Pernyataan Sikap

Lawan Terorisme, Lawan Fasisme!!!

Pernyataan Sikap OKMS Mengutuk Serangan Teroris Fasis terhadap Jamaah Sholat Jumat Christchurch Selandia Baru

Kami, organisasi-organisasi kaum muda sosialis (OKMS) mengecam serangan teroris yang dilakukan empat orang fasis dengan menembaki jamaah sholat Jumat di Masjid Linwood dan Masjid Al Noor, Kota Christchurch, Selandia Baru, dan membunuh setidaknya 49 umat Muslim di sana. Dengan ini kami menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada para korban dan penyintas serangan teroris itu. Mari kita bersama-sama bersolidaritas sekaligus membangun gerakan massa-rakyat-pekerja lintas agama melawan terorisme dan fasisme.

Fasisme dan supremasi kulit putih adalah penyakit dalam peradaban modern. Mereka menyebarkan Islamofobia dan menyalahkan kaum imigran, pengungsi, serta pencari suaka, atas berbagai permasalahan yang sebenarnya akibat kapitalisme. Dalam kasus serangan teroris ke Christchurch ini, kita juga menyaksikan kaum Konservatif dan Kanan Reaksioner malah menyalahkan para korban. Sikap ini bukan hanya mencerminkan bias keberpihakan para politisi borjuis namun juga menunjukkan tidak adanya konsistensi sejati dari mereka dalam pemberantasan terorisme apalagi perjuangan melawan fasisme.

Hal serupa juga bisa kita lihat di Indonesia. Kita tidak lupa tahun lalu, Minggu pagi 13 Mei 2018, ketika sebagian umat Kristiani Surabaya bersiap melakukan ibadah misa pagi, setidaknya tiga gereja di Surabaya dibom.Rentetan bom itu diduga dilakukan kelompok Teroris-Fundamentalis, Jamaah Ansharut Daulah (JAD)—faksi pendukung ISIS terbesar di Indonesia. Mereka terdiri dari pengikut ideolog pro ISIS, Aman Abdurrahman dan Jamaah Anshorul Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Baasyir. Serangan ini membunuh 28 orang tewas dan melukai 57 orang, termasuk di antaranya anak-anak.

Semua aksi terorisme dan pembunuhan sektarian terhadap umat agama lain ini tidak muncul begitu saja. Melainkan efek domino sekaligus tingkat piramida yang lebih tinggi dari penggunaan politik rasis dan kebigotan oleh kaum penindas untuk memecah belah rakyat serta mengadudombanya demi kepentingan perebutan kekuasaan antar elit. Pecah belah dan adu domba terhadap rakyat-pekerja dan kelas buruh oleh kaum penindas ini menghalalkan segala cara. Termasuk penyebaran hoax dan fitnah. Kaum penindas tidak pernah benar-benar berkepentingan atas kebenaran; kepentingan mereka lebih kepada pembenaran agar bisa mempertahankan kekuasaannya dan meneruskan penghisapannya. Kebenaran hanya dipakai bila sesuai kepentingannya dan akan dicampakkan, bahkan mereka tidak segan-segan memproduksi dan menyebarkan kebohongan serta kepanikan bila diperlukan.

Contoh terkininya bisa dilihat di Indonesia yang dijadikan medan penyebaran sentimen anti-kafir terutama dalam momentum Pemilihan Gubernur DKI Jakarta sedangkan di Barat, Islamofobia digenjot habis-habisan sebagai dalih pembenaran invasi imperialisme berkedok perang melawan teror. Dampaknya semakin besar dan menyeluruh karena monopoli media massa oleh kapitalisme. Salah satu contoh terkemukanya adalah monopoli media massa di bawah kapitalis Rupert Murdoch. Selama 2017 saja, koran-koran seperti The Australian, Herald Sun, Daily Telegraph, Courier Mail, dan Adelaide Advertiser menurunkan sebanyak 2.891 tulisan yang menjelek-jelekkan Islam. Tulisan yang hampir tiga ribu jumlahnya itu mengaitkan Islam dan atau Muslim dengan kata-kata seperti kekerasan, ekstremisme, atau terorisme. Ini jelas secara langsung meningkatkan Islamofobia atau sentimen anti-Muslim di Australia (negara asal salah satu pelaku terorisme ke Christchurch). Rasisme dan kebigotan (mulai dari yang terselubung sampai ke yang vulgar) termasuk dalam bentuk-bentuk lainnya (seperti seksisme, homofobia, heteroseksisme, anti-semitisme, dan lainnya) hanyalah salah satu anak tangga menuju tingkat piramida selanjutnya yang lebih tinggi; diskriminasi lalu hasutan kemudian penyerangan hingga pembunuhan massal.

Ada anggapan yang dibangun bahwa fundamentalisme seolah perkembangan alami dari ajaran-ajaran agama. Bahwa ajaran-ajaran agama berkaitan dengan prinsip-prinsip, perspektif politik, hingga tindak tanduk kelompok fundamentalis. Bahwa apa yang dilakukan kelompok fundamentalis merupakan cermin dari agama itu sendiri. Pandangan rasis ini sejatinya digunakan baik oleh kelompok teroris-fundamentalis maupun kelas borjuis itu sendiri. Mereka semua menggunakan agama untuk kepentingan ekonomi politik mereka sendiri. Dalam satu tahun terakhir ini, para elit politik dari kubu manapun juga kembali menggunakan agama mendulang dukungan. Satu persatu mereka akan berkeliling mendatangi para pemimpin agama dan meminta dukungan mereka. Mereka kemudian berlomba-lomba menawarkan program gelontoran dana ke berbagai institusi agama. Sementara itu industri media massa terus menerus menayangkan atau membuat film dengan tema-tema agama demi rating dan modal. Termasuk mengundang pemuka-pemuka agama yang secara terbuka menganjurkan terorisme.

Kedua kubu borjuasi yang bertarung dalam Pilpres 2019 ini pun mengembangbiakkan rasisme dalam mencari dukungan. Presiden petahana Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai Calon Wakil Presidennya, yang mana merupakan otak dibalik Aksi rasis 411 dan 212.Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebelum dibubarkan Wiranto berkali-kali mengundang aparat militer dalam deklarasi maupun acara-acaranya. Wiranto—mantan Pangab Orba sekaligus menteri di rezim Jokowi, sendiri juga punya rekam jejak pendirian Pam Swakarsa yang beririsan dengan Front Pembela Islam (FPI).Chep Hernawan, salah satu pendukung pasangan calon (paslon) Presiden (Capres) dan Wakil Presiden (Cawapres) Prabowo-Sandiaga Uno adalah seorang fundamentalis sekaligus pendukung dan bekas donatur organisasi teroris-fundamentalis ISIS. Namun Chep tidak pernah diadili apalagi dihukum aparat Indonesia. Aparat Indonesia pun punya sejarah panjang berkolaborasi dengan kaum fundamentalis. Orba pun pernah terlibat operasi intelijen pengiriman senjata-senjata bersama Imperialis AS dan Britania untuk kaum Mujahidin menggulingkan rezim Revolusi Saur di Afghanistan. Demikianlah para politisi borjuis maupun aparat tidak pernah benar-benar konsisten melawan terorisme-fundamentalisme maupun fasisme karena dari waktu ke waktu juga mereka manfaatkan.

Khusus soal fasisme, Indonesia sendiri juga punya masalah berat. Mulai dari kolaborasi dengan rezim kolonial fasis Jepang yang mengakibatkan kesengsaraan banyak pekerja paksa/Romusha dan budak seks/Jugun Ianfu. Sampai pembantaian 65 dan rezim kediktatoran militer fasis Orba pimpinan Harto. Sisa-sisa fasisme di Indonesia hingga sekarang tak pernah benar-benar hilang. Milisi-milisi lumpen-premanisme masih terus dipelihara elit borjuis dan militeris. Sementara para pejuang anti-fasis seperti Tan Malaka, Widarta, Amir Sjarifudin, dan lainnya tidak pernah dihargai bahkan diberangus dengan sentimen reaksioner-anti komunisme. Buku-buku fasistis macam Mein Kampf Adolf Hitler bebas dijual dimana-mana sedangkan buku-buku kiri dan anti-fasis diberangus.

Meskipun demikian harus dipahami bahwa serangan para fasis pembunuh ke masjid di Christchurch ini juga dilandasi frustasi mereka atas ketidakmampuan kaum fasis dan Kanan reaksioner membangun gerakan massal. Sebab dari waktu ke waktu, kaum anti-rasis serta anti-fasis menghadang dan melawan mereka. Para fasis pembunuh ini beralih dari gerakan massa ke terorisme individual dan atau gerombolan karena pihak mereka kalah dan dipukul mundur dari satu jalanan ke jalanan lainnya. Para fasis ini, termasuk yang dari Australia, saat ini tidak mampu membangun gerakan massa sebesar gerakan anti-perubahan iklim baru-baru ini. Perjuangan anti-fasis sudah menempuh jalan yang benar dengan pengorganisiran aksi massa, kontra-demonstrasi, dan perjuangan kelas. Namun selama kapitalisme masih berdiri maka selama itu pula masih ada bibit-bibit fasisme. Oleh karena itu mari kita berjuang bersama bukan hanya melawan terorisme dan fasisme namun juga untuk menggulingkan kapitalisme dan segala bentuk penindasan.Mari membangun solidaritas rakyat pekerja, untuk memperjuangkan perdamaian dunia, untuk memperjuangkan demokrasi, untuk melawan terorisme-fundamentalisme, sauvinisme, militerisme, kapitalisme serta imperialisme, dan menggantinya dengan sosialisme. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah bergabung dalam kekuatan politik revolusioner.

Loading

Comment here