Pernyataan Sikap

Cabut SK DO Empat Mahasiswa Unkhair Ternate dan Bebaskan Tahanan Politik Papua serta Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua Barat!

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak

Waa…waa…waa…waa…waa…waa..waa..waa..waa..waaa!

Sejak West Papua dianeksasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, situasi HAM semakin memburuk. Indonesia terus mengedepankan pendekatan militeristik dengan melakukan berbagai praktek diskriminasi rasial, penangkapan , pembunuhan, pemerkosaan, pemenjaraan terhadap aktivis  mahasiswa maupun rakyat West Papua. Sementara Indonesia gencar-gencar memainkan berbagai propaganda di media mainstream, untuk menutupi eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam, distorsi Informasi, penyiksaan, genocide perlahan, bisnis ilegal loging, penjualan minuman keras dan memantau aktivitas gerakan rakyat West Papua. Selain itu operasi militer  di Ndugama West Papua yang kini telah memasuki tahun kedua,  mengakibatkan 37.000 pengungsi dan 242 orang meninggal.

Masih membara dalam ingatan kita kejadian di Surabaya bulan Agustus 2019 lalu, ketika kawan-kawan West Papua dipaksa untuk merasa menjadi bagian dari Indonesia. Mereka dipaksa mengibarkan bendera merah putih, difitnah merusak tiang bendera itu dan menjatuhkannya ke selokan. Mereka kemudian diserang oleh sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi-organisasi reksioner, diancam, diusir, bahkan diteriaki engan rasialis. Perlakuan diskriminatif dan rasis ini memicu protes di banyak tempat, baik di West Papua maupun Indonesia. Tak jauh berbeda dari yang sudah-sudah, negara malah melakukan manipulasi untuk menggiring protes menjadi kerusuhan yang sampai menelan korban jiwa, para pemimpin perlawanan West Papua dikambinghitamkan, diburu dan ditangkap secara sewenang-wenang. Pada bulan Agustus, 6000 pasukan dikirim ke Papua. Selanjutnya,  pada 12-18 Desember 2019 pengiriman militer sebanyak  5.000 dan tanggal 28 Desember sebanyak 400  personel dikrim ke beberapa kabupaten yang ada di Papua, seperti di Intan Jaya dikirim 1000 militer, Di Paniai 1000 militer, termasuk Deiyai dan Dogiyai serta ke daerah-daerah lain di tanah West Papua. Pengiriman militer ini, membuat masyarakat trauma dan  ketakutan dalam suasana perayaan Natal bagi rakyat West Papua.

Tahun 2019, ada sedikitnya 104 orang menjadi tahanan politik, 41 orang ditahan dengan delik makar. Salah satunya adalah Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP): Surya Anta Ginting.  Umumnya, mereka ditahan karena mengorganisir dan/atau terlibat aksi-aksi demonstrasi yang memprotes ujaran dan tindakan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Malang dan beberapa wilayah indonesia lainnya—kejadian yang dalang dan pelakunya tidak diusut secara serius oleh kepolisian Indonesia—pertengahan Agustus lalu. Para aktivis politik Papua tersebut juga tak pernah dipanggil menjadi saksi, namun langsung ditetapkan sebagai tersangka. Sementara berdasarkan kronologi penangkapan yang dilakukan, banyak terjadi pelanggaran prosedur, yang mana penangkapan dilakukan tidak berdasarkan bukti permulaan yang cukup (lihat Pasal 17 KUHAP). Pada hari Senin 19 Desember 2019 keenam Aktivis Tapol Papua sudah menjalankan persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan agenda pembacaan dakwaan. Sidang lanjutan keenam Tapol Papua akan kembali digelar pada hari ini, Kamis 02 Januari 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan agenda jawab atas dakwaan Penuntut umum.

Maraknya represifitas negara yang tidak hanya datang dari aparatus kekerasan negara (TNI-Polri) (sekalipun pelanggaran terbanyak dari aparat negara) tetapi sudah menyasar secara luas sampai pada dunia akademik. Seperti yang terjadi di kampus Universitas Khairun Terante.

12 Desember 2019, dengan menimbang Surat Kepolisian Nomor B/52B/XII/2019/Res Ternate Tertanggal 12 Desember 2019 perihal Surat Pemberitahuan. Tanpa alasan yang jelas, Rektor Universitas Khairun (Unkhair) Ternate memberhentikan 4 mahasiswanya dengan tuduhan melakukan perbuatan ketidakpatutan yang mengarah pada tindakan makar dan mengganggu ketertiban umum.

Keempat mahasiswa tersebut adalah Arbi M. Nur (Mahasiswa Jurusan Kimia, FKIP, Semester XIII), Fahyudi Marsaoly (Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Semester XI), Ikra Alaktiri (Mahasiswa Jurusan PKN, FKIP, Semester V) dan Fahrul Abdul (Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Semester II). Dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 1860/UN44/KP/2019 tertera bahwa yang menjadi dasar pemberhentian keempat mahasiswa tersebut adalah unjuk rasa damai “Memperingati 58 Tahun Deklarasi Kemerdekaan Rakyat West Papua” yang dilakukan pada 2 Desember 2019 di depan kampus Universitas Muhammadiyah Ternate.

Surat kepolisian tersebut tidak bisa menjadi dasar, karena sifatnya bukan surat penetapan yang memiliki kekuatan mengikat untuk dilaksanakan, karena isiannya adalah tentang pemberitahuan yang dikirim komite aksi yang akan melakukan aksi damai/demonstrasi damai pada tanggal 2 Desember 2019. Surat pemberitahuan dari kepolisian itu sebagai bukti bahwa dalam melaksanakan unjuk rasa damai/demonstrasi damai ke-4 mahasiswa tersebut telah menempuh jalur hukum yang diperintahkan Undang-Undang. Sehingga dasar surat pemberitahuan sebagai alasan menerbitkan SK D.O adalah tidak beralasan menurut hukum.

UNKHAIR sebagai institusi perpanjangan tangan dari negara yang menjunjung tinggi HAM dan Demokrasi, harusnya memberikan ruang bagi setiap individu/mahasiswa untuk bebas bicara tentang apa saja yang diyakini sebagai kebenaran ilmiah dan ketidaksetujuan setiap orang atas hal tersebut mesti diuji lewat ruang-ruang dialogis yang ilmiah pula. Jika tidak, apapun alasan kita sebagai bangsa Indonesia yang meratifikasi konven tentang HAM, mengamandemen Konstitusi dengan Pasal-Pasal tentang Jaminan HAM dan pelaksanaannya dibuat dalam Undang-Undang untuk menjamin hak orang, tidak akan pernah terwujud selama di ruang akademik saja dibatasi orang berbicara dan berekspresi dengan D.O.

Untuk itu dalam mewujudkan pendidikan yang bersih, mengedepankan kebebasan akademik, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memenuhi hak asasi setiap orang dengan pembatasannya adalah hak dan kebebasan orang lain maka segala bentuk tindakan unjuk rasa damai/demonstarsi damai yang dilakukan setiap mahasiswa/orang lain harus dimaknai sebagai ekspresi atas hak yang dilindungi oleh konstitusi dan peraturan perundangan dibawahnya termasuk Statuta UNKHAIR. Sehingga tindakan represifitas dan pengekangan terhadap hak berekspresi harus dijadikan sebagai musuh setiap orang yang menginginkan tegaknya demokrasi dan HAM.

Berdasarkan uraian di atas, dengan tegas, untuk ruang demokrasi, kebebasan akademik dan juga kebebasan intelektual, maka kami Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua [FRI-WP] menuntut:

  1. Cabut Surat Keputusan Rektor Universitas Khairun (Unkhair) Ternate nomor 1860/UN44/KP/2019.
  2. Menuntut kepada Mentri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Anwar Makarim untuk membebastugaskan Rektor Universitas Unkhair, karen telah mencederai hak mahasiswa untuk berkumpul, berekspresi, dan berpendapat yang dijamin dalam konstitusi.
  3. Berikan jaminan kebebasan akademik sesuai dengan amanat konstitusi.
  4. Menyerukan dukungan solidaritas untuk kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat.
  5. Menuntut pertanggungjawaban pihak Universitas Khairun Ternate atas penggunaan kekerasan dalam pembubaran massa aksi Solidaritas Perjuangan Demokrasi Kampus pada Senin, 30 Desember 2019.
  6. Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua sebagai Solusi Demokratis.
  7. Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah West Papua.
  8. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, MIFE, dan yang lainnya, yang merupakan Dalang Kejahatan Kemanusiaan di atas Tanah West Papua.
  9. Segera Jamin Kebebasan Jurnalis Nasional, Internasional dan akses terhadap informasi di West Papua.
  10. Bebaskan seluruh Tahanan Politik Papua, termasuk Surya Anta Ginting tanpa syarat!

Demikian pernyataan sikap ini dibuat, atas dukungan, partisipasi dan kerjasama oleh semua pihak, kami ucapkan banyak terima kasih.

Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!

Kamis, 02 Januari 2020

Aliansi Mahasiswa Papua [AMP]

dan

Front Rakyat Indonesia untuk West Papua [FRI-WP]

Loading

Comment here