Jumat (14/02/2020) sore, 20 perempuan dan tujuh laki-laki turun ke jalan, menembus hujan yang menerpa, menggelar aksi One Billion Rising untuk memprotes kekerasan seksual. Mereka berpawai dari GOR Pertamina-Universitas Brawijaya ke Jalan Veteran, memyerukan yel-yel dan mengusung berbagai poster. “Stop kekerasan fisik, seksual, psikis, terhadap perempuan”, “Kampus merdeka itu bebas pelecehan”, “Perempuan ibu kandung peradaban bangsa”, “Isu perempuan adalah isu kemanusiaan”, “Mari memanusiakan manusia”, “Perempuan dan laki-laki itu setara”, dan sebagainya.
Sebagaimana keterangan rilis persnya: “One Billion Rising (OBR) adalah gerakan global yang dimulai pada tahun 2012 sebagai bagian dari kampanye untuk membawa kesadaran pada tingginya jumlah pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Gerakan ini diprakasai oleh Eve Ensler, penulis naskah The Vagina Monologues. ‘Satu Miliar’ mengacu pada statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa satu dari tiga perempuan (berjumlah satu miliar dari populasi perempuan global) akan diperkosa atau dipukuli.”
“OBR dimulai pada 2012 sebagai bagian dari gerakan V-Day dan memuncak dalam aksi global terbesar yang pernah ada untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dengan puluhan ribu acara diadakan di lebih dari 190 negara. Pada 14 Februari 2013, satu miliar orang di 207 negara bangkit dan menari untuk menuntut diakhirinya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.”
“Ajakan untuk turut dalam aksi Womens March sudah diserukan Januari tahun 2017 oleh @womensmarchindo. Jakarta, Serang, Bandung, Salatiga, Malang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Kupang, dan Lampung adalah kota-kota yang turut mengadakan Womens March setiap bulan maret. Tahun 2020, Womens March Malang menggelar Malang One Billion Rising sebagai salah satu dari rangkaian aksi yang mengangkat tema ‘Solidarity. Rise! Resist! Unite!’ yang berarti solidaritas, bangkit, lawan, bersatu yang bertujuan untuk menyuarakan tentang anti pemerkosaan, pelecehan, dan kekerasan seksual terhadap perempuan, anak dan minoritas di Indonesia melalui aksi seni yang dilakukan secara massal.”
“Perempuan, anak perempuan dan minoritas di Indonesia secara universal mengalami pemerkosaan, kekerasan seksual, dan pelecehan, baik di masa damai maupun perang (konflik). Perkosaan berakar pada serangkaian keyakinan, kekuasaan, dan kendali patriarki yang kompleks yang terus menciptakan lingkungan sosial di mana perkosaan dan pelecehan seksual dianggap normal. Jumlah pemerkosaan dan serangan seksual yang tepat sangat sulit untuk dikonfirmasi karena seringnya kebebasan dan kekebalan hukum bagi pelaku, stigma terhadap para penyintas (korban), dan selanjutnya kebungkaman mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, suara para penyintas dan aktivis, melalui kampanye seperti # MeToo, #TimesUp, #Niunamenos, #NotOneMore, #BalanceTonPorc, #GerakBersama dan lainnya, telah menyoroti masalah ini dan telah mencapai puncaknya yang tidak bisa dibungkam atau diabaikan lagi. Dalam Malang One Billion Rising ini kita semua akan menyerukan kepada masyarakat dari semua lapisan untuk mengambil sikap menentang pemerkosaan yang menyebar luas melalui tarian bersama. Waspada perkosaan ada disekeliling kita.”
Fitri, Hubungan Masyarakat (Humas) OBR Malang kepada jurnalis Arah Juang menyikapi maraknya kasus kekerasan seksual menanggapi penanganannya mengemukakan, “kecewa berat karena mayoritas kasus berakhir damai. Jadi kami secara kecil-kecilan membikin peningkatan kesadaran. Sebab kesadaran masyarakat yang ada saat ini dibentuk oleh kondisi dimana masyarakat hidup. Budaya pemerkosaan ini sudah ratusan tahun dan mengakar. Kita mencoba sabar untuk sedikit demi sedikit sadarkan masyarakat. Melalui demonstrasi, diskusi, atau One Billion Rising seperti ini yang mana acara utamanya menari…”
Mewakili OBR Malang, Fitri mengemukakan meski banyak keadilan belum diberikan bagi para korban, sebenarnya ada kemajuan dalam perjuangan melawan kekerasan seksual, berupa semakin banyaknya korban yang berani bersuara dan melawan. “Sekarang korban sudah berani speak up. Walaupun terus diinjak juga oleh oknum-oknum yang mengaku progresif. Berdalih atas nama baik kampus, atas nama baik lembaga, dan sebagainya, yang sering memandang kasus kekerasan seksual sebagai permasalahan personal, alih-alih kriminal berbasis gender. Itu realita. Kenyataan yang kita lihat dan alami sehari-hari. Bukan hal yang jauh. Teman kita pun banyak yang jadi korban juga. Jadi di sini kita ingin merayakan pencapaian korban. Berani bersuara, masih mapu melanjutkan hidup, walaupun di tengah tekanan budaya perkosaaan yang menyalahkan korban. Kita merayakan kekuatan perempuan dan berusaha memberi ruang aman.”
Penghujung aksi, One Billion Rising Malang Menuntut:
- Mendesak Eksekutif dan Legislatif untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan tidak mengabaikan prinsip terkait pencegahan, hukum acara pembuktian, pemulihan dan perlindungan hak-hak korban.
- Adakan mekanisme dan aturan dalam tiap lembaga atau instansi berdasarkan penghormatan atas hak-hak perempuan
- Perlindungan perempuan dan anak perempuan dari berbagai jenis tindak kekerasan seksual dimanapun baik itu di instansi pendidikan, tempat kerja, ruang ibadah, ruang publik, maupun domestik.
- Perlindungan anak perempuan dari perkawinan anak.
- Perlindungan perempuan di wilayah konflik.
- Jaminan hak dan kesejahteraan bagi perempuan yang mengambil cuti menstruasi, cuti hamil, cuti melahirkan, dan cuti keguguran.
- Akses dan Layanan kesehatan gratis, mudah, dan tidak diskriminatif terutama atas hak kesehatan reproduksi dan seksual.
- Hentikan berbagai proyek infrastruktur yang merampas sumber kehidupan dan ruang hidup masyarakat, serta melibatkan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan sumber daya alam dan program pembangunan berkeadilan.
- Mendesak pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Permenaker Perlindungan Pekerja Rumahan, dan pelaksanaan UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
- Mendesak Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung memiliki anggota dengan perspektif hukum adil gender dalam setiap penanganan kasus.
- Mendesak Kemenkominfo membangun sistem dan kebijakan yang mencegah meluasnya kekerasan berbasis gender dan seksual di ranah siber.
- Meminta perusahaan media memproduksi isi pemberitaan yang ramah terhadap perempuan, adil gender dan berpihak kepada korban.
- Hentikan komoditasi tubuh perempuan, keberagaman orientasi seksual, identitas, dan ekspresi gender untuk kepentingan apapun
- Menolak semua bentuk kekerasan terhadap perempuan, LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, Queer), anak, dan disabilitas, serta mengakui dan melindungi keberagaman orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender setiap warga negara.
- Mengecam berbagai tindak kekerasan, intimidasi, dan pelecehan seksual terhadap aktivis-aktivis, khususnya perempuan.
- Mendesak Pengadilan HAM untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual di masa lalu. Kekerasan seksual dalam Malapetaka 1965 di Aceh, Timor Leste, dan Papua, Perkosaan sistematik dalam Kerusuhan Mei 1998, dan kasus pembunuhan Marsinah.
- Mendesak Universitas Islam Negeri Malik Maulana Ibrahim Malang dan Malang Corruption Watch untuk segera menuntaskan kasus kekerasan seksual dan mengadili pelaku. (lk)
Terus berjuang
Semangat penuliss