(Minggu, 25/08/2019) Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA) di Malang menggelar konferensi pers yang membantah hoax mahasiswa Papua di Malang mencari perlindungan ke Front Pembela Islam (FPI) maupun meminta perdamaian. Siswa-siswa Papua yang bersekolah di SMK Negeri 1 Malang ini mengemukakan, “…pada malam itu kami didatangi tamu-tamu yang tidak dikenal dan di situlah kami dipaksa membuat video dan foto bersama mereka. Itu kami disuruh menceritakan keadaan kami yang dialami di sekolah, dan kami cerita semua. Kata mereka, mereka mau buat video ini buat melindungi kita. Tapi di sekitar Bumi Ayu saja, tidak tersebar. Tapi mereka membohongi kita dan video itu sudah tersebar kemana-mana di seluruh Indonesia. Kami tidak tahu apa-apa, kami pelajar baru di sini. Baru satu bulan lebih. Kelas satu SMK…Kami kaget video itu tersebar dan diatasnamakan mahasiswa padahal kami masih pelajar kelas 10 SMK.”
Lebih lanjut mereka menyatakan, “Situasi di Kota Malang, masih panas, tidak aman. Teman-teman sekolah saya saja menghindari.” Bahkan mereka mengaku mengalami perlakuan rasis yang berupa perkataan salah seorang siswa terhadap mereka: “Kenapa orang-orang monyet sekolah di tanah Jawa ini?”
Dalam klarifikasinya membantah video yang disebarkan FPI itu, mereka bersama para pelajar Papua seMalang Raya menyatakan, “tolak oknum-oknum yang menyebarkan hoax di berbagai social media.”
Konferensi pers IPMAPA di Malang juga membantah mahasiswa Papua meminta perdamaian melalui acara Bhineka Tunggal Ika Indah di Bhumi Arema. David Kristian, mahasiswa dari Timika, mengemukakan, “…saya tidak tahu itu adalah event besar yang diliput media. Awalnya hanya diajak saudara pergi makan. Kami makan, berikutnya kami disuruh ke depan untuk makan bersama teman-teman lain. Ternyata ada event besar yang sudah diliput media dan dihadiri tamu undangan pribadi. Pakaian adat sudah disediakan dan agenda sudah di-setting panitia. Sedangkan kawan-kawan Papua di sini tidak terlibat sama sekali sebagai panitia,” ungkapnya. Rizky Mustaqim, mahasiswa Papua lainnya yang berkuliah di Malang mengonfirmasi hal itu. “Terkait acara kita tidak tahu siapa pemrakarsanya. Cuma dikasih tahu lewat media sosial. Tahunya acara makan-makan.” David lebih lanjut menyatakan bahwasanya pernyataan yang dia kemukakan di acara itu hanya opini pribadinya bukan mewakili seluruh mahasiswa Papua.
Franz Huwi dari IPMAPA menegaskan “Sejauh ini sikap mahasiswa Papua seJawa Bali menolak kerjasama dengan pemerintah maupun media-media pendukungnya…tapi kemudian ada aksi-aksi yang muncul di luar koordinasi Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua seIndonesia. Itu diduga sudah di-setting pemerintah sedemikian rupa. Secara organisasional pemerintah Malang tidak berupaya berkomunikasi dengan kami. Pun kalau mereka mau melakukannya, kami akan menolak. Sebab mereka lah aktor penindasan-penindasan yang berlaku,” ucapnya.
“Diskriminasi rasial dan represi terhadap Papua bukan terjadi barusan tetapi sejak dulu,” tambah Franz. Sebagaimana terang Pernyataan Sikap IPMAPA seJawa-Bali pada 24 Agustus 2019: “Rasisme penyebutan ‘Monyet Papua’ itu datang dari kelompok reaksioner berwatak kolonial. Kolonialisme di Papua sudah berlangsung sejak 1962 pasca negara Imperialis Amerika Serikat terlibat dalam Perjanjian New York (New York Agreement) yang melahirkan penjajahan baru di bumi West Papua setelah Belanda. Rasisme, sikap dan tindakan merendahkan martabat harga diri rakyat Papua telah lama dilakukan lewat operasi-operasi militer yang mengakibatkan lebih dari 500 ribu jiwa meninggal dalam pembantaian. Mereka menguasai sumber produksi hingga di pelosok, mengambil semua kekayaan alam Papua untuk tuannya Imperialis Amerika…”
Lewat Konferensi Pers tersebut mereka juga menyerukan perlunya intervensi HAM internasional. Fakta bahwa tindak rasisme dan persekusi terhadap mahasiswa Papua juga turut dilakukan oleh aparat negara menurut mereka sudah membuktikan bahwa institusi hukum maupun penegak hukum di Indonesia tidak bisa dipercaya. Franz mengemukakan, “Komnas HAM sama sekali tidak mengungkap apalagi menghentikan pelanggaran HAM dan menindak pelaku. Persoalan bangsa Papua adalah persoalan kemanusiaan dan karenanya menjadi persoalan internasional, sehingga dibutuhkan intervensi PBB.” Lebih lengkapnya, dalam rilis persnya IPMAPA menyerukan salah satunya agar “Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera jamin keselamatan, kenyamanan, dan keamanan, bagi pelajar dan mahasiswa Papua di seluruh wilayah Indonesia.” Termasuk agar Komisi HAM PBB “…segera meninjau pelanggaran HAM dan memberikan perlindungan kepada seluruh rakyat Papua di West Papua.”
Tidak ketinggalan IPMAPA seJawa-Bali juga menyatakan tuntutan untuk referendum sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua. Selain itu turut menuntut, “tutup semua perusahaan nasional dan internasional milik kapitalis di seluruh tanah Papua.” Sembari di sisi lain menolak upaya provokasi sentimen rasial tandingan. Termasuk argumen yang ingin memulangkan semua pelajar dan mahasiswa Papua, apalagi argumen yang menginginkan orang-orang Indonesia dipulangkan dari Papua. “Mahasiswa Papua akan pulang dari tanah Kolonial Ind0nesia jika dan hanya, jika Papua diberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri,” sebagaimana terang rilis persnya. Franz juga berpesan, “Kawan-kawan tetap pada posisi dan tidak terprovokasi, termasuk dari pemerintah di Papua. Tidak ada maaf dan damai sebelum Hak Menentukan Nasib Sendiri diberikan” (lk)
Comment here