Sejarah

Supersemar: Perebutan Kursi Presiden dan Manipulasi Sejarah Soeharto

Supersemar berlangsung dalam setengah tahun persekutuan Imperialis AS, militer, mahasiswa Kanan, dan kelas Borjuis mengorganisir Malapetaka 1965. Pembantaian massal di Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali belum lama mencapai puncaknya. Pembantaian yang dilancarkan militer dengan milisi-milisi sipil reaksioner didukung oleh Imperialis AS serta diselubungi oleh aksi-aksi mahasiswa Kanan di perkotaan. Sementara Soekarno sendiri kekuasaannya sudah banyak terkikis. Lalu 11 Maret 1966 munculah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Telegram dari Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) untuk Departemen Luar Negeri AS mengatakan Supersemar: “sebuah kudeta militer yang khas negeri tersebut.”

Dengan berbekal Supersemar itu, Soeharto bergerak lebih jauh menggulingkan Soekarno. Pukul 04:00, 12 Maret, Soeharto menandatangani Surat Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Panglima KOTI nomor 1/3/1966 berisi: membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta semua organisasi seazas/berlindung/bernaung di bawahnya serta menyatakan PKI organisasi terlarang. Setelah surat keputusan itu diumumkan, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) serta Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) melakukan pawai keliling Jakarta bersama militer sambil menyebarkan fotokopi surat keputusan tersebut.

Malam harinya Soekarno memanggil semua Wakil Perdana Menteri (Waperdam) ke Bogor. Juga menyelenggarakan rapat bersama presidium dan para panglima dari Angkatan Bersenjata. Soeharto tak hadir, alasannya sakit dan diwakili Jenderal Hartawan. Pertemuan ini berlanjut 13 Maret. Soekarno menyimpulkan pembubaran PKI menyalahi aturan dan Supersemar hanyalah perintah teknis jaga keamanan. Soekarno minta Dr J. Leimena (Waperdam II) membuat surat ke Soeharto. Surat Perintah 13 Maret 1966 itu berisi: mengingatkan Supersemar bersifat teknis semata-mata surat perintah keamanan rakyat dan pemerintah termasuk wibawa presiden; Soeharto dilarang bertindak melampaui bidang serta tanggung jawabnya dan Soeharto diminta menghadap presiden untuk melapor.

13 Maret juga, militernya Soeharto mulai berusaha menangkapi Menteri-menteri Soekarno. Menteri Negara Oei Tjoe Tat, Ir Setiadi Reksoprodjo (Menteri Listrik dan Ketenagaan) serta Drs. Soemardjo (Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan) dikenai tahanan rumah. Malam harinya, Leimena lapor ke Soekarno bahwa saat Soeharto diberikan Surat Perintah 13 Maret menjawab “…semua yang saya lakukan adalah tanggung jawab saya sendiri.” Esoknya, keluar instruksi presiden yang ditandatangani Soeharto. Isinya seluruh partai politik dan organisasi massa dilarang menerima anggota baru dari PKI serta seluruh anggota PKI atau ormas-ormasnya wajib melaporkan diri. KAPPI dan Laskar Arif Rahman Hakim setelah berkonsultasi dengan Kemal Idris dan Sarwo Edhi mulai berusaha menculik beberapa Menteri tanggal 16 Maret. Sasaran mereka antara lain Ketua Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) I Gusti Gede Subamia, Menteri Kehakiman Astrawinata, Menteri Negara Sudibjo dan Menteri Koordinator Pendidikan dan Kebudayaan Prijono. Mereka kemudian dibawa ke Markas Besar (Mabes) Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Sementara upaya untuk menangkap Oei Tjoe Tat dan Jusuf Muda Dalam (Menteri Urusan Bank Sentral) gagal.

Hari yang sama, keluar pengumuman No. 1 rumusan Soekarno bersama keempat Waperdam dan Menteri Roeslan Abdulgani. Dalam pengumuman ini Soekarno mengatakan dirinya masih berkuasa dan rakyat diminta mengemban semangat Demokrasi Terpimpin dari Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan Nasional (Resopim). Soekarno menegaskan akan memperingatkan keras siapapun yang “ingin memaksakan kehendaknya terhadap Presiden, sekalipun tim pembantu Presiden. Selain itu, para Menteri hanya ditunjuk presiden dan bukan lainnya.” Esoknya Soekarno memerintahkan Waperdam III Chairul Saleh membacakan pengumuman presiden bahwa Supersemar bukan penyerahan kekuasaan dari Presiden ke Menteri/ Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Letjen Soeharto.

Tanggal 18 Maret, Soeharto dengan dasar Supersemar dan atas nama Soekarno mengumumkan penahanan 15 menteri via Surat Keputusan Presiden nomor 5 tertanggal 18 Maret 1966. Tanggal 25 Maret, Oei Tjoe Tat, Astrawinata, Armunanto (Menteri Pertambangan), Soedibjo, Mayjen TNI Dr. Soemarno Sastroadmojo (Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Jakarta Raya), Soetomo Martopradoto (Menteri Perburuhan), Mayjen TNI Achmadi (Menteri Penerangan), Jusuf Muda Dalam serta Letkol Imam Sjafei dibawa ke kompleks perumahan atlet di Jl Gulat Senayan. Mereka ditahan Team Pemeriksa Pusat (Teperpu). Soeharto membentuk presidium enam orang Waperdam yaitu J Leimena, Roeslan Abdulgani, Idham Chalid, Adam Malik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Soeharto sendiri. Setelah penangkapan para menteri itu, dilancarkan penyingkiran besar-besaran di ABRI. Pembersihan terbesar dilancarkan di Angkatan Udara (AU) sementara di Kepolisian dan Angkatan Laut (AL), skalanya kecil. Pasukan pengawal presiden, Resimen Tjakrabirawa dibekukan. Semua perwira Soekarnois dicopot dan banyak yang dipenjara. Laporan Deputi Asisten Khusus Bidang Keamanan Nasional, Robert Komer, kepada Presiden AS, Johnson, mengatakan Supersemar sebagai “kudeta yang sukses”. Demi melancarkan suksesnya kudeta tersebut AS diharapkan mengirimkan bantuan berupa beras atau gandum, meskipun beberapa ribu ton saja. Pemerintahan AS juga melaporkan pasca Supersemar ada “pemerintahan yang baru”, yang rajin mengeluarkan perintah “atas nama Sukarno.” Bulan Mei, Soeharto menemui Duta Besar AS, Marshall Green, melaporkan perkembangan situasi

21 Juni, Supersemar ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menjadi sebuah ketetapan MPRS nomor IX/ MPRS/ 1966. Maka Supersemar secara yuridis mengikat semua pihak dan Soekarno tidak bisa mencabutnya. Keesokan harinya, Soekarno membacakan pidato Nawaksara di sidang MPRS. Pidato ini kemudian ditambah dengan Pelengkap Nawaksara pada 10 Januari 1967. Ketika melantik Kabinet Ampera 28 Juli 1966, Soekarno kembali menyatakan Supersemar bukanlah penyerahan kekuasaan. “I repeat again, it is not a transfer of authority.” Walau secara formal kabinet ini berada di bawah Soekarno, pemimpin de facto kabinet tersebut adalah Waperdam Pertama Soeharto. Di antara anggota kabinet adalah orang-orang kepercayaan Soekarno yang berbalik dan mendukung Soeharto, seperti Adam Malik, Frans Seda, dan Sutami. 17 Agustus 1966, pidato Soekarno berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” kembali menegaskan hal sama.

Tapi Soekarno semakin kecil pengaruh dan kekuatannya. Keengganannya menindak tegas Soeharto dan AD, membuat kekuasaanya kian dipreteli. Padahal sebelumnya banyak rakyat dan pendukungnya siap melawan. Soebandrio di 15 Januari 1966 menyerukan pembentukan Barisan Soekarno dan esoknya Menteri Penerangan Achmadi mengorganisirnya untuk “mengimbangi KAMI yang dianggap sebagai usaha pendongkelan Bung Karno.” Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) memobilisasi diri 28 Februari 1966 dalam peringatan HUT VIInya. Mereka berorasi “demonstrasi KAMI bukan demonstrasi tapi kontra-revolusi” dan menyerukan perlawanan. Soekarno sendiri menyuruh massa pendukungnya menunggu komandonya. Namun komando untuk melawan balik tidak pernah datang. Akhirnya tahun 1968, di Sidang Umum V MPRS, Soeharto berhasil menyingkirkan Soekarno. Soeharto dipilih secara bulat untuk menjadi presiden menggantikan Soekarno.

Hingga 2013, keberadaan fisik Supersemar tak jelas. Terdapat empat versi Supersemar yang kesemuanya palsu. Keempat versi tersebut berasal dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, Akademi Kebangsaan, dan dua versi dari Sekretariat Negara (Setneg). Pegangan dari Soeharto selama 32 tahun adalah versi Puspen TNI AD, untuk kudeta dan kontra-revolusi. Orba dan warisannya berdiri di atas pembohongan, pembantaian, dan penindasan.

Ditulis oleh Musa Talutama, Kader Perserikatan Sosialis dan Anggota Lingkar Studi Kerakyatan

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 61, I-II Maret 2019, dengan judul yang sama.

Loading

Comments (1)

  1. […] Pada 12 Maret 1966 dini hari Soeharto, dengan mengatasnamakan Soekarno lewat Supersemar, menyatakan pembubaran PKI. Keputusan itu disambut dengan pamer kekuatan yang dilakukan oleh RPKAD, Divisi Siliwangi dan para mahasiswa. Setelahnya kekuasan Soekarno semakin dipreteli oleh Soeharto. KAPPI dan Laskar Arief Rahman Hakim setelah berkonsultasi dengan Kemal Idris dan Sarwo Edhi mulai berusaha menculik beberapa Menteri tanggal 16 Maret. Sasaran mereka antara lain Ketua Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) I Gusti Gede Subamia, Menteri Kehakiman Astrawinata, Menteri Negara Sudibjo dan Menteri Koordinator Pendidikan dan Kebudayaan Prijono. Mereka kemudian dibawa ke Markas Besar (Mabes) Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Sementara upaya untuk menangkap Oei Tjoe Tat dan Jusuf Muda Dalam (Menteri Urusan Bank Sentral) gagal. (Baca: Supersemar: Perebutan Kursi Presiden dan Manipulasi Sejarah Soeharto)  […]

Comment here