Strategi Taktik

Personal, Politik dan Partai Revolusioner

Belakangan ini muncul kampanye-kampanye dan argumen-argumen terkait persoalan kekerasan seksual serta berbagai persoalan personal yang terjadi di organisasi pergerakan. Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) Yogyakarta dalam International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional 2019 mengusung salah satu poster bertuliskan “Waspada Mas-Mas Kiri Progresip Cabul”. Kampanye serupa juga diangkat oleh beberapa kelompok anarko. Sementara Roy Murtadho, salah satu pendiri Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) sekaligus salah satu editor Indoprogress dalam status Facebooknya mengatakan bahwa aktivis kiri Indonesia sudah bangkrut. Roy lebih jauh lagi mengaitkan kualitas personal aktivis kiri dengan perjuangan itu sendiri. Dari persoalan tidak bisa mengajak pacar dan mertua menjadi kiri hingga suka nongkrong ketimbang mengaji.

Bagaimana solusi menghadapi persoalan tersebut? Roy Murtado mengatakan bahwa paling penting, terlebih dahulu harus merubah diri sendiri. Ada usulan organisasi membentuk badan khusus untuk melakukan intervensi ke kehidupan personal kader-kadernya. Atau mencari-cari solusi dalam pembentukan mekanisme operasional. Sementara itu bagi Dea Safira Basori, feminis penulis buku “Membunuh Hantu-Hantu Patriarki”, dalam salah satu tulisannya di Voxpop bertajuk “Jangan Langsung Terpesona dengan Laki-laki Aktivis, Ketahui juga Sisi Gelapnya” mengemukakan persoalan tersebut tidak akan pernah selesai. Karena baginya semaju apapun teori seorang aktivis laki-laki tetap akan miskin dalam praktek karena mereka tidak pernah berangkat dari pengalamannya (pengalaman sebagai perempuan).

Selain itu terdapat fenomena munculnya kecenderungan membatasi diri pada dua pilihan yang buruk dan mengarahkan pada pilihan kurang jahat. Ini muncul bisa karena kelelahan dan frustasi akibat degenerasi organisasi maupun lingkungan gerakan bersangkutan. Maryam Jameela, anggota Resister, dalam tulisannya berjudul “Aktivis Gerakan Sosial dalam Pusaran Kekerasan Seksual, Misoginis Total?” di Vox Pop mengemukakan “Nyatanya, banyak individu di gerakan yang masih belum bersih dari misoginisme. Beberapa dari mereka, meski tidak semuanya, akan bersuara lantang menentang kekerasan seksual asal pelakunya bukan kawan sendiri.” Ia lantas menyimpulkan “Lebih baik kita bubar barisan, lebih baik kita hengkang dari gerakan, karena hidup ini terlalu singkat untuk kita habiskan dengan bergerak bersama pelaku dan pembela kasus kekerasan seksual. Sebab misoginisme memang ada di mana-mana, pelaku kekerasan bisa siapa saja, termasuk mereka yang bicara lantang tentang keadilan di barisan terdepan. Duh, melawan penguasa saja sudah berat, apalagi ditambah melawan kawan sendiri.” Mengapa kita membatasi diri hanya pada dua pilihan: (1) bersama para pelaku dan pelindung pelaku dalam gerakan; atau (2) bubar barisan dan hengkang dari gerakan? Bukankah sebaiknya kita membuat dan mengambil pilihan-pilihan baru seperti adili dan hukum pelaku serta mereka dari organisasi dan gerakan rakyat? Bersihkan seksisme dari organisasi dan gerakan rakyat? Tolak aktivis dan organisasi yang melindungi pelaku? Serta lain sebagainya.

Benar memang terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum-oknum aktivis kiri. Termasuk juga berbagai persoalan personal lainnya seperti ketidaksenonohan, cara pandang yang bias, dan sebagainya. Namun terdapat beberapa masalah dalam  argumen di atas. Slogan “Waspada Mas-Mas Kiri Progresip Cabul” sekilas terkesan bagus karena memperingatkan agar tidak lengah dan jangan sampai diperdayai pelaku yang mengaku kiri. Namun, orang awam yang melihat tulisan slogan demikian bisa jadi malah berpikir kalau ada orang cabul di organisasi yang mengaku kiri progresif, lebih baik tidak berorganisasi dan tidak berpartisipasi di gerakan sama sekali. Demikian juga status FB Roy Murtadho yang mengemukakan “aktivis kiri Indonesia telah lama bangkrut. Dari segi apapun bangkrut” memiliki permasalahan umum yang diakibatkan keengganan menyebut nama siapa aktivis dan organisasi yang dikritiknya sehingga mengakibatkan generalisasi. Cara berargumen demikian yang menyandarkan diri pada inisuasi atau sindiran, alih-alih kritik lugas, tunjuk hidung, sebut nama langsung, dan polemik terbuka, justru berisiko berujung pada self hating left atau kiri yang benci diri sendiri.

Baik slogan yang tidak tepat, sentimen kiri membenci diri sendiri, sentimen saling caci atau menyindir alih-alih polemik lugas secara ilmiah, dan sebagainya—semua itu tidak produktif bahkan berisiko kontra-produktif dalam memerangi seksisme ataupun persoalan personal yang terkait dengan aktivis revolusioner. Di tengah sulitnya mengorganisir perempuan dan LGBT untuk terlibat dalam partai revolusioner, kampanye tersebut justru memperkuat kelas dan partai-partai borjuis. Tidak heran, di saat Kiri secara umum digeneralisasi melakukan seksisme ada kebungkaman selektif. Kebungkaman berupa ketiadaan suara protes terhadap PSI yang mendukung Jokowi. Jokowi yang bekerjasama dengan Pemuda Pancasila, organisasi yang terlibat dalam kekerasan seksual terhadap ribuan perempuan pada Malapetaka 1965.  Sejauh apa partai revolusioner dapat mencampuri urusan personal kader-kadernya?

Kadang sulit untuk mengambil garis antara hak-hak personal seorang kader dan tanggung jawab mereka ke partai revolusioner secara keseluruhan dan demikian juga sebaliknya. Sering terdapat daerah abu-abu yang dapat membingungkan antara kehidupan pribadi kader dan aktivitas publik atau politis mereka dan kewajibannya terhadap partai revolusioner.

Hak dan kewajiban kader dituangkan dalam konstitusi partai revolusioner dan seharusnya dipelajari dengan detail. Tentu saja penerapannya disesuaikan dengan situasi politik yang dihadapi saat ini dan dapat berubah ketika konteks politik juga berubah.

Karena partai revolusioner bertujuan untuk melancarkan perjuangan politik maka organisasi menuntut agar kader-kadernya dapat bertindak jujur dan bertanggung jawab terhadap sesama kader organisasi. Sinisme, tingkah laku egois, dan permusuhan pribadi akan kontra produktif terhadap solidaritas politik dan kepercayaan yang esensial bagi pembentukan tim aktivis yang berdisiplin serta dapat bergerak dengan solid. Partai revolusioner tidak mengharapkan semua kadernya menjadi teman, namun partai revolusioner mengharapkan agar kader dapat memperlakukan kader lainnya sebagai kawan dan meminimalisir perselisihan dan percekcokan pribadi. Partai revolusioner tidak dapat berfungsi sebagai tim politik kecuali belajar untuk bekerja bersama.

Partai revolusioner bukanlah partai totaliter dimana setiap aspek kehidupan kadernya berada di bawah otoritas keputusan partai. Partai revolusioner tidak berupaya untuk memberitahu kadernya, orang-orang seperti apa yang seharusnya menjadi teman mereka, dengan siapa mereka harus hidup, apakah mereka harus menikah, apakah mereka harus memiliki anak, dan sebagainya. Partai revolusioner adalah organisasi yang dibangun untuk mendorong aksi bersama dari mereka yang dieksploitasi dan ditindas melawan penyebab eksploitasi serta penindasan tersebut, yaitu tatanan masyarakat kapitalis.

Partai revolusioner mengambil posisi dalam hubungan personal dan seksual hanya ketika terdapat pedofilia atau ketika terjadi kekerasan antara anggota partai. Selain itu terdapat pertimbangan yang lebih umum yaitu jika tindakan personal kader mempengaruhi tugas-tugas politik dari partai, partai akan mendiskusikan persoalan tersebut dengan kader terkait dan berupaya untuk menemukan solusi secara politik dan disepakati bersama. Namun pada analisa terakhir, kepentingan kolektif, kepentingan partai berada di atas tindakan individu kader yang tingkah lakunya berdampak buruk pada kerja-kerja partai.

Di luar itu, partai revolusioner tidak mencampuri kehidupan personal kadernya. Ini terutama berlaku pada area hubungan personal yang paling intim dan sensitif, yaitu seksualitas, preferensi seksual dan kehidupan erotis. Seperti program perjuangan partai revolusioner yang mendukung negara dan masyarakat tidak campur tangan dalam urusan seksual selama tidak ada yang kekerasan serta pemaksaan. Hal yang sama berlaku di dalam partai. Partai tidak mengintervensi ataupun mengambil posisi terkait bentuk-bentuk hubungan atau aktivitas seksual tertentu, kecuali terjadi kekerasan dan pemaksaan.

Dalam isu-isu seperti seksualitas dan teori psikologi yang secara terbuka atau intrinsik berdasarkan atas asumsi rasis atau seksis, partai mengambali posisi menolaknya. Perjuangan melawan posisi reaksioner adalah fokus utama dan kerja yang harus dilancarkan oleh partai. Namun partai juga menolak posisi yang melihat salah satu bentuk seksualitas atau praktek seksual lebih baik daripada yang lainnya dan oleh karena itu lebih bisa diterima. Seperti konsep open relation atau poliamori yang dianggap lebih baik yang sering dijadikan pembenaran oknum aktivis kiri untuk liberalisme.

Ini karena pertama, seluruh area seksualitas manusia dan psikologi manusia terdistorsi oleh masyarakat kelas, dimana semua interaksi sosial dibentuk oleh hubungan kepemilikan. Kita tidak akan bisa memisahkan semua faktor kelas ataupun lainnya yang mendistorsi hingga kita telah mendirikan masyarakat yang berbeda. Kedua, argumentasi tersebut seringnya berdasarkan atas anggapan bahwa hubungan yang berada di luar sistem keluarga lebih progresif dan oleh karena itu terbebas dari sistem yang menindas. Namun argumentasi tersebut salah memahami sifat dari institusi keluarga yang berdasarkan atas hubungan ekonomi bukan seksual. Demikian juga hubungan personal apapun di luar keluarga tidak bisa menggantikan sistem keluarga. Tidak mungkin menggantikan fungsi sosial dan keuntungan ekonomi yang disediakannya bagi kapitalisme. Sistem keluarga, dan ideologi serta moralitas yang menopangnya akan lenyap ketika fungsi sosial dan ekonomi yang dijalankannya sekarang diambil secara progresif oleh masyarakat secara keseluruhan.

Demikian juga tidak mungkin bertahan sebuah pulau sosialisme di tengah lautan kapitalisme, termasuk juga tidak mungkin ada ruang aman tanpa seksisme di tengah masyarakat kapitalis yang seksis. Pandangan yang melihat bahwa salah satu bentuk seksualitas lebih baik dari lainnya terkandung dalam politik gaya hidup. Ini terkait dengan interpertasi terhadap slogan “personal adalah politik” bahwa cara untuk membebaskan dari penindasan dan alienasi adalah merubah dan membentuk dirimu sendiri untuk menjadi contoh bagi yang lainnya.

Itu bukan sesuatu yang baru, sosialisme utopis pada abad ke 19 menyerukan perubahan masyarakat dengan menciptakan contoh inti “model masyarakat” ideal untuk dijadikan contoh bagi masyarakat lainnya. Saat ini kita mendapati kecenderungan untuk merubah sosialisme menjadi nilai-nilai moralistik. Sosialisme diubah menjadi ideologi pengorbanan diri ataupun doktrin pengendalian diri. Status Roy Murtado merefleksikan ideologi dan doktrin tersebut. Kiri artinya harus mampu mengajak pacar serta mertuanya untuk menjadi aktivis. Harus mampu mengurus diri sendiri dan mengikuti masyarakat. Demikian juga anggapan bahwa kader organisasi revolusioner harus menderita untuk melatih militansi.

Kualitas kader partai revolusioner yang profesional bukanlah ketika bisa membuat pacar ataupun mertua menjadi aktivis kiri. Demikian tidak ada hubungan kualitas tersebut dengan seberapa besar penderitaan kita. Kader revolusioner profesional adalah mereka yang melihat bahwa perjuangan revolusioner kita sebagai kerja seumur hidup. Mereka yang melihat tujuan tertinggi dari hidupnya adalah memajukan revolusi sosialis, yaitu membangun partai revolusioner. Mereka yang bersedia menerima tugas apapun di dalam kapasitasnya untuk tujuan tersebut.

Demikian seluk beluk moralitas revolusioner menyatu dengan strategi taktik revolusioner untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Trotsky, cara dapat dibenarkan berdasarkan tujuannya. Namun tujuan itu sendiri harus benar. Dari cara pandang Marxis, yang mengekspresikan kepentingan historis proletariat, tujuan dapat dibenarkan jika mengarah pada peningkatan kekuatan manusia atas alam dan penghapusan kekuasaan manusia atas manusia.

Kita mengetahui bahwa kita tidak bisa membangun model utopis masyarakat sosialis masa depan di dalam partai revolusioner. Partai revolusioner adalah alat untuk melancarkan revolusi. Kita tidak bisa menghilangkan semua ketidakadilan yang kita bawa ketika menjadi kader partai revolusioner. Namun kita tidak perlu membuat horor kapitalisme semakin mengerikan. Kita dapat saling membantu dan memberikan dukungan untuk kawan-kawan yang mengalami kesulitan personal. Kader-kader harus dimotivasi untuk mengembangkan keahlian ataupun kualifikasinya, namun bukan untuk membesarkan egonya, melainkan untuk memajukan perjuangan. Misalnya kawan-kawan yang memiliki pekerjaan yang baik, keahlian atau profesi tertentu harus dimotivasi agar keahliannya dapat digunakan oleh partai revolusioner. Partai revolusioner adalah tipe khusus organisasi yang didirikan atas solidaritas kemanusiaan, terdiri dari orang-orang dari berbagai usia dan latar belakang yang berhubungan erat karena keyakinan politik. Kita disatukan oleh perjuangan bersama untuk sosialisme.

Kader-kader partai tentu saja bisa mendiskusikan isu-isu seksualitas, psikologi individual, seni, musik, literatur, budaya, ilmu pengetahuan alam, dsb. Kita harus tetap mengikuti semua perdebatan ideologis yang terjadi. Namun itu belum tentu menentukan garis politik partai revolusioner. Untuk mengambil posisi politik di banyak persoalan akan merusak partai revolusioner sebagai organisasi politik, mempersempit pengaruhnya dan menghambat kemampuannya untuk memobilisasi seluas mungkin pada persoalan-persoalan politik. Tentu saja partai revolusioner berjuang melawan penyebab seksisme, rasisme, kebigotan, kekerasan, dsb sebagai bagian dari program dan praktek perjuangannya.

Memahami bahwa seksisme dan rasisme berakar pada tatanan masyarakat kapitalis berarti juga melihat bahwa penghapusannya bisa dilakukan dengan menghancurkan basis materialnya yaitu kapitalisme. Tanpa penghancuran itu, tidak mungkin menghapuskan rasisme, seksisme, dan sebagainya, di dalam partai dan entah bagaimana merubah kader-kader menjadi individu-individu yang “murni” serta tanpa cacat.

Baik kader maupun partai revolusioner itu sendiri tidak ada di ruang hampa. Kita terus menerus berada di bawah tekanan kekuatan sosial dan merefleksikan perjuangan kelas dalam tingkat tertentu. Kader-kader partai tentu saja tidak kebal atau imun serta selalu ada risiko mereka bereaksi dengan menerima tekanan tersebut, memunculkan atau memperkuat kecenderungan borjuis kecil serta ide-ide asing bagi kelas buruh. Termasuk di dalamnya mengamini rasisme, seksisme, homofobia, dan sebagainya.

Namun ini semua bukan berarti kita mengatakan bahwa kita sekedar korban dari struktur dimana kita hidup dan tingkah laku kita sudah terprogram dan ditentukan sebelumnya. Tentu saja kita tidak mengatakan bahwa tidak ada masalah menjadi seksis, rasis, dsb. Kita melawan ide-ide tersebut dengan teguh.

Hal-hal personal atau pribadi dari kader partai revolusioner tidak terlepas dari politik partai revolusioner itu sendiri. Metode politis dalam melihat persoalan tersebut diterapkan dalam seluruh kerja-kerja partai revolusioner. Tujuan partai revolusioner adalah menghapuskan penindasan dengan merubah masyarakat. Partai revolusioner berupaya membangun kesadaran mengenai penindasan, sebuah pemahaman mengenai asal usulnya dalam struktur masyarakat berkelas dan komitmen yang disepakati untuk berjuang menghapuskan basis penindasan semacam itu. Ini berarti aktivitas politik dan pendidikan. Keduanya merupakan tanggung jawab partai revolusioner bagi kadernya.

Demikian juga sebaliknya, tanggung jawab seperti itu, untuk membangun partai revolusioner dan meluaskan pengaruhnya, diambil oleh individu ketika bergabung ke dalam partai revolusioner. Untuk bertahan di masyarakat kapitalis sebagai seorang sosialis kita membutuhkan tingkat konsistensi yang tinggi. Konsistensi tersebut dibangun dari pengalaman hidup yang kita jalani dalam perjuangan kelas dan bagaimana kita meresponnya. Itu artinya semakin kita konsisten terlibat dalam membangun partai revolusioner maka semakin mungkin kita bisa bertahan.

Ditulis oleh Kuggy Kayla, Kader Perserikatan Sosialis.
Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan yang diterbitkan dalam Arah Juang edisi 83, I-II Maret 2020, dengan judul yang sama.

Loading

Comment here