Jumat (12/4/20) Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) gelar konferensi pers bersama para pendamping hukum di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Justitia. Sebagaimana diterangkan rilis pers mereka, “7 april 2019 disaat Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) melakukan aksi demonstrasi damai di depan balai kota Malang dengan menyatakan beberapa pernyataan yakni serukan soal tutup PT. Freeport Indonesia, Golput dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi bangsa West Papua.
Disaat aksi berlangsung, terjadi tindakan represif oleh aparat polresta kota Malang dan orang lainnya yang diduga sebagai ormas berupa pembubaran aksi yang disertai dengan tindakan kekerasan berupa pemukulan, tendangan, dorongan, pelemparan dan penyiraman air kopi bercampur cabai rujak kepada massa aksi. Pembubaran dan pemukulan ini terjadi setelah adanya provokasi dari salah satu anggota intelkam polresta kota Malang bernama Adi Fajar yang mempermasalahkan poster golput yang dibawah oleh massa aksi yang dianggap dapat diproses secara hukum.
Pembubaran dan pemukulan aksi demonstrasi damai juga dilakukan oleh oknum ormas berpakaian sipil yang sebagian menutupi wajah meraka menggunakan penutup wajah, sebentara aparat polresta Malang yang ditempat aksi justru malakukan pembiaran terhadap tindak kekerasan tersebut. Setelah itu massa aksi dipaksakan untuk naik kedalam mobil Dalmas dan di dalam mobil Dalmas tersebut dua massa aksi dipukul oleh aparat polresta berpakaian dinas. Beberapa waktu kemudian massa aksi diturunkan di terminal Landung sari. Peristiwa pembungkaman ruang demokrasi dan tindakan represif bukan baru kali ini terjadi namun, sudah beberapa kali terjadi disaat massa aksi dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) di Malang melakukan aksi demonstrasi damai.”
Fardhan Pardidu mengemukakan, “Kronologi sudah jelas. Kawan-kawan Papua yang sering melakukan aksi di Malang dan beberapa kota lain selalu direpresi kepolisian. Pihak kepolisian juga menskenariokan bahwa aspirasi kawan-kawan Papua tidak diterima masyarakat umum. Tidak tahu apakah terilusi hoax pemerintah Indonesia ataukah memang ormas-ormas ini dibayar untuk merepresi. Bisa lihat di dokumentasi atau video, aksi 7 Maret direpresi ormas dan juga intel berpakaian preman. Mereka menganggap kami seakan kriminal yang harus dihalangi dan ditangkap. Padahal harusnya yang diamankan ya intel-intel dan ormas-ormas itu. Kami hanya sekadar menyampaikan pendapat yang dijamin undang-undang sendiri. … terlepas dari itu surat balasannya menyiratkan masyarakat tidak menerima. Padahal intelkam membangun rasisme dan provokasi serta menakut-takuti kawan-kawan Papua. Sebenarnya itu tidak tentu. Kenyataannya Arema belum tentu tidak sepakat. Yang ada adalah ormas-ormas tertentu yang mengaku sebagai Arema. Sangat penting bagi kami, warga Indonesia, bersolidaritas dengan Papua dan isu-isunya, justru untuk menghargai demokrasi. Bahkan mendewasakan sistem demokrasi Indonesia. Kami sadar semangat Indonesia adalah kemerdekaan bukan penjajahan ataupun diskriminasi.”
Melky, mewakili AMP Malang, merunut kepada Arah Juang ” 30 Maret juga direpresi ormas dan aparat, 19 Desember 2018 juga terjadi represi oleh aparat intel berpakaian preman dan ormas. Kali ini juga terjadi represi, jadi ruang demokrasi di Indonesia benar-benar dikekang.” Menindaklanjuti itu ia menyatakan, “Jadi AMP dan FRI WP galang solidaritas yang lebih luas. Agar demokrasi jadi lebih terjamin karena represi akan terus terjadi bukan hanya Papua tapi juga ke rakyat tertindas.”
Sapda, pendamping hukum dalam Konferensi Pers itu mengemukakan, “…pertama, adanya kekerasan oknum tidak tahu dari mana, tiba-tiba datang. Kedua, kelalaian tugas dari kepolisian. Sebenarnya polisi berwewenang mengayomi masyarakat, memberikan perlindungan. Apa yang terjadi 7 april lalu adalah penyampaian pendapat di muka umum, UUD 45 Pasal 28 E.”
Turut menambahkan dalam kesempatan demikian, Agus Muin dari LBH Neratja Justitia. “Dalam aspek hukumnya, jelas ada pelanggaran prosedural…Jangan sampai dengan peristiwa ini kebebasan berpendapat malah tidak dibebaskan.”
“Kami juga mendesak aparat kepolisian, agar Kapolri dan Polda, menindak tegas aparat yang represif dan ormas yang telah melakukan represi. Ke depannya diharap bisa melindungi kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum”, sambung Melky. Menanggapi soal seberapa besar desakan itu mungkin dituruti institusi polisi, mengingat kepolisian lewat intelkamnya juga melakukan provokasi, lewat aparat berbaju premannya juga melakukan pemukulan, Fardhan Pardidu, mewakili FRI-WP, menyampaikan itu kembali ke respon organisasi-organisasi pergerakan. “Kalau menurut saya tindakan semacam ini, sebagai organisasi mewakili FRI-WP organisasi-organisasi lainnya tidak boleh membiarkan upaya-upaya kepolisian dan intelkam untuk mengisolasi Papua dan gerakan Papua untuk mengisolasi rakyat. Ini penting kita dorong, karena ini upaya kepolisian membungkam kebebasan Papua dalam menyampaikan pendapat dan juga membungkam organisasi-organisasi lainnya di Malang maupun di Indonesia.” Turut hadir para perwakilan organisasi yang bersolidaritas. Organisasi-organisasi yang mengecam represi terhadap aksi AMP dan FRI-WP di Malang, antara lain: PEMBEBASAN, SMART, FMN, Sosialis Muda, Perserikatan Sosialis Malang, Kristen Hijau, LBH Neratja Justitia, IMM Teknik UMM.(lk)
Comment here