Tahun 2019 ini film Gundala diluncurkan sebagai kick starter proyek ambisius jagoan-jagoan super nasional Indonesia di bawah Jagat Bumi Langit. Berbeda dengan epos pahlawan super Marvel maupun DC, film Gundala tahun ini tidak berpusat sekadar pada pertarungan pahlawan super lawan kriminal/penjahat (super). Gundala, di tangan sutradara Joko Anwar, justru diletakkan dalam pergolakan rakyat.
Sejak menit pertama, Gundala dibuka dengan masalah pertentangan kelas buruh lawan kelas pemodal yang berujung pada terenggutnya keluarga Sancaka kecil, tokoh utama film. Sebagai kisah muasal atau “origin story”, unsur tatanan masyarakat penghisapan, pertentangan antara penindas dan yang ditindas, hingga muslihat penguasa dan pengkhianatan dalam gerakan, merupakan faktor pencipta Gundala. Faktor sama pentingnya dengan petir misterius yang menyambarnya dan menjadikannya pahlawan super Indonesia.
Indonesia dalam film ini sendiri adalah masa kini versi suram. Kenyataan alternatif dimana penjarahan, pembakaran, pembunuhan, tidak mereda setelah 98 dan dekade awal 2000an. Para anggota legislatif terang-terangan tunduk di bawah kontrol mafia atau diancam mati. Sementara aparat hanya jadi tukang pukul pemodal dan tidak ada jaminan keamanan maupun keselamatan bagi rakyat jelata.
Dalam kehidupan Sancaka, dua falsafah saling bertentangan dan beradu. “Tidak usah ikut campur urusan orang lain dan cari masalah” berkebalikan dengan “kalau manusia tidak mau membantu sesamanya, maka sudah kehilangan kemanusiaannya dan tidak ada gunanya hidup.” Pandangan cari selamat sendiri lawan pandangan saling membantu. Apatisme lawan humanisme dan altruisme. Pilihan manapun yang diambil ada akibatnya, dari sejak Sancaka kecil sampai besar. Seringkali karena terpaksa dan diambil dalam kebimbangan. Setiap Sancaka memutuskan campur tangan dan ikut melawan, ia mendapati masalah itu adalah turunan dari masalah yang lebih besar. Pelabrakan preman terhadap tetangganya adalah turunan dari teror penggusuran. Teror penggusuran berujung dengan pembakaran pasar. Pembakaran pasar berhubungan dengan monopoli tanah. Semuanya lalu berkaitan dengan para politisi yang berada di bawah kontrol bos mafia yang dijuluki Pengkor.
Tentu saja sebagai film pahlawan super, meskipun soal pergolakan rakyat menjadi latar utama Gundala namun sebagai konsekuensinya pengorganisiran massa kurang menduduki porsi cukup. Ada mobilisasi buruh, ada demonstrasi petani, ada orasi para pedagang pasar, ada perempuan Tionghoa yang menyampaikan keprihatinannya ke para penumpang bus, namun tidak ada organisasi sebagai alat perjuangan rakyat. Mayoritas mengandalkan spontanitas. Sebaliknya, yang memiliki organisasi, justru kaum-kaum reaksioner. Ada partai-partai borjuis (yang tidak disebutkan nama maupun atributnya), ada Rumah Perdamaian sebagai persekongkolan rahasia klik para politisi, ada organisasi para pembunuh yang bekerja untuk Pengkor, dan sebagainya. Tapi rakyat-pekerja dan kaum tertindas itu sendiri, dalam film Gundala, tidak ditampilkan punya serikat apalagi partai revolusioner. Sebaliknya kita malah menemukan kompromi taktis. Gundala bekerjasama dengan politisi borjuis untuk melawan sang mafia sebagai musuh bersama.
Ini model yang kerap kita temukan dalam konsep gerakan moral seperti yang dicetuskan Arief Budiman. Bekerjasama dengan kubu penindas lainnya untuk melawan penindas yang berkuasa. Seperti mahasiswa angkatan 66 yang bekerjasama dengan sayap Kanan Angkatan Darat untuk menghancurkan PKI dan menggulingkan rezim Demokrasi Terpimpin-Sukarno. Oleh karena itu kita juga bisa menemukan pemikiran Arief dan Soe Hok Gie yang menarik idola dari tokoh Shane dari film koboi berjudul sama. Sosok yang datang menumpas para bandit penjahat namun tidak tinggal untuk menikmati imbal jasa maupun membangun kekuasaan. Bahwasanya gerakan mahasiswa haruslah berupa gerakan moral yang memainkan peran sebatas kelompok penekan lalu pergi lagi. Kepahlawanan model begini yang sempat dianut Sancaka. Sampai kemudian dia sadar betapa rawannya perdamaian dan sementaranya kemenangan yang dicapainya.
Elemen ambiguitas moral serta distopia yang kerap dipakai Joko Anwar di film-filmnya seperti Pengabdi Setan dan Kala, juga bisa ditemukan di Gundala. Ada buruh yang teguh dalam perlawanannya tapi juga ada yang khianat. Ada pengorganisir petani yang memakai muslihat culas untuk melawan tuan tanah. Ada tuan tanah yang kejam dan serakah tapi kekejaman balasan terhadap anaknya yang tidak bersalah malah melahirkan monster jahat lainnya. Ada polisi yang brutal tapi ada juga polisi yang ragu menembak demonstran. Ada anggota legislatif yang idealis dan ada yang korup. Ada preman yang tidak ragu kasar terhadap lawannya tapi di sisi lain takut pada istrinya. Sebagaimana kenyataan itu sendiri, banyak tokoh di film Gundala kompleks dan tidak datar.
Dari segi laga, Gundala minim gerak lambat atau “slow motion” bahkan minim “power attack” atau serangan pamungkas yang selama ini jadi khas perfilman pahlawan super. Dengan tepat Joko Anwar menerapkan pertarungan model The Raid dengan kamera berguncang atau “shaking camera” yang banyak dikeluhkan kritikus memusingkan penonton. Pertarungan MEMANG seharusnya bikin pusing. Bahkan menyakitkan dan bisa mengancam nyawa. Sedikitnya penonton harus merasakan itu. Bukan menyaksikan dari jauh dengan utuh dan nyaman seperti penonton gulat profesional dan menikmati sensasi simulasi kekerasannya, atau dalam hal ini sabung pencak silat di jalanan.
Soal pemakaian pencak silat sebagai instrumen seni bela diri bisa diapresiasi sebagai pengangkatan salah satu produk seni budaya tradisional di Indonesia ke layar lebar. Walaupun di sisi lain Joko Anwar juga bisa dianggap terjebak pada pembingkaian seni budaya tradisional di Indonesia secara negatif. Misalnya salah satu anak angkat Pengkor yang menjadi anak buah-pembunuhnya merupakan penari tradisional dan menggunakan tariannya sebagai seni membunuh. Kemudian bahasa Jawa kuna dipakai untuk membangkitkan sosok jahat dari masa lalu. Namun di sisi lain, para anak buah Pengkor juga banyak yang memakai identitas seni budaya Barat untuk kejahatan dan pembunuhan, seperti biola dan musik klasik, chef, pelukis abstrak, pematung kontemporer, psikiatri dan hipnosis, serta lain sebagainya. Menunjukkan bahwa buah modernisme bisa sama beracunnya bila digunakan menindas.
Secara keseluruhan, Gundala adalah sebuah pengecualian dalam genre film-film pahlawan super yang stereotipikal. Sarat konteks sosial dan kritik politis. Penempatan narasinya di tengah pergolakan rakyat merupakan poin istimewa tersendiri. Sayangnya peran Gundala sebagai pahlawan super di sini bukanlah mendorong perjuangan rakyat untuk menang menggulingkan tirani dan merebut kekuasaan melainkan lebih mirip sebagai pemulih keteraturan di tengah kekacauan.
ditulis oleh Leon Kastayudha, kader PS dan anggota Sosialis Muda
[…] Hal itu adalah sindrom kepahlawanan yang terlihat bukan hanya dari bagaimana ia merasa mahasiswa sebagai agent of change dan memisahkan mahasiswa dari masyarakat, tapi juga bagaimana ia kerap kali mendefinisikan diri sebagai seorang ‘koboi’. […]