Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal di usia 83 tahun pada 12 September 2019. Sebagai seorang Presiden ketiga Republik Indonesia, pemerintahannya berada di antara pergolakan Orde Baru dengan reformasi. Awalnya keterlibatan Habibie masuk Golkar dan pemerintahan Suharto tidaklah mengusung agenda demokratisasi apalagi penegakan Hak Asasi Manusia sama sekali. Posisinya lebih sebagai teknokrat yang diperlukan rezim Orba untuk mendorong industrialisasi dan pengembangan teknologi.
Pembuka demokratisasi sebenarnya adalah massa rakyat yang menghendaki reformasi. Gerak menuju penghapusan tirani ini sebenarnya sudah dimulai sebelum Krisis Finansial Asia dan sebelumnya oleh kaum muda radikal. Aksi massa, mimbar bebas, pendudukan, penyebaran wacana perlawanan merebak dimana-mana. Krisis, yang mana tidak mampu ditanggulangi rezim, hanya mempercepatnya. Ledakan-ledakan protes kemudian bermunculan dan menyebar kemana-mana sejak Januari 1998. Bukan hanya mahasiswa, buruh, bahkan termasuk pekerja kerah putih, kaum miskin kota, kelompok-kelompok perempuan, ibu rumah tangga, semua terlibat protes dan pengorganisiran yang menuntut demokratisasi serta turunkan Suharto. Rezim membalasnya dengan rangkaian penculikan, teror, penembakan, dan berbagai tindakan reaksioner lainnya.
Habibie ditunjuk Suharto sebagai Wakil Presiden menggantikannya pada Maret 1998 sebagai bagian dari kompromi tirani karena gerak reformasi tidak bisa dibendung lagi. Ribuan bahkan puluhan ribu rakyat di berbagai wilayah bukan hanya berdemonstrasi tapi juga melancarkan mogok, aksi-aksi pendudukan, bahkan perlawanan terhadap semua hal terkait Orba. Sehingga juga terdapat protes dari lapisan massa yang menolak Sidang Istimewa MPR 1998 dan menolak kepresidenan Habibie karena ia bagian dari Orba.
Habibie terpaksa memberikan banyak kompromi kepada massa aksi reformasi yang menuntut demokratisasi ini. Ia meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional menyangkut hak-hak buruh, mengizinkan pelepasan banyak tahanan politik Orba, menandatangani Undang-Undang Pers, menghapuskan Kementerian Penerangan, dan sebagainya. Sementara di sisi lain bagi kapitalisme, Habibie juga berusaha mengurangi sistem kartel dan kroni yang mengakar kuat di Orba demi pembukaan liberalisasi ekonomi dan otonomi daerah. Kepresidenan Habibie adalah strategi keluar paling aman bagi Suharto dan Orba dengan mengakomodasi sebagian tuntutan massa dan melindungi kekuatan lama. Pengadilan terhadap tindak pidana korupsi Suharto dan kroninya memang dilaksanakan. Namun kemudian beredar rekaman telepon Habibie dengan Andi Muhammad Ghalib yang ditunjuknya sebagai Jaksa Umum mengungkap bahwa pengadilan itu hanya sekadar pertunjukan untuk memuaskan publik. Pengadilan terhadap Tommy Suharto juga dilasanakan namun dengan pelintiran ganjil. Mendadak saksi-saksi kunci, termasuk Rahardi Ramelan mengubah kesaksiannya dan Tommy divonis tidak bersalah
Akomodasi terhadap banyak tuntutan reformasi bukan berarti membuat rezim Habibie bersih dari teror dan represi. Terdapat kekerasan seksual dan pembunuhan 9 Oktober 1998 terhadap Ita Martadinata, korban sekaligus aktivis yang menuntut keadilan atas perkosaan massal dalam Pogrom 1998 terhadap perempuan Tionghoa. Selain itu terdapat pengerahan pasukan dan tank-tank untuk menghentikan pergerakan buruh dari kawasan industri yang hendak berdemonstrasi ke Jakarta. Rezim Habibie juga berupaya keras mempertahankan SI MPR 1998 karena SI tersebut adalah legitimasi bagi kekuasaannya. SI MPR 1998 adalah sidang Orde Baru yang diikuti Golkar, PPP, PDI dan TNI-POLRI hasil Pemilu 1997. Untuk menjaganya selain menggunakan aparat bersenjata, kelompok milisi sipil reaksioner juga dimobilisasi.
Dukungan terhadap Orde Baru endgame alias perginya Orba secara aman ini perlu dibangun dari kaki sipil dan kaki militer. Dari kaki sipil dimunculkanlah Deklarasi Ciganjur yang bukan hanya mendukung kepresidenan Habibie namun juga merendam banyak tuntutan mendasar reformasi seperti bubarkan Golkar, adili Suharto dan para pendukungnya, adili dan sita harta para pelaku Korupsi, Kolusi, Nepotisme. Sedangkan dari segi militer, Wiranto berperan mengamankan dukungan bagi rezim baru ini. Penindasan dilancarkan terhadap para demonstran yang menentang Habibie. Bahkan Wiranto turut mengorganisir Pam Swakarsa, milisi-milisi sipil reaksioner bersenjatakan bambu runcing, klewang, celurit, dan senjata tajam lainnya untuk menyerang para demonstran penentang SI MPR 1998. Represi terhadap aksi anti-SI MPR 1998 menewaskan delapan orang dan menciderai 226 orang lainnya. Selain itu Wiranto juga diduga kuat berada di balik pelanggaran HAM di penembakan Semanggi I dan II. Suatu pelanggaran HAM yang menarget demonstran penentang SI MPR. 17 warga sipil tewas dalam penembakan Semanggi I dan 12 orang tewas serta 217 korban luka-luka dalam penembakan Semanggi II.
Wiranto ini pula yang lantas diduga kuat mengorganisir pelanggaran HAM besar-besaran terkait referendum kemerdekaan Timor Leste. Habibie yang meskipun menghendaki Timor Leste tetap sebagai provinsi Indonesia dengan otonomi lebih besar memilih menawarkan referendum untuk dilaksanakan 30 Agustus 1999 tanpa berkonsultasi lebih dahulu dengan elit militer, termasuk Wiranto. Militer yang mengetahui ini mengorganisir aksi-aksi kelompok paramiliter untuk menyerang kelompok-kelompok pro-kemerdekaan di Timor Leste. Bahkan juga terdapat pembakaran-pembakaran di Dili. Setidaknya 1.400an warga sipil tewas akibat ini. Habibie sejak awal menolak masuknya pasukan penjaga perdamaian PBB. Bahkan saat para delegasi PBB menemuinya di Jakarta pada 8 September, Habibie menyatakan laporan pertumpahan darah di Timor Leste hanyalah kebohongan dan rekaan belaka. Barulah pada 12 September Habibie menerima mandat PBB di Timor Leste untuk menarik TNI dan menerima masuknya pasukan penjaga perdamaian PBB. Mundurnya militer Indonesia ini pun juga diiringi dengan tindakan bumi hangus, penghancuran, dan pembunuhan terhadap banyak warga sipil dan jurnalis.
Setelah selesai menjalankan perannya untuk transisi, Habibie tak diperlukan lagi. Ia disingkirkan faksi Akbar Tandjung dan Golkar sendiri turut menolak laporan pertanggungjawabannya sebagai presiden. Habibie mencoba meraih dukungan militer dengan menawarkan Wiranto maju jadi calon wakil presidennya tapi Wiranto menolak. Akhirnya Habibie mencabut pencalonannya sebagai presiden dan Abdurrahman Wahid menggantikannya sebelum digulingkan oleh Megawati bersama militerisme dan sisa-sisa Orba lainnya. Tanpa basis massa apalagi dukungan politik, ICMI tidak lagi memainkan peran penting bagi posisinya dan Habibie menghabiskan waktu lebih banyak di Jerman. Barulah pada rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Habibie kembali memainkan peran di Indonesia sebagai penasihat kepresidenan. Momentum ini yang kemudian digunakannya untuk mendirikan Habibie Centre. Suatu lembaga pemikir atau think tank yang mengaku memajukan demokrasi dan perlindungan HAM namun bergeming terhadap kasus-kasus pemberangusan serikat, penembakan petani, dan rasisme terhadap Papua.
ditulis oleh Leon Kastayudha, Kader Perserikatan Sosialis dan Anggota Sosialis Muda.
Comment here