ditulis oleh Michael Roberts
Indonesia baru saja melaksanakan pemilihan umum. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, presiden, wakil presiden, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) akan dipilih dalam waktu yang sama oleh 190 juta pemilih yang sah. Ini merupakan pemilihan terbesar di dunia yang dilakukan dalam waktu sehari (di India pemilihan dilakukan lebih dari sebulan)
Dalam pemilihan presiden, presiden Indonesia yang sedang berkuasa, Joko Widodo yang dikenal sebagai Jokowi, akan kembali menjadi kandidat dalam proses pemilihan presiden, yang bersanding dengan K.H Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden, berhadapan dengan mantan jenderal Prabowo Subianto dan mantan wakil gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno untuk periode 5 tahun terhitung tahun 2019-2024. Dalam pemilihan presiden kali ini, Jokowi kembali berhadapan dengan Prabowo sebagaimana yang terjadi pada pemilihan presiden tahun 2014 yang mana Jokowi mengalahkan Prabowo.
Jajak pendapat yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey menunjukkan bahwa Jokowi akan kembali terpilih sebagai presiden untuk periode kedua. Modal internasional akan menyambut dengan suka cita kemenangan jokowi hanya karena mereka dapat mengandalkan jokowi untuk mendukung investasi asing dengan insentif dan mempertahankan kebijakan yang ‘stabil’ untuk mata uang dan keuangan publik. Dengan hanya mengandalkan kemenangan jokowi, pemodal asing telah masuk ke bursa saham Indonesia pada 2 bulan pertama tahun 2019.
Prabowo telah mengangkat isu kampanye nasionalis, Muslim konservatif garis keras yang tidak menarik bagi modal asing. Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia dan merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, di samping sebagai anggota dari G20. Indonesia juga merupakan negara yang menempati peringkat ke-11 perekonomian terbesar di dunia berdasarkan nominal PDB. Tetapi berdasarkan PDB per-kapita, Indonesia hanya menempati peringkat ke-115 di dunia dimana Tiongkok berada di urutan ke-67, atau hanya 6% dari AS.
Jadi bagaimana keadaan ekonomi Indonesia saat pemilu dimulai? Di sini, saya sangat mengapresiasi bantuan dari setiap pembaca blog dari Indonesia atau negara-negara Asia lainnya atas pendapat mereka karena selalu sulit untuk mengukur hal-hal dengan benar dari jauh. Di bawah ini adalah beberapa analisa terkait hal tersebut.
Indonesia adalah negara yang sektor ekonominya banyak ditopang oleh bahan bakar fosil yang didominasi oleh minyak dan gas, di samping beberapa perkembangan manufaktur. Pertanian adalah sektor utama yang berkontribusi terhadap 14% dari PDB Indonesia. Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, menyediakan sekitar setengah dari pasokan dunia. Dorongan rakus untuk menanam kelapa sawit telah menghancurkan banyak habitat alami negara ini dan kehidupan para petani.
Dari sudut pandang sebagian besar orang Indonesia, Jokowi telah mengecewakan. Dalam memenangkan pemilihan pada tahun 2014, salah satu tujuan yang disampaikan Jokowi adalah mengejar pertumbuhan ekonomi di Tiongkok dan India, tetapi telah gagal mencapai target pertumbuhan sebesar 7% pada periode pertamanya. Pertumbuhan rata-rata sekitar 5% per tahun dalam lima tahun terakhir dan, mengingat perlambatan global saat ini, angka itu kemungkinan akan melambat lebih lanjut. Dan ketika pertumbuhan populasi diperhitungkan, PDB riil per kapita hanya akan naik kurang dari 4% selama beberapa tahun ke depan, bahkan jika tidak ada resesi global. Tentu, itu adalah tingkat pertumbuhan yang baik menurut standar ekonomi kapitalis maju, tetapi tidak cukup untuk mengangkat ekonomi pada tingkat ‘penghasilan menengah’ yang sering disebut oleh Bank Dunia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia telah melambat dalam dekade terakhir akibat dari jatuhnya modal dan tenaga kerja serta produktivitas faktor total (inovasi), bertahan di bawah rekan-rekannya. Indonesia masih berada di belakang Tiongkok dan India, setidaknya dalam hal PDB. Kemungkinan akan gagal untuk lolos dari kategori ekonomi ‘penghasilan menengah’ di masa mendatang.
Pertumbuhan yang semakin melambat menyebabkan semakin terbatasnya lapangan pekerjaan berkualitas bagi hampir 2 juta tenaga kerja baru setiap tahun. Jokowi memiliki tujuan untuk menciptakan 100 juta lapangan kerja dalam 5 tahun ke depan dalam kondisi perekonomian dengan setengah dari 260 juta populasi Indonesia berada pada usia di bawah 40 tahun. Tingkat pengangguran mendekati level terendah dalam kurun waktu 20 tahun sebesar 5,3%, yang terlihat baik dalam laporan di atas kertas tetapi menyembunyikan persoalan pengangguran yang semakin berkembang. Jumlah orang yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu semakin meningkat. Hampir 36 juta orang, mendekati 1/3 dari total angkatan kerja, diklasifikasikan sebagai pengangguran, berdasarkan statistik resmi.
Sementara tingkat kemiskinan (sebagaimana didefinisikan oleh Bank Dunia) telah turun setengah sejak tahun 1999, ini adalah ilusi. Kesenjangan antara kaya dan miskin telah tumbuh lebih cepat di Indonesia daripada di negara lain mana pun di Asia Tenggara. Sebuah laporan Oxfam tentang ketimpangan di Indonesia menemukan bahwa empat orang terkaya di Indonesia sekarang memiliki kekayaan lebih dari 100 juta orang termiskin di negara ini. Menurut Asia Wealth Report, Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi berdasarkan high-net-worth individuals (HNWI) yang diprediksi berada di antara 10 negara ekonomi Asia. Ini tercermin dalam indeks Gini negara yang mengukur ketimpangan dari 0 (persamaan sempurna) hingga 100 (ketidaksetaraan sempurna). Perkiraan Bank Dunia mengungkapkan bahwa indeks Gini Indonesia meningkat menjadi 39,0 pada 2017 dari 30,0 pada 1990-an.
Laporan dari The Wealth pada tahun 2015 oleh Knight Frank menunjukkan bahwa pada 2014 ada 24 orang dengan kekayaan bersih di atas US $ 1 miliar. Memang 1% dari populasi Indonesia memiliki 49,3% dari kekayaan negara tersebut senilai $ 1,8 triliun. Sebaliknya, sekitar 1 dari 3 anak di bawah usia 5 tahun di Indonesia menderita stunting yang mencerminkan perkembangan otak yang terganggu yang akan mempengaruhi peluang masa depan anak-anak. Pertumbuhan ekonomi belum merata sebagaimana lazimnya ekonomi kapitalis. Di sebuah Negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau yang membentang dengan jarak yang setara antara New York ke London, pulau Jawa, rumah bagi ibukota Jakarta, menyumbang hampir 60% dari produk domestik bruto tahunan Indonesia. Sementara ekonomi Jakarta tumbuh 6,4% tahun lalu, provinsi Papua, wilayah paling timur Indonesia (dianeksasi dalam perang oleh para jenderal Indonesia) dikontrak sekitar 17,8%.
Jakarta adalah salah satu kota terpadat di Bumi, jadi Jokowi berusaha untuk mendorong proyek infrastruktur untuk mengatasi persoalan yang terjadi akibat kepadatan tersebut. Tetapi Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan upaya yang dilakukan Tiongkok. Akhirnya Indonesia mempunyai jalur kereta bawah tanah pertama pada bulan Maret. Tetapi sayangnya, infrastruktur tersebut dibangun atas landasan modal dan pasar asing untuk mendanai proyek-proyek, rencana infrastruktur yang diproklamirkan secara luas senilai $ 350 miliar pada tahun 2025 gagal.
Salah satu masalah adalah bahwa orang kaya, tidak membayar pajak sesuai proporsinya sehingga pendapatan pajak hanya mencapai 11,5% dari PDB. Akibatnya, simpanan dan sumber daya domestik tetap berada di tangan orang kaya, dan memaksa pemerintah untuk berhutang dalam rangka mewujudkan investasi. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan defisit eksternal, sehingga memberikan tekanan pada mata uang rupiah. Defisit saat ini mencapai $ 8,5 miliar pada tahun 2018 atau 3,5% dari PDB.
Hal ini membuat Indonesia bergantung pada modal asing untuk mendanai kebutuhan impornya, aliran masuk yang dapat berubah-ubah karena sentimen investor berubah. Dalam krisis keuangan global terakhir, Indonesia telah ditempatkan di kubu ‘negara-negara besar yang rapuh’ yang rentan terhadap pelarian modal global. Indonesia menjadi target aksi jual pasar tahun lalu, dipicu oleh kenaikan suku bunga AS dan dolar yang lebih kuat. Rupiah merosot lebih dari 5% terhadap dolar pada tahun 2018, turun ke level terendah sejak krisis keuangan Asia dua dekade sebelumnya, karena investor menarik diri dari saham dan obligasi negara. Pasar ekspor utama Indonesia adalah Tiongkok, AS, dan Jepang; sehingga setiap kemerosotan di negara-negara tersebut akan sangat mempengaruhi kemampuan Indonesia untuk membiayai pertumbuhan dalam negeri.
Badan-badan internasional dan modal asing menginginkan Indonesia untuk melakukan reformasi ‘neoliberal’ sebagai solusi mereka untuk meningkatkan produktivitas dan angka pertumbuhan. Jokowi tidak cukup tanggap dalam melakukan ini. “Jokowi terus menghindar dari reformasi keras yang diperlukan untuk meningkatkan prospek jangka panjang negara tersebut (Indonesia),” kata Gareth Leather, ekonom senior Asia di konsultan riset Capital Economics. “Secara khusus, presiden tidak membuat kemajuan dalam membebaskan pasar tenaga kerja Indonesia yang kaku,” tulis Leather dalam sebuah catatan baru-baru ini. “Selama masih sangat sulit untuk merekrut dan memecat pekerja, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mengembangkan jenis produksi padat karya yang telah menopang keberhasilan ekonomi negara-negara lain di kawasan ini.” Beri kami tenaga kerja murah dan semua akan baik-baik saja.
IMF ingin pemerintah melepaskan dominasi BUMN sebagai sektor-sektor ekonomi utama. Seperti yang dikatakan IMF dalam laporan terbaru tentang Indonesia: “Peran dominan BUMN (perusahaan negara) perlu dikurangi. Meskipun aset telah meningkat menjadi sekitar 50% dari PDB dan pendapatan stabil, efisiensi BUMN menurun hingga 2015. Ini menunjukkan bahwa BUMN telah meningkatkan kegiatan non-komersial mereka dan menerima subsidi implisit, termasuk melalui kontrol harga (misalnya, pada gas, listrik, harga tiket pesawat, dan harga eceran berbagai produk) dan pembatasan impor-ekspor. Praktik-praktik ini dapat merusak kekuatan keuangan BUMN, meningkatkan risiko fiskal dari liabilitas kontinjensi, dan menghentikan investasi swasta.”
Ya, masalahnya adalah bahwa sektor negara dapat ‘menyingkirkan’ sektor perusahaan milik swasta. Tetapi yang terakhir tidak akan berinvestasi dalam infrastruktur yang diperlukan untuk pertumbuhan yang lebih inklusif dan tidak akan membayar pajak untuk mendanai investasi semacam ini. Ke arah mana Jokowi akan bersikap?
Naskah diambil dari blog Michael Roberts Blog. Dapat diakses melalui Jokowi’s challenges dimuat pada 14 April 2019. Diterjemahkan oleh Ken Mahayu.
Comment here