Pada tanggal 17 Agustus 2019, bertepatan hari peringatan kemerdekaan negara Republik Indonesia ke-74 sekaligus menjadi peristiwa kepedihan yang dialami bagi rakyat Papua. Gejolak bermula terjadi di daerah Surabaya ketika mahasiswa Papua dituding menjatuhkan “Bendera Merah Putih” depan Asrama kedalam “selokan parit” oleh kelompok ormas reaksioner juga kelompok aparat tanpa bukti-bukti valid.Tanpa berkompromi atau mencari tahu kebenarannya, mahasiswa Papua langsung diserang, diintimidasi dan dianiaya hingga ditahan. Tak hanya itu, beberapa kelompok ormas reaksioner juga menyerukan “Usir Papua” dan juga hinaan rasial terhadap mahasiswa papua tepat di depan asrama.
Hal tersebut bukan pertama kalinya, persoalan rasisme yang terjadi mendorong kemarahan di berbagai daerah hingga tanah Papua yang menggelorakan semangat anti-rasisme hingga menuntut ruang demokratis di tanah Papua yang selalu dikeruk sumber daya alamnya, di sisi lain penganiayaan dan pembunuhan bukanlah hal baru dari awal mula ditariknya Papua kedalam NKRI. (Trikora, Pepera, Biak berdarah dls.)
Namun rakyat Papua secara khusus tidak pernah mendapatkan ruang demokrasi tersebut. Bahkan pasca Reformasi 1998, Papua terus menjadi tempat dan sasaran dari cengkraman kekuatan Imperialisme yang digardai oleh kelas berkuasa dan militerisme Indonesia. Pembantaian rakyat Papua dan aktivis-aktivisnya tidak pernah mendapatkan keadilan. Sementara kejahatan kemanusiaan baru terus terjadi. Hanya di Papua terjadi penangkapan sistematis terhadap ribuan rakyat karena menyampaikan pendapatnya. Hanya di Papua anda bisa ditangkap karena membagikan selebaran dan mencetak spanduk aksi. Hanya di Papua, aktivis bisa dibunuh begitu saja oleh orang tidak dikenal dengan senjata api atau ditabrak di tengah jalan.
Ruang demokrasi itu juga tidak tersedia bagi rakyat Papua di luar Papua. Terhadap aksi yang terkait dengan Papua, polisi mempersulit mekanisme pemberitahuan aksi, kemudian polisi melakukan mobilisasi pasukan besar-besaran bersenjata lengkap dengan water cannon dan pasukan anti huru hara bahkan hingga melakukan blokade dan pengepungan.
Gejolak kembali membesar saat 14 Agustus 2019, 182 Warga Nduga, Papua dibunuh dan ribuan orang mengungsi ke berbagai daerah, setelah pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 17 agustus hampir seluruh daerah bersolidaritas terhadap persoalan rasisme, sampai hari ini pemberangusan demokrasi terjadi di tanah papua, akses telekomunikasi diputus, jurnalis dilarang memuat berita dan juga rezim terus mengutus ribuan aparat ke tanah Papua, sebagai upaya meredam gerakan rakyat dengan intimidasi dan penganiayaan di berbagai daerah terhadap Aktivis Papua maupun Non-Papua. selain itu pada 31 agustus dilakukan di sekitar daerah Jabodetabeka 8 aktivis pro-demokrasi ditangkap. tidak berhenti disitu bahkan aksi massa yang tergabung dalam “Aksi Front Rakyat Anti Rasisme Deiyai, Papua” dikabarkan 7 orang dibunuh.
Oleh karena itu, ini bukanlah permasalahan pendatang atau non-pendatang maupun permasalahan Papua atau non-Papua tapi merupakan masalah kemanusiaan. Kami dari Aliansi Anti-Rasisme menuntut :
1. Persatuan Rakyat Tertindas, Lawan Rasisme!
2. Tangkap, Adili, dan Penjarakan, Pelaku Pelanggaran HAM
3. Hentikan pemblokiran Akses Telekomunikasi di Papua.
4. Hentikan Penangkapan Rakyat Papua.
5. Bebaskan Seluruh Aktivis Papua.
6. Hentikan Intimidasi terhadap Rakyat Papua.
7. Tarik MIliter dari Tanah Papua.
8. Demokrasi Sejati Bagi Rakyat Papua.
Humas Aksi : Yohanes Richardo N.W (cp : 085347121638)
Bangun Solidaritas…!!!
Hidup Mahasiswa…!!!
Hidup Rakyat…!!!
Hidup Perempuan Yang Berlawan…!!
Comment here