Kritik Terhadap BEM KM UGM, Kelompok #KitaAGNI dan Para Elit-elit Lembaga Mahasiswa UGM
Kamis (22/11), berbagai organisasi dan individu seperti Distraksi, Lingkar Studi Sosialis, KPO-PRP, PEMBEBASAN, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Siempre, Mitra Wacana, Lavender Study Club, PLUSH, Rumah Bangau, Partai Srikandi UGM, PERS!ST Collective serta LBH Yogyakarta melancarkan aksi massa menuntut “Pecat EH” dan “Pecat HS” di UGM pada saat wisuda.
Sebelum “Aksi Melawan Kekerasan Seksual di UGM” tersebut diselenggarakan setidaknya 3 kali konsolidasi. Dalam konsolidasi tersebut BEM KM UGM serta kelompok #KitaAGNI juga terlibat. Mereka memberikan masukan terkait dengan tuntutan, taktik dan lain sebagainya. Terdapat perdebatan, itu hal yang wajar, pun begitu masukan terkait tuntutan-tuntutan mereka hampir seluruhnya disepakati oleh mereka yang terlibat aliansi. Namun setelah konsolidasi, kedua kelompok tersebut menyatakan mundur dari aliansi.
Perwakilan dari BEM KM UGM menyatakan:
“Sore teman2, aku masih mendapati broadcast online yg masih menyantumkan nama BEM di media sosial. Kami menghargai kalo dlm selebaran kertas sudah sulit utk dihapus krn sudah diprint. Tapi tolong dihargai bahwa BEM belum memberikan konsensus untuk dicantumkan namanya secara kelembagaan dalam aliansi. Alasannya sederhana, dari awal belum menyatakan ikut aksi, sudah dicantum duluan. Alasan lainnya adalah metode dan pemahaman akan “langkah taktis” yg berbeda dan dirasa tidak jd pertimbangan disini. Kemudian juga atmosfer diskusi yg kurang sehat ditambah arah gerak yg mulai membelok dr apa yg BEM prioritaskan; keinginan penyintas kasus ini. Aku jg bingung dari kemarin ngechat disini ada yg masuk apa mental semua. Semoga ini pesan saya yg terakhir. Secara sederhananya: BEM narik diri. Maturnuwun kawan2. Semangat berjuang dan semoga apa yg kita perjuangkan bisa menghasilkan sesuatu yg berguna dengan cara masing-masing, tanpa mengklaim satu cara lebih baik dari lainnya. Salam�”
Beberapa hari kemudian sebelum aksi, perwakilan dari #KitaAGNI menyatakan:
“Selamat malam teman-teman. Aku disini sebagai perwakilan dari kitaAgni ingin menyampaikan terima kasih sebanyak-banyaknya untuk kerja keras teman-teman semua menggalang dukungan dan melancarkan aksi di hari wisuda nanti. Kami tahu semua usaha teman-teman ini dilandaskan atas dukungan kepada Agni.
Untuk saat ini, berkaitan dengan aksi di wisuda, kitaAgni menyatakan diri tidak ikut dulu. Mohon maaf kalau keputusan dari kami terkesan lambat dan tidak konsisten. Pengunduran diri ini kami putuskan atas pertimbangan perkembangan yang baru terjadi di dalam UGM.
Hari Senin akan diadakan diskusi dan penyikapan bersama dari Keluarga Besar UGM yang isinya mendukung tuntutan kitaAgni,dengan catatan kitaAgni tidak ikut bergabung dalam aliansi. Dukungan ini datang dari 5 kluster UGM, termasuk kluster Sains Teknik (Saintek), yang akan menjadi kekuatan penting bagi kami untuk mendorong pihak rektorat dan universitas untuk segera bertindak. Saya harap teman2 mengerti pentingnya dukungan ini di level internal.
Terlepas dari itu semua, kami sangat menghargai usaha teman-teman semua. Semoga semua rencana aksi dan perjuangan kita lancar dan berhasil mendorong perubahan di UGM dan luar UGM.”
Saya tidak akan masuk pada perdebatan persoalan mekanisme atau hal-hal yang sifatnya organisasional. Mendengar pengalaman aktivis yang sudah bertahun-tahun ketika sebuah organisasi terlibat dalam konsolidasi dan bahkan usulan-usulannya diterima tapi justru setelahnya menyatakan mundur, itu menunjukan bahwa organisasi tersebut tidak bertanggungjawab pada apa yang diperjuangkan dan terjangkiti birokratisme. Demikian juga demokrasi bukanlah ketiadaan perdebatan.
(Update saat penulisan) Pasca aksi tersebut PERS!ST Collective juga menyatakan mundur, dengan penjelasan berikut:
“PERS!ST Collective mengutamakan penyintas karena sejak awal kami dibangun bersama penyintas. Ada hal-hal yang men-triggered dan belum bisa kami sepakati. Sebagaimana sejak awal kami adalah support group penyintas, jadi kami perlu melakukan hal ini.
Untuk keterlibatan sebagai individu yang otonom tidak ada pembatasan tentu saja. Tetapi sebagai kolektif, ada konsensus bersama.
Terima kasih, teman-teman.”
——————–
Tulisan ini akan coba melihat landasan ideologi dari posisi-posisi yang diambil oleh BEM KM UGM, #KitaAGNI ataupun elit-elit Lembaga Mahasiswa (LM) UGM. Saya melihat terdapat tiga persoalan besar dalam perjuangan melawan kekerasan seksual di UGM yaitu: sektarianisme, politik identitas dan up-lifter. Posisi-posisi yang menurut saya justru memundurkan perjuangan melawan kekerasan seksual di UGM serta entah disadari atau tidak memberikan perlindungan pada pelaku kekerasan seksual dan seksisme itu sendiri.
Sektarianisme adalah sentimen yang berkembang di mahasiswa yang melihat dirinya di atas rakyat. Menurut mereka jika beraliansi dengan rakyat maka akan rusuh. Manifestasi lain dari sektarianisme adalah sentimen terhadap organisasi atau kelompok ekstra kampus. Menurut mereka, organisasi ekstra kampus akan memolitisasi kampus. Sektarianisme khususnya menjangkiti kubu mahasiswa dari aliran gerakan moral.
Sektarianisme ini terbentuk dari dua peristiwa utama. Pertama adalah kekalahan kelompok-kelompok Kanan dalam kontestasi kampus pada dekade 50an dan 60an. Sementara organisasi-organisasi mahasiswa kiri seperti CGMI, GMNI, dsb terus berkembang dengan platform ideologis dan politis seperti anti-perploncoan, anti imperialisme, pembebasan nasional serta revolusi.
Kelompok-kelompok mahasiswa kanan yang tidak mampu memenangkan pertarungan dengan adu argumen lalu menyebarkan desas-desus bahaya ateisme, bahaya komunisme, serta merindukan kebebasan dan kesetaraan (antara penindas dan yang ditindas). Kelompok mahasiswa kanan tersebut pada akhirnya bisa memenangkan adu argumentasi dengan bantuan moncong senjata militer dengan melancarkan kontra-revolusi ‘65. Organisasi-organisasi mahasiswa serta intelektual kiri dihabisi, dipenjara atau dihilangkan. Demikian juga platform ideologis dan politis di kampus.
Peristiwa utama kedua adalah penerapan Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kampus (NKK/ BKK) pasca gerakan mahasiswa 1978. Ini diterapkan Orde Baru di seluruh kampus untuk mendepolitisasi mahasiswa.
Politik identitas merupakan kelanjutan logis ekstrim dari “gerakan kiri baru” pada tahun 1960an dan 1970an, terutama berkembang dalam gerakan perempuan dan LGBT. Politik identitas digunakan untuk menggambarkan berbagai perspektif dan praktek yang semuanya menggunakan pendekatan seksional (bersekat) untuk menantang penindasan dan kesemuanya mengutamakan pengalaman subjektif. Politik identitas bisa sangat njlimet atau sesederhana mengambil kesimpulan terhadap kebenaran yang mudah diamati.
Ekspresi politik identitas berubah sesuai jamannya, saat ini yang berkembang adalah pengalaman sebagai sebuah keunggulan. Dengan begitu maka hanya mereka yang mengalami bentuk penindasan tertentu memiliki validitas yang tidak bisa dipertanyakan untuk mendefinisikan atau juga berjuang melawan penindasan tersebut.
Politik identitas tidak dapat menunjukan jalan maju dalam membangun gerakan untuk mengakhiri penindasan. Bahkan diantara berbagai organisasi yang dibangun berdasarkan atas politik identitas, tendensinya menuju fragmentasi dan disintegrasi, ketimbang perkembangan. Sering kali diantara organisasi tersebut yang dianggap musuh adalah “semua orang lain”.
Up-lifter adalah istilah yang digunakan oleh Lenin dalam karyanya “Tugas-tugas Kaum Muda Revolusioner” tahun 1903. Mereka adalah pengelompokan di dalam mahasiswa yang percaya kemajuan patuh-hukum tanpa perjuangan politik, kemajuan di bawah otokrasi. Mereka membatasi dirinya sendiri pada minat profesional sempit mereka, serta perbaikan-perbaikan cabang tertentu dari ekonomi, negara, pemerintahan atau birokrasi kampus, mereka juga dengan takut menghindari “politik” serta tidak membedakan berbagai perspektif politik yang ada. Mereka menjadi pondasi politik dari liberalisme.
Realitas yang Dihadapi
Sebelumnya serangan dilancarkan terhadap tuntutan “Pecat EH” dan kemudian “Pecat HS”, dengan tuduhan persekusi. Kami sudah menjelaskan bantahan-bantahan terhadap tuduhan tersebut.
Kini perjuangan untuk melawan kekerasan seksual di UGM coba diredam dengan mengatasnamakan penyintas maupun “Keluarga Besar UGM”. Poster yang dibuat oleh Lingkar Studi Sosialis (LSS) yang memuat foto EH dan HS diprotes oleh BEM KM UGM. Di internal #KitaAGNI terdapat mereka yang menyatakan bahwa penolakan terhadap poster tersebut adalah kemauan dari penyintas sendiri. Bahkan “KitaAGNI” ataupun mengangkat isu Agni pun mau dilarang digunakan oleh siapapun yang tidak menuruti kemauan Agni. Kami mendapatkan tuduhan sebagai kelompok yang tidak mempertimbangkan kondisi psikologis penyintas, gerakan eksternal tidak mendengarkan keinginan penyintas ataupun tuduhan bahwa kita “merasa paling tahu apa yang diperlukan penyintas”.
Argumentasi-argumentasi tersebut adalah manifestasi dari politik identitas. Kami tentunya menghargai kawan-kawan penyintas. Mengapresiasi mereka dan menjadikan inspirasi kawan-kawan penyintas yang berani melawan kekerasan seksual. Namun dalam konteks gerakan, strategi taktik, tujuan-tujuan, metode, dsb-nya tidak bisa berdasarkan atas pengalaman semata. Kita tidak berniat untuk menganggap pengalaman penyintas bukanlah hal yang penting, bukan pula berniat untuk menganggap pengalaman penyintas hanyalah satu dibanding begitu banyak penyintas lain di luar sana. Namun justru begitu banyak penindasan perempuan di luar sana menunjukkan bahwa realita seksisme begitu kompleks. Maka, penting untuk bergerak melampaui batasan pengalaman.
Pengalaman saja merupakan titik awal yang tidak memadai untuk membangun teori mengenai pergerakan melawan ataupun seksisme itu sendiri. Tidak cukup hanya peduli dengan apa yang anda alami, atau secara pasif menerima kepemimpinan dari mereka yang tidak memiliki kualifikasi lain selain berasal dari kelompok tertindas. Semua yang percaya pada pembebasan dan kesetaraan sosial wajib terlibat aktif, mempertanyakan dan menguji berbagai teori tentang masyarakat dan penindasan, serta belajar dari perjuangan yang telah menguji teori tersebut secara historis serta saat ini dan disini. Semua ini tidak bisa dicapai tanpa melampaui batasan politik identitas dan pengalaman yang sempit.
Dalam pengamatan kami, terdapat dua sisi dari politik identitas atau politik yang mendasarkan diri pada pengalaman penindasan tersebut. Di satu sisi terdapat pendamping penyintas yang mengatakan kita harus mengikuti apa kemauan dari penyintas terhadap gerakan, di sisi yang lain terdapat mereka yang menganggap bahwa untuk memajukan gerakan maka harus memajukan penyintas dahulu. Keduanya sebenarnya sama-sama meletakan nasib gerakan pada pengalaman penyintas. Ironisnya, argumentasi politik identitas yang sepertinya paling membela penyintas justru akan berujung pada konflik personal dan bahkan menyalahkan penyintas itu sendiri. Iya, memang itu konsekwensi logisnya, ketika persoalan penindasan dan perlawanan terhadapnya yang kompleks dipaksa disesuaikan dengan stereotip pengalaman individual. “Identitas selalu berakar pada “luka (injury)” dan dengan demikian maka akan selalu dibingkai sebagai permohonan pemulihan individu yang ditujukan pada negara. Ini menyiratkan sebuah politik yang secara pokok berakar pada victimhood, yang mengarah pada mengadu berbagai klaim luka satu sama lain dalam hirarki penindasan.” (https://socialistworker.org/2018/05/18/charting-a-path-in-the-identity-politics-debate)
Terdapat juga pertanyaan mengenai bagaimana cara membantu menguatkan penyintas itu sendiri? Dalam konteks ini, orang beranggapan bahwa solusi bagi penyintas adalah penguatan personal melalui pendamping-pendamping psikolog atau juga ditambah dengan pemberian obat-obatan. Sepertinya begitulah bangunan hegemoni ilmu psikologi borjuis saat ini.
Terdapat ilusi yang kuat dalam kapitalisme ini bahwa bidang personal terpisah dari bidang sosial. Ketika kapitalisme memisahkan tempat reproduksi (keluarga) dari tempat produksi (pabrik) berkembang juga anggapan bahwa ada hal yang terpisah yaitu personal seperti keluarga, pertemanan, cinta, hobi dengan sosial yaitu bidang ekonomi dimana kita bekerja memenuhi kebutuhan hidup. Peraturan yang berbeda dianggap berlaku di kedua bidang tersebut, di bidang kerja diatur oleh ekonomi kapitalisme sementara di bidang personal diatur, bukan oleh kapitalisme, oleh psikologi dan dinamika personal. Padahal kenyataannya hanya ada satu bidang yaitu kapitalisme yang kita alami secara sosial dan individual.
Kebahagiaan dan penguatan penyintas bukan didapatkan dari pendampingan dan kata-kata indah personal. Kebahagiaan dan penguatan penyintas ada pada penguatan gerakan dan perjuangan melawan seksisme, pada penguatan dan pembesaran solidaritas untuk melawan kekerasan seksual, dan tentunya pada kemenangan solidaritas dan perjuangan tersebut.
Agenda persiapan untuk memaksimalkan “Aksi Melawan Kekerasan Seksual di UGM” pada kamis (22/11) juga coba diredam. Perwakilan dari KitaAGNI mendesak agar pembagian selebaran di UGM ditahan, dengan alasan akan melakukan negosiasi dengan BEM Fakultas Teknik UGM. Dalam pertemuan dengan BEM Fakultas Teknik UGM, berbagai janji manis diberikan oleh BEM FT UGM. Mereka mengatakan mendukung perjuangan, tidak ada yang bertentangan dan akan mengkritisi institusi UGM.
Namun beberapa jam setelahnya BEM FT UGM merubah posisinya. Yaitu mengatakan keberatan mendukung gerakan kami karena ada tuntutan “DO HS”. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh salah satu elit mahasiswa BEM FT UGM. Ini kemudian tercermin dalam pernyataan sikap mereka yang tidak mencantumkan tuntutan pemecatan terhadap HS ataupun pelaku kekerasan seksual lainnya.
Kesalahan dari kita pada saat itu adalah tidak melakukan pembagian selebaran itu, mendasarkan pembangunan gerakan melawan kekerasan seksual pada negosiasi dengan elit-elit mahasiswa.
KitaAGNI sendiri kemudian berkompromi dengan penghilangan tuntutan tersebut. Mereka menyatakan mundur dari “Aksi Melawan Kekerasan Seksual di UGM”. Selain mundur dari aksi hari Kamis (22/11), BEM KM UGM dan KitaAGNI kemudian mencoba mengkandangkan persoalan kekerasan seksual ini hanya di UGM semata dengan menyelenggarakan konsolidasi “Keluarga Besar UGM”. Konsolidasi yang berisikan elit-elit mahasiswa dari lima kluster fakultas. Seperti penjelasan KitaAGNI sendiri, apa yang mereka lakukan memang merupakan upaya untuk menggembosi “Aksi Melawan Kekerasan Seksual di UGM” serta sektarianisme mereka. Salah satu syarat dari konsolidasi “Keluarga Besar UGM” itu adalah KitaAGNI tidak ikut bergabung dalam aliansi “Aksi Melawan Kekerasan Seksual di UGM”.
Dalam “Aksi Melawan Kekerasan Seksual di UGM” kami berupaya keras untuk memobilisasi semaksimal-maksimalnya. Kami menghubungi semua kontak yang kami kenal dan bahkan menanyakan kepastian mereka akan datang dalam aksi atau tidak. Kami menyadari besarnya musuh yang dihadapi yaitu sistem kapitalisme yang seksis dengan birokrat kampus yang melindunginya, sehingga dibutuhkan mobilisasi massa semaksimal-maksimalnya. Kami berkeliling ke berbagai Fakultas, seperti Psikologi, Filsafat, Ilmu Budaya, Hukum hingga Ilmu Sosial dan Politik dengan tujuan untuk mengajak para mahasiswa terlibat dalam aksi tersebut. Belum tiba di Gedung Pusat kami sudah diblokade oleh SKK dengan kehadiran polisi berpakaian sipil. Spanduk kami juga diturunkan oleh SKK. Sementara SKK juga mencari-cari mereka yang memasang spanduk di beberapa tempat.
Setelah “Aksi Melawan Kekerasan Seksual di UGM” dilancarkan, cibiran kembali muncul. Berulang kali dalam konsolidasi BEM KM UGM, KitaAGNI dengan lembaga-lembaga mahasiswa, perwakilan dari KitaAGNI menekankan bahwa yang melakukan aksi pada hari Kamis adalah orang luar UGM. Sungguh bertentangan dengan poster KitaAGNI yang keluar setelah aksi hari Kamis (22/ 11) dimana mereka mengucapkan terima kasih atas aksi yang dilancarkan.
“Mereka orang luar UGM yang sok tahu apa yang terjadi di dalam UGM”, menurut mereka. Bahkan mereka membuat seolah-olah Dinamika Strategi Anti Kekerasan Seksual (DISTRAKSI) dan LSS menyusup di aksi penggalangan tandatangan pada Kamis (8/ 11) dengan membawa poster “Pecat EH” dan “Pecat HS”. Padahal baik Distraksi dan LSS sudah berkampanye mengenai kekerasan seksual di UGM, khususnya kasus EH, sebelum muncul gerakan KitaAGNI. Tepatnya sekitar awal Oktober 2018. Mereka kemudian merencanakan akan menyelenggarakan Deklarasi Sikap Bersama yang didahului dengan diskusi serentak pada hari Senin, 26 November 2018 di Gedung Rektorat UGM. Lucunya adalah mereka membahas bagaimana dalam Deklarasi tersebut tidak melibatkan massa, bagaimana massa tidak ikutan datang ke Deklarasi tersebut.
Berkebalikan dengan konsolidasi yang kami lakukan, dimana semua kelompok dan individu tanpa terkecuali memiliki hak untuk berpendapat, konsolidasi yang mereka lakukan justru membatasi munculnya pendapat. DEMA Fisipol UGM sebagai moderator hanya menanyakan pendapat masing-masing lembaga intra kampus, itupun yang ditanyai hanya perwakilan dari masing-masing lembaga internal. DISTRAKSI sekalipun yang anggotanya juga terdapat mahasiswa UGM dan telah terlebih dahulu mengkampanyekan perlawanan terhadap kekerasan seksual tidak diberikan kesempatan.
Sektarianisme mereka memang sungguh luar biasa. Sementara keluar mereka terus menerus berkampanye untuk “Besarkan Bara Agni” bersama-sama, di dalam mereka terus menggembosi upaya pembesaran gerakan. Ketika mereka menyerukan “Konsolidasi Akbar”, LSS hadir dengan harapan dapat menyatukan kekuatan. Namun dalam “Konsolidasi Akbar” tersebut salah satu anggota LSS ditahan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dan Surat Izin Mengemudi (SIM)nya. Mereka mengatakan bahwa itu untuk jaminan jika aksi solidaritas berjalan rusuh. Mereka juga mengatakan bahwa gerakan solidaritas dari luar UGM harus menghormati mereka sebagai tuan rumah.
“Ini rumah kami, tolong hormati kami sebagai tuan rumah”, ungkap salah seorang penggerak KitaAGNI. Maksud tersebut tidak lain hanyalah berupaya agar LSS dan aliansi “Aksi Melawan Kekerasan Seksual di UGM” mengikuti taktik mereka dengan lobby-lobby bersama elit mahasiswa dan birokrat kampus.
Mereka mengatakan aksi kami “barbar”, aksi “marah-marah”, dsb. Bahkan ketika KitaAGNI gagal menyelenggarakan diskusi di Plaza BI pada hari Senin, 26 November 2018, karena dilarang oleh BIROKRAT KAMPUS justru aksi aliansi kami yang disalahkan, mengatakan aksi kami mengakibatkan backlash terhadap gerakan KitaAGNI. Sesungguhnya itu adalah serangan dari birokrat kampus yang seksis, pelindung pemerkosa dan tidak berpihak pada penyintas. Seharusnya yang dilakukan bukan mengikuti larangan mereka atau menyalahkan gerakan lainnya, tetapi melawan larangan tersebut dan melawan birokrat kampus UGM.
Mereka kemudian memaksakan dua pilihan yaitu: aliansi kami tidak boleh melakukan aksi di waktu yang sama dengan aksi KitaAGNI, dkk jika kami tetap membawa isian aksi kita. Pilihan kedua adalah, kami ikut aksi KitaAGNI tapi dengan isian sesuai dengan KitaAGNI.
Pada akhirnya dilancarkan dua aksi yang berbeda pada Kamis, 29 November 2018. Pada kesempatan ini kita kembali melihat bagaimana birokrat kampus melindungi kekerasan seksual. Rektor UGM tidak hadir dan hanya bersedia memenuhi dua tuntutan yaitu: “memberikan pernyataan publik melalui konferensi pers yang mengakui bahwa tindak pelecehan dan kekerasan seksual dalam bentuk apapun, terlebih pemerkosaan, merupakan pelanggaran berat yang tidak semestinya terjadi di lingkungan sivitas akademika UGM” dan “memberikan pernyataan publik melalui konferensi pers yang berisi permintaan maaf kepada penyintas (Agni) dan pengakuan bahwa Rektorat UGM telah terlambat, tidak transparan, dan cenderung menyalahkan penyintas (victim-blaming) dalam merespon dan menangani kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni.” selambat-lambatnya tanggal 7 Desember 2018.
Sementara kebutuhan mendesak dalam perjuangan melawan kekerasan seksual di UGM adalah: pemecatan terhadap pelaku kekerasan seksual, baik itu HS, EH ataupun yang lainnya. Tuntutan yang tidak bersedia dipenuhi oleh birokrat kampus UGM. Para birokrat kampus terus berkelit berupaya melindungi pelaku kekerasan seksual. Mereka berkelit harus menunggu keputusan dari Komisi Etik, mereka berkelit belum menyimpulkan apakah kejadian tersebut pemerkosaan atau pelecehan seksual, mereka terus menerus berkelit. Padahal sudah sejak pertengahan tahun 2017 proses penyelidikan berlangsung.
Pada saat yang bersamaan para birokrat kampus tersebut terus melakukan serangan. Dekan Fakultas Teknik UGM terus menggunakan tuduhan persekusi untuk melindungi HS. Kemudian pada awal Desember kami mengetahui dari website resmi Fakultas Teknik Sipil (tsipil.ugm.ac.id) bahwa nama HS masuk ke berita pelepasan wisuda. Beberapa waktu setelahnya nama HS hilang dari website tersebut. Kami juga mendapatkan kabar bahwa beberapa birokrat kampus UGM, khususnya di Fakultas Teknik, menyerang Agni dengan mempertanyakan dimana dukungan dari keluarga Agni? Mereka menggunakan artikel di Seword berikut ini: https://seword.com/umum/kasus-pelecehan-seksual-ugm-ayah-hs-bersuara-kemana-ayah-agni-Gq2QBypmM
Sementara para tuan dan nyonya terhormat di KitaAGNI, BEM KM UGM serta elit-elit Lembaga Mahasiswa UGM percaya bahwa perubahan bisa dicapai di bawah birokrat kampus. Dengan lobi-lobi ke birokrat kampus ataupun sesama elit Lembaga Mahasiswa, patuh pada birokrat kampus mereka percaya semua tuntutan mereka akan dipenuhi secara bertahap.
Lihat saja contoh lain, yaitu perwakilan dari BEM KM UGM menganggap bahwa tuntutan “Pecat HS” harus diganti dengan tuntutan Rektor mengakui kekerasan seksual adalah pelanggaran berat. Baginya tuntutan “Pecat HS” memiliki kekosongan hukum, dengan adanya pengakuan pelanggaran berat maka secara otomatis yang melakukan kekerasan seksual akan dikeluarkan dari UGM. Ini dikarenakan dalam peraturan UGM, segala bentuk belanggaran berat akan dikeluarkan.
Tentu saja para birokrat kampus pelindung pelaku kekerasan seksual senang menerima gerakan mereka. Karena gerakan tersebut tidak pernah mendesak para birokrat, para birokrat tersebut bisa menunggu hingga gerakan meredup, mengkonsolidasikan kekuatannya, menyelamatkan mukanya termasuk juga menyelamatkan para pelaku kekerasan seksual (setidaknya beberapa dari mereka yang menduduki posisi penting, seperti EH).
Itu kenapa KitaAGNI, BEM KM UGM ataupun elit-elit Lembaga Mahasiswa terus menerus mencoba menggrogoti “Aksi Melawan Kekerasan Seksual di UGM”. Sejatinya mereka menolak ketegasan dan keras kepalanya kami melawan seksisme dan melawan kekerasan seksual termasuk birokrasi yang melindunginya. Perlawanan besar-besaran dan tegas terhadap birokrat kampus akan menghilangkan kemungkinan untuk melakukan lobi-lobi dan kepatuhan pada birokrat kampus.
Setelah hanya mendapatkan permintaan maaf, KitaAGNI beserta BEM KM UGM dan elit-elit Lembaga Mahasiswa sepertinya menyadari kebuntuan perjuangan mereka. Namun sayangnya, bukannya mengambil kesimpulan bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah persatuan serta mobilisasi massa sebesar-besarnya mereka justru meminta aliansi kami “Aksi Melawan Kekerasan Seksual di UGM” untuk menggedor Fakultas Teknik UGM. Masih saja, tuan dan nyonya terhormat ini menggunakan cara-cara sektarian. Mereka ingin tangannya tetap bersih, tetap terhormat untuk dialog dan lobi-lobi bersama birokrat kampus sementara meminta “orang luar sok tau” melakukan pekerjaan kotor mereka.
Kekerasan Seksual dan Bagaimana Kita Seharusnya?
Sekarang kita sedikit banyak sudah melihat musuh yang kita hadapi. Sejak awal kami selalu menekankan bahwa yang kita lawan adalah sistem kapitalisme. Kapitalisme mengembangbiakan seksisme dengan mendomestifikasi serta mengobjektifikasi perempuan. Seksisme dilindung oleh institusi-institusi borjuis termasuk orang-orang yang berada di dalamnya, seksisme dipatri kedalam pikiran setiap orang. Oleh karena itu perjuangan melawan kekerasan seksual bukanlah tanpa halangan atau rintangan. Atau yang selalu diimpikan oleh KitaAGNI adalah perjuangan tanpa backlash. Apakah ada perjuangan yang berarti tanpa adanya backlash?
Kita hidup dalam masyarakat yang terbagi menjadi kelas-kelas yang bertentangan. Tentu saja kelas borjuis dan para pendukungnya akan menyerang balik perjuangan kelas buruh dan rakyat tertindas. Mereka akan berupaya memanipulasi gerakan, menipunya, mengkambing hitamkan, menyogoknya bahkan mereka juga akan memobilisasi pendukungnya untuk menyerang kita. Sejarah masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas. Tidak ada masa dimana tidak terdapat perjuangan kelas. Yang ada hanya apakah kelas buruh dan rakyat tertindas dalam posisi kalah ataukah kita sedang bergerak maju.
Namun alih-alih berupaya maju, KitaAGNI, BEM KM UGM ataupun LM UGM justru sibuk mengakomodir backlash tersebut, mendengarkan sesumbar dari luar yang secara nyata tidak memiliki keberpihakan terhadap perjuangan ini. Sibuk lobi-lobi dengan birokrat kampus serta elit-elit mahasiswa demi mendapatkan persetujuan mereka bahkan hingga menyerang mereka yang mau berjuang bersama-sama dan bergerak maju.
Persoalan sistem ini juga bukan persoalan hukum, seperti yang dianggap oleh perwakilan BEM KM UGM di rapat konsolidasi kami. Hukum merupakan bagian dari sistem kapitalisme namun sistem kapitalisme bukan hukum itu semata. Apa yang mendasari sebuah sistem masyarakat seperti kapitalisme ini bukanlah hukum ataupun regulasinya. Melainkan bagaimana manusia itu saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang menjadi dasar. Bangunan ekonomi politik tersebutlah yang menentukan bagaimana hukum atau regulasi yang ada di masyarakat. Seperti Marx katakan bahwa di belakang berbagai hukum tersembunyi kepentingan borjuis. Dalam hal ini, di balik omong kosong birokrat kampus serta para elit mahasiswa mengenai Tim Etik, pelanggaran berat, sanksi, dsb tersembunyi kepentingan melindungi seksisme, melindungi kekerasan seksual, melindungi pemerkosa.
Jadi tuan dan nyonya intelektual terhormat di BEM KM UGM, ketika kami berbicara mengenai perubahan sistem itu bukan seperti yang kalian bayangkan. Kalian membayangkan ngesot-ngesot menyembah serendah mungkin, menciumi tangan para birokrat kampus dan junjungan kalian untuk mendapatkan perubahan regulasi. Sementara kami membayangkan bergandengan tangan dengan kelas buruh dan rakyat tertindas menendang kelas borjuis, menghancurkan kapitalisme dan membangun tatanan masyarakat baru dimana kesetaraan akan berkembang dan seksisme akan dihancurkan.
Lalu apa hubungan itu semua dengan tuntutan kami “Pecat HS” dan “Pecat EH”? Beberapa orang mempertentangkan tuntutan tersebut dengan analisa bahwa yang kita hadapi adalah persoalan sistemik. Walau dengan merendahkan persoalan sistemik sekedar persoalan regulasi semata. Tuntutan “Pecat HS” dan “Pecat EH” telah menunjukan bagaimana birokrat kampus UGM terus menerus melindungi kekerasan seksual. Sudah bertahun-tahun kasus EH maupun HS, namun hingga kini birokrat kampus terus mempertahankan mereka.
Kami tidak menuntut permintaan maaf dari birokrat kampus, kenapa? Karena tuntutan tersebut sama sekali tidak ada gunanya. Tuntutan tersebut tidak mampu menyadarkan massa terhadap persoalan seksisme, juga tidak membangkitkan perlawanan massa terhadap kekerasan seksual. Tuntutan tersebut justru bisa mengilusi massa, birokrat kampus akan sepakat saja memenuhi permintaan maaf tersebut karena mereka akan terlihat seolah-olah baik hati karena mau meminta maaf.
Kita telah melihat bagaimana birokrat kampus UGM terus menerus melindungi kekerasan seksual. Kita juga melihat bagaimana birokrat kampus UGM melancarkan serangan balik lewat propaganda hitam membenarkan kekerasan seksual hingga menggunakan alat represinya, yaitu SKK ataupun melarang diskusi-diskusi. Tidak akan ada perubahan sejati dengan berharap pada birokrat kampus tersebut.
Hanya dengan persatuan kelas buruh, mahasiswa dan rakyat (di luar UGM maupun di dalam UGM) maka kemenangan bisa kita raih. Tentunya bersama dengan metode perjuangan yang radikal. Namun itu bisa dicapai ketika kita meningkatkan kesadaran massa, saat gerakan meyakinkan mereka bahwa tidak cukup hanya tanda tangan petisi namun harus memobilisasi dirinya. Ketika kita meyakinkan mereka bahwa solusinya adalah di kekuatan diri mereka sebagai satu kesatuan bukan pada birokrat kampus ataupun elit-elit mahasiswa, dengan cara meyakinkan massa bahwa tidak ada kompromi untuk kekerasan seksual dan yang melindunginya.
Semua itu tidak mungkin dicapai ketika gerakan justru mengandangkan persoalan ini hanya di UGM, ketika gerakan justru berharap pada lobi-lobi dengan birokrat kampus dan atau elit-elit mahasiswa, dan justru membangun individualisme alih-alih kolektif.
ditulis oleh Riang Karunianidi, anggota Lingkar Studi Sosialis
Comment here