk memperjuangkan kepentingannya melawan majikan, mengkritik bahkan menentang kaum Feminis Borjuis yang selalu menganggap akar dari penindasan mereka adalah kaum laki-laki serta memisahkan perjuangan sektor buruh perempuan dengan yang lainnya, melawan konservatisme dan sauvinisme laki-laki (yaitu prasangka seolah laki-laki lebih unggul daripada perempuan) dari organisasi sosialis. Melalui intervensi pada pertemuan Serikat Liberal, pemogokan dan protes kemudian menjadi hal utama di gerakan massa.
Kollontai memelopori menganalisis penindasan perempuan dengan perspektif Marxis. Ia banyak menjelaskan situasi perempuan di awal-awal revolusi dan mengembangkannya. Di seluruh penjuru Eropa, Amerika, Inggris serta di Australia kaum perempuan dari seluruh lapisan sosial juga berjuang dan berkampanye menuntut hak suara dan hak pilih. Kaum sosialis seperti Kollontai dan Clara Zetkin mendukung serta memperjuangkan poin itu untuk diterima sebagai bagian penting dan tak terpisahkan dari program Sosialis.
Saat Perang Dunia I pecah tahun 1914, Kollontai dengan keras menentang perang ini. Baginya perang ini hanyalah rebutan jajahan dan jarahan dengan mengorbankan kelas buruh yang mereka paksa wajib militer serta membunuhi satu sama lain demi kepentingan para imperialis. Bukan hanya menentang kaum demokrat sosial terutama Sozialdemokratische Partei Deutschlands (SPD) atau Partai Demokrat Sosial Jerman. Namun juga pecah sepenuhnya dengan kaum Menshevik. Sebagian kritik ini dituangkannya November 1914 lewat pamflet: “Perang dan Tugas-Tugas Mendesak Kita.” Lewatnya Kollontai dengan tajam memblejeti di balik omong-kosong pembelaan tanah air ada kapitalis yang meraup untung dengan bisnis militer dan imperialis yang haus penjarahan dan penjajahan.
Kollontai berkeliling Eropa serta juga ke Amerika Serikat (AS) menentang perang imperialis ini. Ia diburu aparat dan sempat dipenjara di Swedia. Dalam turnya, Kollontai lantang mengemukakan kaum perempuan pekerja turut dirugikan dan disengsarakan oleh perang ini. Saat anak laki-laki dan atau suaminya dipaksa menyabung nyawa di medan perang, para laki-laki borjuis bebas mangkir dari wajib militer.
Lewat tulisan “Siapa yang Butuh Perang?” tahun 1915 Kollontai menulis: …Kaum perempuan sengsara. Wajahnya cekung dan perutnya kelaparan, lelah menangis. Para pahlawan-cacat berkeliaran di desa, sebagian punya satu medali, sebagian punya dua. Satu-satunya ‘penghormatan’ yang didapatkan para pahlawan ini adalah mendengar keluarganya sendiri menyalahkannya karena menghabiskan jatah roti yang sudah sedikit dan dibatasi ransum…sejak kapan rakyat pekerja punya waktu dan kemewahan untuk merawat yang cacat karena perang? Setiap orang punya kesulitan dan keresahannya sendiri. Terlebih lagi zaman makin sulit. Hari belum berganti tapi biaya hidup sudah naik. Perang memperparah ini semua. Anak-anak jatuh sakit; perang selalu membawa serta wabah, infeksi. Kaum istri harus mengerjakan ribuan hal bersamaan. Sudah harus memburuh untuk dirinya sendiri, ia pun juga harus memburuh untuk sang “pencari nafkah.” Uang pensiun dari Tsar pun tak akan cukup untuk membeli sebelah sepatu untuk kaki suami yang tinggal sebelah.
Sementara itu kaum feminis-liberal seperti Emmeline Pankhurst dan Christabel Pankhurst menyerukan penghentian perjuangan perempuan demi mendukung Britania di PD I. Sejak awal Kollontai mengkritik keras serta memblejeti kemunafikan feminis borjuis ini yang malah mendukung perang imperialis dan mengkhianati kaum perempuan pekerja. Namun ia sudah memperingatkan dan memperkirakan jauh-jauh hari bahwasanya perempuan borjuis akan berpihak pada penindas yang berkuasa pada saat menentukan. Terutama lewat tulisannya “Basis Sosial Persoalan Kaum Perempuan” yang ditulisnya lima tahun sebelum PD I.
Kollontai segera kembali ke Rusia setelah Revolusi Februari. Ia yang pertama kali mendukung Tesis April yang dikeluarkan Lenin mengenai pentingnya perebutan kekuasaan untuk Soviet di saat banyak kaum kiri masih mendukung Pemerintahan Sementara yang ingin meneruskan PD I. Selama sisa 1917, Kollontai adalah agitator tetap untuk revolusi Rusia sebagai penulis makalah perempuan Bolshevik. Termasuk duduk di Komite Eksekutif Soviet Petrograd. Bersama aktivis perempuan lainnya ia meningkatkan pengorganisasian pekerja perempuan serta membantu memimpin pemogokan pekerja di seluruh wilayah di Petrograd. Sehari setelah revolusi Oktober, Kollontai dipilih jadi Komisar Rakyat untuk Kesejahteraan Sosial di Dewan-Dewan Komisar Rakyat (Sovnarkom). Komisar perempuan pertama.
Meskipun bergelut dengan sakit jantung, ginjal, dan tifus, sepanjang tahun 1919 Kollontai sibuk dengan pertemuan, pidato, dan penulisan yang melelahkan. Bahkan bersama Inessa Armand, Kollontai mendirikan Departemen Perempuan Sekretariat Komite Sentral Partai Komunis Se-Rusia atau disebut Zhenotdel yang didekasikan untuk urusan kaum perempuan di tahun 1920an. Zhenotdel mendorong peningkatan hajat hidup kaum perempuan di seluruh wilayah disebut Uni Soviet. Termasuk pemberantasan buta huruf dan mendidik perempuan mengenai hukum pernikahan baru, pendidikan, dan perburuhan yang diterapkan Partai Komunis Uni Soviet. Bahkan di Soviet Asia Tengah Zhenotdel juga jadi ujung tombak upaya peningkatan hajat hidup Muslimah melalui kampanye literasi, pendidikan, dan hak-hak busana perempuan (termasuk hak-hak untuk melepas cadar). Ditambah lagi, Zhenotdel juga memperjuangkan hak-hak reproduksi kaum perempuan. Termasuk hak aborsi yang kemudian dilegalisasi dan difasilitasi pemerintah tahun 1920. Dalam Kongres Soviet 8 Desember di seluruh Rusia ia terpilih jadi anggota Komite Eksekutif dan akhir 1922 ia bekerja sebagai Diplomat perempuan pertama.
Sayangnya dengan meningkatnya birokratisasi Uni Soviet akibat kegagalan revolusi-revolusi di negara-negara maju dan kepungan imperialisme, banyak capaian perempuan yang dipukul mundur. Rezim kediktatoran birokrat Stalin membubarkan Zhenotdel, mengilegalkan aborsi, pembedaan antara anak di dalam dan di luar nikah dikembalikan, dan perceraian dipersulit. Meskipun Alexandra Kollontai kalah dan menyerah dalam pertarungan itu namun legasi/warisannya masih berharga untuk dipelajari bagi perjuangan pembebasan perempuan kini.
Ditulis oleh Aleyndra Daud, Kader Perserikatan Sosialis dan Anggota Lingkar Studi Kerakyatan
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 62, III-IV Maret 2019, dengan judul yang sama.
Comment here