Corona, telah ditetapkan sebagai pandemik pada Maret 2020 oleh Organisasi Kesehatan Dunia. Corona, atau yang disebut (Corona Virus Disease) COVID-19 merupakan singkatan dari kata ‘corona’, ‘virus’, dan ‘disease’. Angka 19 yang ada di belakangnya mewakili tahun 2019 saat virus itu pertama kali diidentifikasi. Covid-19 diketahui dapat dengan mudah menyebar melalui tetesan/ percikan cairan dari batuk atau bersin penderitanya. Virus ini mengakses sel inang melalui enzim pengonversi angiotensin 2 (ACE2). ACE2 ditemukan di berbagai organ tubuh, tetapi paling banyak terdapat di sel-sel alveolar tipe II paru-paru. Corona menyebabkan sindrom pernafasan akut yang parah. Orang yang tertular biasanya mengalami gejala ringan dan berat, diantaranya demam, batuk kering, kelelahan, dan sesak napas. Sakit tenggorokan, pilek, atau bersin. Sedangkan beberapa dapat berkembang menjadi pneumonia dan kegagalan multi-organ yang mengakibatkan penderita meninggal.
Setiap harinya jumlah korban yang terinfeksi maupun meninggal diberbagai negara terus meningkat. Jumlah korban virus ini telah dikonfirmasi, yaitu sebanyak 113.582 infeksi dengan 3.996 kematian yang terjadi. Sementara, jumlah pasien sembuh telah mencapai 62.512 atau sekitar 55,04 persen dari seluruh jumlah kasus yang dikonfirmasi (10/3). Adapun lima negara dengan jumlah kasus terbanyak sejauh ini adalah Italia, Tiongkok, Korea Selatan, Iran, dan Perancis. Di Indonesia, pada Minggu (15/3) mengumumkan 117 kasus. Virus ini telah ke 152 negara seperti Tiongkok, Indonesia, Australia, Belgia, Kamboja, Kanada, Finlandia, Prancis, Jerman, India, Italia, Jepang, Malaysia, Nepal, Filipina, Rusia, Singapura, Korea Selatan, Spanyol, Sri Lanka, Swedia, Taiwan, Thailand, Uni Emirat Arab, Inggris, AS, dan Vietnam.
Ancaman virus Corona ini digunakan oleh kelas borjuis untuk memperkuat pengaruhnya lewat ide-ide reaksioner, mistis, anti-keilmiahan serta rasis. Trump mengatakan Corona adalah “hoax” yang digunakan oleh lawan politik untuk menyerangnya. Menurutnya, orang dapat sembuh dengan duduk-duduk dan bahkan berangkat kerja. Trump kemudian mendeklarasikan Hari Berdoa Nasional setelah deklarasi darurat nasional pada 15 Maret.
Wakil Presiden, Ma’aruf Amin, menyebutkan perlunya sertifikasi bebas Corona. Ini tentu saja ide yang sangat bagus (sic), mengingat besarnya dana yang didapatkan MUI dari sertifikasi halal. Dana yang tidak jelas transparansi dan pengelolaannya. Cara lain untuk mengatasi Corona adalah peran besar ulama yang membaca doa qunut. Ditambahkan dengan meminum susu kuda liar maka Corona akan hilang, menurutnya setelah mendapatkan “bisikan” dari Gubernur NTB, Zulkieflimansyah. MUI tentunya tidak mau ketinggalan, wudu, perbanyak doa ditambah baca qunut adalah resep MUI. Sementara itu Ustad Abdul Somad mengatakan bahwa virus Corona adalah “tentra Allah” yang datang untuk menolong Muslim Uighur. Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo menggaungkan gerakan memakmurkan masjid dan salat berjemaah di tengah pandemik Corona.
Kumpulan-kumpulan massa untuk yang tidak berguna untuk rakyat dan mengembangkan mistisisme serta anti-keilmiahan sepeti Tabligh Ijtima Dunia 2020 di Gowa yang melibatkan ribuan orang dibiarkan. Sementara dengan dalih Corona, aksi buruh AICE diminta untuk bubar juga aksi solidaritas bagi-bagi masker dan handsanitiser di Jakata.
Demikian juga rasisme yang dialami oleh orang Tiongkok di luar negari, bahkan orang Asian juga turut menjadi korban sentiment rasis. Virus Corona dijuluki dengan Virus Tiongkok. Terdapat toko-toko serta restoran yang membuat tanda bahwa orang Tiongkok tidak boleh masuk. Jonathan Mok seorang mahasiswa asal Singapura yang menjadi korban perundungan (bully) yang dikaitkan dengan penyebaran virus corona di London, Di pusat perbelanjaan di London Mereka memukuli Mok di tengah meningkatnya ketakutan terhadap orang asing (xenophobia) di Inggris dan seluruh dunia.
Ekonomi dunia kemudian bergejolak karena serangan virus ini, yang sebelumnya terjadi perang dagang yang sengit antara Tiongkok dan Amerika. Kapitalisme global sedang menatap kehancuran pasar saham yang membuat Trump sangat kesal, karena kerugian triliunan Dolar AS dalam lima hari terakhir. Banyak bursa telah melihat semua keuntungan mereka pada tahun 2020 musnah. Situasi ekonomi riil berpotensi jauh lebih buruk. Pariwisata adalah faktor utama dalam PDB global – sudah maskapai dunia memproyeksikan kerugian sebesar $ 30 miliar tahun ini dan akan terus berlanjut.
Pada kenyataannya, gangguan terhadap perdagangan global yang terjadi menempatkan jutaan pekerjaan dalam bahaya, tidak hanya di AS, tetapi di seluruh dunia. Seperti yang dikatakan Ketua Federal Reserve AS Jerome Powell: “Ekonomi Tiongkok sangat penting dalam ekonomi global sekarang, dan ketika ekonomi Tiongkok melambat, kami merasakannya.” Ekonomi Tiongkok berada di urutan kedua setelah AS, dengan produk domestik bruto hampir $ 14,55 triliun pada 2019, yang merupakan 16,38 persen dari ekonomi global. Ekspor global Tiongkok bernilai $ 2,5 triliun pada tahun 2018, menurut Bank Dunia.
Michael Robert dalam It Was The Virus That Did It mengatakan pandemik Corona akan mengguncang ekonomi global lebih buruk dari yang sebelumnya pernah terjadi. Namun resesi yang akan terjadi bukanlah disebabkan oleh Corona, melainkan gerak kapitalisme itu sendiri. Pandemik Corona menjadi palu yang membongkar kebusukan kapitalisme.
Bahkan sebelum pandemik ini, ekonomi kapitalis utama di negara maju ataupun berkembang telah melambat hingga berhenti. Beberapa mengalami kontraksi di output nasional dan investasi dan banyak yang berada di tepi jurang. Selain itu profitabilitas kapital rendah dan keuntungan global paling baik dalam kondisi statis. Perdagangan dan investasi global dalam kondisi menurun bukan meningkat. Harga minyak dunia menurun bukan meningkat dan imbas pandemik pertama kali terjadi di rantai suplai bukan di pasar finansial yang tidak stabil. Pandemik ini mengakibatkan gangguan pada produksi, perdagangan dan investasi yang kemudian mengakibatkan pendapatan menurun dan daya beli runtuh. Kita akan melihat resesi besar dalam waktu-waktu kedepan.
Beberapa negara seperti Inggris Raya dan Swedia menggunakan pendekatan kekebalan komunitas/ herd immunity yang berbeda dengan membiarkan virus menentukan nasib jutaan orang dengan harapan mereka yang terjangkiti virus akan mendapatkan kekebalan. Penasehat ilmiah utama Inggris Raya, Sir Patrick Vallance, mengatakan sekitar 40 juta orang di Inggris harus terjangkiti Corona untuk mendapatkan kekebalan komunitas dan mencegah kembalinya penyakit tersebut di masa depan. Mereka percaya bahwa orang-orang yang sudah terlalu tua atau sakit akan mati karena Corona sehingga tidak ada gunanya menghabiskan sumber daya nasional merawat mereka. Demikian pula maka lockdown tidak ada gunanya karena akan mengganggu ekonomi (dan keuntungan) serta toh mereka akan mati juga. Sementara AS tidak memiliki pendekatan apapun, hanya menunggu hingga orang-orang menjadi sakit dan kemudian diurus kasus-kasus yang parah. Ini bisa dikatakan pendekatan Malthusian, ekonomi klasik paling reaksioner pada awal abad 19. Pandangannya adalah terlalu banyak orang-orang “tidak produktif” di dunia ini jadi pandemik ataupun bencana reguler dibutuhkan untuk menyingkirkan mereka dan membuat ekonomi semakin produktif.
Alasan kenapa pemerintah AS dan Inggris Raya belum mengambil langkah-langkah tegas karena itu akan melemahkan ekonomi. Menerapkan lockdown serta social distancing membutuhkan penutupan sekolah, universitas dan produksi non-esensial serta meminta mayoritas rakyat pekerja untuk tinggal di rumah. Ini akan mengganggu produktivitas dan pada analisa terakhir kebijakan kesehatan publik terbaik akan mengakibatkan ekonomi berhenti dan produksi serta perdagangan berhenti. Diperkirakan lockdown selama satu bulan akan menurunkan 50 persen aktivitas ekonomi dan 25 persen untuk bulan berikutnya. Dalam situasi resesi beberapa tahun lalu, ekonomi AS kehilangan 800 ribu pekerjaan perbulan dan angka pengangguran sekitar 10 persen. Corona bisa menciptakan situasi dimana dalam waktu singkat, 50 persen atau lebih rakyat pekerja tidak akan bekerja.
Dalam upaya menangani pandemik Corona, Tiongkok melibatkan lebih dari 20 ribu buruh medis dari seluruh Tiongkok, membangun rumah sakit khusus dalam hitungan hari. Jaminan listrik bagi seluruh penduduk Hubei yang dikarantina. Demikian juga dengan pasokan bahan utama seperti gandum, daging dan telur. Aplikasi smartphone dikembangkan dan diurus oleh 2 ribu dokter yang memberikan konsultasi online gratis mengenai pandemik Corona.
Sementara itu di Vietnam setelah menemukan 6 kasus, segera menyatakan keadaan darurat. Sekitar 10 ribu penduduk Son Loi mengalami lockdown selama 20 hari. Petunjuk-petunjuk di buat di bebagai tempat publik mengingatkan untuk mencuci tangan dan langkah pencegahan lainnya. Pemerintah mengingkatkan uji coba di laboratorium, memastikan pencegahan serta kontrol infeksi dan manajemen kasus di fasilitas kesehatan, serta kerjasama berbagai sektor dijalankan. Pemerintah juga mengeluarkan pernyataan detail dan transparan mengenai gejala serta membantu orang tua yang anaknya menjadi korban. Paling penting dalam penangannya adalah sistem kesehatan Vietnam gratis.
Korea Selatan menjalankan tes massal gratis dan penggunaan teknologi. Dalam sehari 15 ribu tes bisa dilakukan dan total jumlah tes mencapai 200 ribu. Dengan begitu maka pasien dapat segera diidentifikasi dan efek berbahaya bisa dicegah. Sementara itu Spanyol mengambilalih jasa kesehatan swasta dan fasilitas mereka. Mahasiswa kedokteran tingkat keempat juga dimobilisasi.
Kuba menyatakan bahwa molekul Interferon Alpha 2B telah berhasil digunakan untuk memerangi pandemik Corona di Tiongkok dan lain sebagainya. Interferon telah dibuat Kuba selama 40 tahun dan berguna untuk mencegah terjadinya komplikasi orang yang terinfeksi virus. Kuba juga sudah menyatakan akan memproduksi massal Interferon dan siap terlibat dalam solidaritas dengan negara-negara lain.
Solidaritas itu juga sudah ditunjukan Kuba dengan bersedia menerima kapal pesiar Inggris, MS Braemer. Sementara AS menolak permintaan pertolongan dari diplomat Inggris. Kapal dengan total 600 penumpang tersebut terkonfirmasi 5 kasus Corona dan 52 orang memiliki gejala Corona.
Menurut Oxam, meningkatkan, sedikit saja, pajak untuk 1 persen orang paling kaya di dunia akan cukup untuk mendanai 117 juta pekerjaan di sektor kesehatan.
Pandemik Corona ini, bahkan bencana sekalipun, tidaklah menunjukan bahwa “uang tidak bisa dimakan”. Bencana justru menjadi ladang akumulasi modal bagi kelas borjuis. Mereka yang berkuasa dan kaya raya dapat meminimalisir segala resiko dan membebankan semuanya ke pundak kelas buruh dan rakyat pekerja.
Penasehat ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow mendorong investor untuk berebut keuntungan dari pasar saham yang tergoncang. Jurnalis Konservatif Inggris, Jeremy Warner, mengatakan bahwa Corona yang terutama membunuh lansia, dalam jangka panjang akan menguntungkan secara ekonomi. Sementara Airlangga, Menteri Perdagangan, menghubungkan Corona yang belum masuk ke Indonesia dengan perijinan yang berbelit-belit.
AS dan Jerman sedang bertarung memperebutkan vaksi Corona yang sedang dikerjakan oleh perusahaan Jerman, CureVac. Trump menawarkan sejumlah besar uang agar mendapatkan hak eksklusif HANYA UNTUK AS atas vaksin tersebut. Monopoli terhadap obat bagi pandemik yang dibutuhkan oleh ratusan juta orang tentunya sangat menguntungkan.
Pada 10 Maret, setelah bertemu dengan eksekutif Goldman Sachs, Bank of America, JP Morgan Chase, Wells Fargo dan Citigroup di Gedung Putih, Trump menawarkan ide memotong pajak untuk mereka sebesar 700 miliar USD. Ini tambahan dari triliunan dollar potongan pajak yang disahkan pada 2017.
Indonesia tidak kalah sigap. Pengusaha di 12 sektor industri diberikan izin untuk menunda bayar pajak, diperkirakan ada sekitar 12 triliun rupiah yang terpengaruh. Jokowi-Ma’aruf juga berencana memberikan subsidi bagi para pemilik maskapai penerbangan. Usulan Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi tersebut, menurutnya sudah disetujui Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Avtur-pun akan diberikan subsidi termasuk perubahan rute penerbangan domestik untuk memudahkan maskapai menguasai rute-rute “gemuk”. Jika ada yang mengatakan bahwa kalau perusahaan sehat maka buruhnya juga akan sehat, sebaiknya berkaca pada kopilot Wings Air yang bunuh diri karena terikat kontrak kerja selama 18 tahun kemudian di PHK dan didenda 7 miliar pada 18 November 2019 lalu.
Ketika Corona pertama kali merebak, Jokowi-Ma’aruf gembira dengan kesempatan yang ada. Jokowi menyatakan ingin Corona bisa dimanfaatkan Indonesia dalam bidang ekonomi dan pariwisata. Ia ingin agar Indonesia bisa mengambil pasar produk yang sebelumnya impor dari Tiongkok termasuk menjadikan Indonesia tempat wisata bagi turis yang batal ke Tiongkok.
Ditengah kelangkaan dan melonjaknya harga masker serta antiseptik, BUMN PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) justru melakukan ekspor masker. BPS mengeluarkan data ekspor masker melonjak tajam hingga 34 kali lipat dari 2,1 juta USD menjadi 75 juta USD dari Januari ke Februari 2020, padahal kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi. Saat ini produksi masker tersendat karena kelangkaan bahan baku. Ekspor antiseptik, bahan baku masker, alat pelindung diri dan masker sendiri baru dihentikan pada Rabu (18/3) lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomer 23 Tahun 2020.
Jokowi-Ma’aruf justru memberikan subsidi ke 10 destinasi wisata yang sebelumnya ramai didatangi wisatawan asing. supaya daerah-daerah seperti Bali, Yogjakarta, Sulawesi Utara, Bintan, Tanjung Pinang dan lainnya yang didatangi turis-turis dari Tiongkok diganti dengan turis lokal. Bahkan juga memberikan insentif kepada travel agent dari Eropa untuk membawa turis ke Indonesia. Selain itu ada dana 72 miliar untuk buzzer pariwisata. Di bandarapun pemerintah nampak tidak serius dalam menangani dan mewaspadai virus Corona. Hal itu terlihat bagaimana para penumpang hanya diperiksa melalui suhu badan yang dianggap terjangkit virus.
Inggris, Australia, AS dan berbagai negara lainnya, termasuk Indonesia kewalahan dalam menangani pandemik Corona. Ini tidak terlepas dari bertahun-tahun kebijakan neoliberal, mengabaikan kesehatan publik serta fokus pada kepentingan akumulasi modal dan menjaganya.
Amerika Serikat yang merupakan negara kapitalis maju justru menghabiskan sumber dayanya untuk menumpuk dan memperbarui senjata nuklirnya sebesar 1,7 triliun USD. Sistem kesehatan AS diperkirakan tidak memiliki cukup tempat tidur, masker serta ventilator untuk prediksi jumlah pasien yang akan merebak di minggu-minggu depan. Trump didesak untuk mengaktifkan Defense Production Act (DPA) yang memungkinkan presiden untuk menggunakan bahkan memaksa industri (termasuk rumah sakit, laboratorium, klinik swasta) untuk memproduksi apa yang dibutuhkan untuk pertahanan nasionao.
Di Indonesia sejak lama anggaran kesehatan berada di bawah anggaran pertahanan, kepolisian dan kementerian agama. Artinya fokus dari kelas berkuasa bukanlah pada kesehatan publik, melainkan pertahanan dan keamanan (modal) serta kementerian agama untuk mengilusi rakyat yang ditindas oleh modal. Kesehatan menjadi menjadi tanggung jawab individu lewat BPJS.
Penanganan Corona juga menunjukan hal itu. Jokowi-Ma’aruf awalnya berupaya untuk menutup-nutupi ataupun meremehkan pandemik Corona. Menteri Kesehatan, Terawan berulang kali meremehkan pandemik Corona dan anti keilmiahan. Dia mengatakan bahwa Indonesia belum terdeteksi Corona karena doa dan menegaskan jangan meremehkan kekuatan doa. Terawan juga mengatakan bahwa Corona dapat sembuh dengan sendirinya dan lebih berbahaya flu dan pilek.
Kementerian Kesehatan hanya diberikan tambahan sekitar 1 triliun. Lebih tepatnya “Diperkirakan mendekati Rp 1 triliun. Kami sudah sediakan buat Kemenkes”, ungkap Sri Mulyani. Hingga 18 Maret, rencana memesan 500 ribu alat rapid tes Corona dari Tiongkok belum mendapatkan ijin dari Kementerian Kesehatan. Alih-alih melibatkan lebih banyak dokter, perawat, ahli medis dan ahli-ahli terkait justru militer, polisi dan BIN memegang posisi utama penanganan Corona. Namun ada keberatan diajukan: militer memiliki personil terlatih yang bisa dimobilisir mengatasi Corona. Justru disitu poinnya, selain pertanyaan terlatih untuk apa? Keberatan tersebut justru menunjukan bahwa selama ini kelas borjuis lebih mengutamakan memperbanyak dan melatih personil militer. Ketimbang memperbanyak rumah sakit dan klinik serta melatih dan menyejahterakan dokter, perawat, bidan, dsb.
Mereka yang kaya raya dapat menumpuk masker dan hand sanitiser, untuk menjualnya kembali dengan keuntungan luar biasa. Namun bukan itu saja, mereka juga mulai terbang menggunakan jet-jet pribadi mereka untuk mengisolasi dirinya sendiri. Mereka pergi ke rumah-rumah peristirahatan atau bunker khusus mereka. The Guardian dalam tulisan berjudul Super-rich jet off to disaster bunkers amid coronavirus outbreak menuliskan bahwa orang-orang kaya raya tersebut bahkan membawa dokter serta perawat pribadi mereka. Si miskin kebingungan apakah akan tes Corona atau tidak, karena biaya yang cukup mahal. Belum lagi resiko tertular saat mengantri panjang di rumah sakit untuk tes. Namun orang-orang kaya raya tersebut mengepung klinik-klinik swasta di Jalan Harley, London dan berbagai tempat lainnya untuk tes pribadi.
Sementara para tuan dan nyonya kaya raya bisa “berlibur” dari Corona, buruh dan rakyat pekerja adalah yang paling rawan terjangkiti dan diabaikan. Kelas buruh dipaksa untuk terus bekerja dan menghadapi resiko terjangkiti Corona. Sementara para pemilik modal enggan mengurangi keuntungan dengan melengkapi kantor dan pabrik dengan perlengkapan kesehatan yang cukup untuk mencegah penularan Corona. Ditambah beban harus merawat anak-anaknya ketika sekolah mereka diliburkan.
Puluhan jurnalis yang memiliki riwayat kontak dengan Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, yang positif Corona justru ditolak oleh RS Persahabatan. Sementara itu pasien dalam pengawasan justru ditelantarkan karena rumah sakit menolak menerima pasien Corona untuk mempertahankan citranya demi bisnis. Hal yang sama juga terjadi Australia dan Inggris Raya.
Buruh kantor pos di London melancarkan mogok spontan karena manajemen berdiam diri dan tidak menyediakan perlengkapan kesehatan. Hal yang sama juga dihadapi oleh buruh sektor publik. Saat ini buruh kereta bawah tanah London sedang berencana melancarkan pemogokan terkait isu tersebut. Sekitar 70 persen supir bis di Paris juga melancarkan mogok karena tidak adanya tindakan memadai untuk menghadang penyebaran Corona. Hal yang sama juga dilancarkan oleh buruh beberapa pabrik di utara Italia.
Whole Foods, perusahaan subsider Amazon, yang dimiliki oleh salah satu orang terkaya di dunia, Jeff Bezos, menerapkan kebijakan agar buruh memberikan cutinya kepada sesama buruh yang tidak bekerja karena Corona. Padahal perusahaan tersebut mampu memberikan cuti dengan tetap dibayar tanpa batasan waktu bagi seluruh buruhnya. CEO mereka sendiri mendapatkan keuntungan 15 juta USD dari saham, tunjangan, dsb.
Sekitar 8.500 buruh maskapai Virgin Atlantic, dimiliki oleh Richard Branson, diminta cuti 8 minggu tanpa bayaran. Jika cuti mereka dibayar, akan membutuhkan 34 juta Poundsterling, padahal kekayaan Richard Branson sebesar 4 miliar Poundsterling. Sementara itu Master Grocers Australia, yang mewakili supermarket independen dan toko-toko lainnya, meminta pembekuan upah buruh retail selama satu tahun.
Pabrik Mercedes-Benz di Spanyol ditutup oleh buruhnya. Ini karena ketika Spanyol lockdown, pengusaha justru memerintahkan para buruh untuk masuk ke pabrik Vitoria di Gasteiz. Di pabrik itu sendiri terjadi setidaknya satu kasus Corona dan 23 buruh dikarantina. Di Detroit, supir bis mendeklarasikan bahwa mereka akan melancarkan mogok kecuali ada langkah-langkah pencegahan Corona. Para buruh akhirnya memenangkan tuntutan mereka, termasuk transportasi bus akan digratiskan untuk penumpang selama krisis Corona.
Di Italia, per 14 Maret sebanyak 21.157 orang terinfeksi Corona dan 1.441 orang meninggal dunia. Namun, tidak ada satupun negara Uni Eropa yang membantu Italia dalam bentuk apapun. Bahkan ketika Italia sudah meminta bantuan tersebut melalui Union Civil Protection Mechanism dibawah Uni Eropa. Memang globalisasi sekedar bacot intelektual kampus di ruang-ruang kelas. Jangan kita lupakan juga blokade Imperialis AS dan Uni Eropa terhadap Kuba, Venezuela, Iran, Korea Utara serta perang mereka di Timur Tengah yang akan semakin menyulitkan rakyat di negara-negara tersebut menghadapi Corona.
Walaupun pandemik Corona terjadi, kelas berkuasa tidak menghentikan upaya eksploitasi dan penindasan terhadap kelas buruh dan rakyat pekerja. Kebijakan untuk mengurangi secara drastis pensiun di Perancis hanya ditunda. Demikian juga di Indonesia, tidak ada tanda-tanda Omnibus Law akan dibatalkan. Di Ecuador dengan alasan pandemik Corona yang menyebabkan krisis ekonomi, pemerintah akan mempercepat penerapan kebijakan pengetatan yang ditunda karena gelombang perlawanan rakyat pada Oktober tahun lalu. Di Irak dan Lebanon, aksi-aksi massa juga mulai dibatasi dengan alasan pandemik Corona. Perwakilan asosiasi pengusaha Swedia menggunakan alasan Corona untuk menekan kenaikan upah buruh.
“Cuci tanganmu”, “gunakan masker”, “mengisolasi diri sendiri”, “membuat hand sanitizer sendiri” dan semacamnya adalah nasehat yang bagus. Namun pandemik Corona tidak akan dapat diselesaikan secara individu. Kelas borjuis dapat bertahan diri dengan kekayaan dan kekuasaan individualnya, namun kelas buruh dan rakyat pekerja tidak dapat. Kita tidak dapat meremehkan pandemik Corona, kelas buruh dan rakyat pekerja yang akan paling besar menanggung bebannya. Kelas borjuis, para pejabat, jenderal serta tuan dan nyonya kaya raya itu, dengan semua kekayaan dan kekuasaan mereka akan dapat mengurangi dampak-dampak Corona. Mereka juga dapat meringankan bebannya, melemparkannya ke pundak kelas buruh dan rakyat pekerja sambil mendapatkan keuntungan dari pandemik Corona. Solidaritas kelas buruh dan rakyat pekerja harus diperkuat untuk mengerahkan seluruh sumber daya dalam menghadapi pandemik Corona.
Perjuangan mencegah penyebaran pandemik Corona tidak terlepas dari perjuangan untuk melawan kebijakan Jokowi-Ma’aruf yang menindas seperti Omnibus Law. Keduanya bagian dari upaya kita untuk membebaskan kelas buruh dan rakyat pekerja dari eksploitasi, penindasan dan penderitaan. Buruh dan rakyat pekerja bersatu hentikan proses produksi untuk mencegah penyebaran pandemik Corona dan menggagalkan Omnibus Law.
- Memerangi Corona:
- Produksi dan atau impor massal peralatan untuk memerangi Covid-19, seperti peralatan medis, alat tes dan perlengkapan keamanan (masker, ventilator, dsb) atau yang lainnya.
- Tes Covid-19 gratis dan massal.
- Kesehatan gratis, termasuk bagi pasien Corona.
- Memobilisasi seluruh serta memberikan perlengkapan perlindungan, pelatihan, istirahat dan upah di atas upah layak nasional bagi buruh medis, pemadam kebakaran, panti jompo, tempat penitipan anak, unit reaksi cepat dan pekerja rumah tangga.
- Mendirikan tempat-tempat sterilisasi publik.
- Pendanaan bagi panti jompo untuk memastikan kesehatan dan kondisi penghuninya.
- Pengambilalihan rumah sakit-rumah sakit, fasilitas produksi dan laboratorium penelitian swasta untuk digunakan secara publik membantu memerangi pandemik Corona.
- Transparansi informasi serta kampanye komprehensif mengenai pandemik Corona dan bagaimana menghadapinya.
- Lockdown menghentikan seluruh proses produksi non-esensial:
- Dengan memberikan upah layak kepada seluruh buruh dan tidak ada pemotongan hak buruh. Ini termasuk juga untuk buruh-buruh yang kontrak, outsourcing, magang ataupun perjanjian kerja lainnya (seperti driver online).
- Perlengkapan perlindungan, pelatihan, istirahat dan upah di atas upah layak nasional untuk semua buruh esensial (listrik, air, dsb) yang tetap harus bekerja.
- Tempat penitipan anak gratis dan berkualitas, terutama untuk buruh yang tetap harus bekerja.
- Ransum/ jatah makanan, obat-obatan dan barang-barang penting lainnya untuk setiap rumah tangga atau individu, terutama untuk mereka yang rentan seperti lansia dan difabel.
- Solidaritas Kelas Buruh dan Rakyat Pekerja
- Membangun kerjasama dengan negara-negara lain seperti Kuba, Vietnam dan Tiongkok berdasarkan atas solidaritas dan bukan Imperialisme.
- Menolak hutang IMF, Bank Dunia serta negara-negara Imperialis untuk menangani pandemik Corona.
- Perbanyak keterlibatan ahli, buruh medis, kaum profesional serta relawan sipil bukan militer, intelijen dan aparat kepolisian.
- Sita harta koruptor dan pengusaha nakal untuk mendanai upaya memerangi Corona
- Kontrol harga-harga, khususnya sembako, perlengkapan pencegah Corona serta sewa tempat tinggal. Penimbunan, pencatutan dan monopoli yang merugikan rakyat harus ditindak. Ganti rugi korbannya.
- Hentikan pemotongan pajak serta subsidi bagi perusahaan besar, peningkatan pajak progresif bagi perusahaan besar dan perbankan serta miliarder untuk mendanai upaya memerangi pandemik Corona.
- Hentikan Blokade Imperialis di Kuba, Venezuela, Iran dan Korea Utara. Hapuskan utang luar negeri.
- Tolak rasisme dan kebigotan.
- Tidak ada PHK, penggusuran, pengusiran dari kontrakan dan pemotongan layanan (listrik, air, telepon internet, dsb) selama pandemik Corona.
- Gagalkan kebijakan-kebijakan menindas rakyat, seperti Omnibus Law, RUU KK, dsb.
Dalam masa krisis ekonomi, demokrasi borjuis bisa memberikan kekuasaan kepada fasisme, dalam masa krisis lingkungan, konservatisme memprioritaskan mengeruk laba dengan menghancurkan bumi dan menyingkirkan masyarakat adat, serta dalam krisis pandemikseperti sekarang ini kita bisa melihat kapitalisme memilih menggelontorkan trilyunan uang ke perbankan alih-alih mendanai penuh layanan kesehatan demi penyelamatan manusia. Kita tidak boleh dan tidak bisa memilih status quo. Status quo sudah hancur, gagal, dan membusuk. Pilihan kita sekali lagi adalah sosialisme atau barbarisme. Ini bukan ultimatum, ini bukan ramalan ahli nujum. Ini adalah kenyataan. Kalau tatanan masyarakat tidak diambil alih dari kekuasaan elit penindas dan diubah menjadi sistem yang dikuasai secara demokratis oleh rakyat pekerja untuk memenuhi kebutuhan manusia maka hanya akan ada malapetaka bagi kita semua.
Ditulis oleh Lady Andres, anggota Lingkar Studi Sosialis dan Dipo Negoro, kader Perserikatan Sosialis.
Salut ✊