Demi Kegiatan 1 Desember 2018 Di Jayapura, ULMWP sudah mengirimkan Surat Pemberitahuan tanggal 27 November 2018. Namun Polisi tidak jalankan UU No 9 Tahun 1998 dan Perkap No 8 Tahun 2009. Larangan Perayaan 1 Desember 2018, bukti Negara Indonesia melangar UU No 21 Tahun 2001, UU No 9 Tahun 1998, UU No 39 Tahun 1999, dan UU No 12 Tahun 2005.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua didasari atas ‘telah lahirnya kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) penduduk asli Papua’. Terkait penduduk asli di Provinsi Papua yang dimaksudkan adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri.
Batang tubuh UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua memberikan arahan untuk dilakukan“klarifikasi sejarah”sebagaimana termuat pada pasal 46, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Dengan mengacu pada ketentuan klarifikasi serta penghargaan terhadap hak-hak dasar maka pada tanggal 27 November 2018, Markus Haluk selaku Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Papua menerbitkan surat bernomor: 001/EK/-ULMWP/XI/2018, perihal: surat pemberitahuan yang ditujukan kepada Kepala Kepolisian Daerah Papua, Kepala Intelkam Polda Papua dalam rangka memperingati 57 Tahun Perayaan Lahirnya Embrio Bangsa dan Negara West Papua (01 Desember 1961 – 1 Desember 2018) dengan cara mengadakan Ibadah Pemulihan Bangsa Papua. Anehnya surat pemberitahuan yang diterbitkan ULMWP mengunakan prinsip-prinsip dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum itu dibalas pihak berwenang dengan menerbitkan Surat Nomor: B/88/XI/YAN.2.2/2018/DitIntelkam, Perihal: Jawaban Surat Tidak diterbitkannya STTP (Surat Tanda Terima Pemberitahuan) tertanggal 30 November 2018.
Sikap pihak kepolisian diatas secara langsung bertentangan dengan prinsip pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga Negara yang dijamin dalam dasar menimbang huruf l, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua.
Fakta tersebut secara langsung menunjukkan bahwa Negara Indonesia melalui institusi Kepolisian Republik Indonesia di wilayah hukum Polda Papua selama 17 tahun UU OTSUS diberlakukan secara sistematis dan struktural telah melakukan pelanggaran UUD 1945, UU Nomor 9 Tahun 1998, UU Nomor 39 Tahun 1999, UU nomor 12 Tahun 2005 tentang Gratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Selain itu, secara khusus pihak kepolisian secara terang-terangan melanggar Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang implementasi standar dan pokok-pokok Hak Asasi Manusia dalam tugas-tugas Kepolisian Republik Indonesia.
Comment here