Beberapa bulan belakangan ini berkembang perlawanan terhadap kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada (UGM). Bisa dikatakan pertama kali muncul pada pertengahan Agustus 2018, saat itu stiker “Tendang Pemerkosa Keluar Kampus!” ditemukan di beberapa titik di UGM. Stikertersebutditemukanterutama di toilet, di FakultasIsipol, Ilmu Budaya, Kehutanan, Geografi, Kedokteran Gigi, Pertanian, Teknik, Perpustakaan Pusat UGM, Gelanggang Mahasiswa dan kantin Fakultas Filsafat UGM.
Awal Oktober, Lingkar Studi Sosialis (LSS) bersama jaringan nasionalnya melancarkan kampanye “Pecat Dosen dan Mahasiswa Pelaku Kekerasan Seksual!” dan “Pecat Eric Hieraj (EH)!”. Kampanye tersebut dilancarkan setelah diketahui bahwa EH, dosen di UGM, yang melakukan kekerasan seksual pada tahun 2015, kembali melakukan kekerasan seksual di UGM. LSS membuka stan-stan untuk menggalang dukungan serta melakukan beberapa kali diskusi.
Kemudian pada Oktober juga terbentuk Dinamika Strategi Anti Kekerasan Seksual (Distraksi). Distraksi dibuat oleh berbagai kelompok dan individu di dalam maupun luar UGM. Distraksi kemudian melancarkan kampanye menuntut ruang aman, edukasi mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual serta pecat semua pelaku kekerasan seksual di UGM.
Awal November, Balairung menerbitkan laporan reportase berjudul “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan” dalam media online atau dalam jaringan (daring) balairungpress.com. Reportase tersebut menjadi pendorong munculnya aksi Rabu, 8 November 2018 di Taman San Siro, Fisipol UGM. Aksi tersebut mengusung tanda pagar #KitaAGNI dan #UGMDaruratKekerasanSeksual sebagai tajuk utama, dan menggalang petisi. Sebanyak 1600-an orang menuliskan namanya di kain putih, sedangkan petisi daring dapat mengumpulkan lebih dari 2000 dukungan.
#KitaAGNI menuntut UGM agar: memberikan pernyataan publik yang mengakui bahwa tindak pelecehan dan kekerasan seksual dalam bentuk apapun, terlebih pemerkosaan, merupakan pelanggaran berat; mengeluarkan sivitas akademika UGM yang menjadi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual; memberikan teguran keras bahkan sanksi bagi sivitas akademika UGM yang menyudutkan penyintas pelecehan dan kekerasan seksual; memenuhi hak-hak penyintas pelecehan dan kekerasan seksual, termasuk hak mendapatkan informasi terkini dan transparansi mengenai proses penanganankasus, sertapendampingan psikososial, layanan kesehatan, bantuan hukum dan penggantian kerugian materiil; menyediakan ruang aman bagi penyintas pelecehan dan kekerasan seksual untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya; menjunjung tinggi dan memastikan terpenuhinya perspektif dan privasi penyintas serta asas transparansi dan akuntabilitas dalam segala bentuk pemberitaan tentang kasus pelecehan dan kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada; meninjau ulang dan merevisi tata kelola dan peraturan di tingkat Departemen, Fakultas maupun Universitas yang masih memberi peluang bagi terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual; merancang dan memberlakukan peraturan yang mengikat di tingkat Departemen, Fakultas maupun Universitas tentang pencegahan, penanganan dan penindakan kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang melibatkan sivitas akademika Universitas Gadjah Mada; menyelenggarakan Pendidikan anti-pelecehan dan kekerasan seksual yang berpihak pada penyintas ketika Pelatihan Pembelajaran Sukses bagi Mahasiswa Baru (PPSMB) dan pembekalan Kuliah Kerja Nyata – Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) di tingkat Departemen, Fakultas maupun Universitas.
Perjuangan tersebut bukanlah jalanlurus dan nyaman. Sejak awal kemunculan stiker “Tendang Pemerkosa Keluar Kampus”, penentangan terus muncul. Penentangan tersebut merupakan refleksi dari seksisme yang ada. Penempelan stiker-stiker disebut vandal dan merusak fasilitas kampus. Sementara itu sejak awal LSS mengangkat isu “Pecat EH” hingga “Pecat Hardika Saputra (HS)” penentangan juga bermunculan. Tuntutan tersebut dikatakan terlalu bold atau terlalu tegas dan akan menjauhkan swing voter alias massa yang masih ragu-ragu dari mendukung gerakan melawan kekerasan seksual. Beberapa waktu belakangan ini, tuntutan tersebut dianggap merupakan persekusi terhadap pelaku kekerasan seksual.
Penentangan terhadap tuntutan yang dimajukan oleh LSS dan kelompok lain, bukan saja dari mereka di luar yang terlibat dalam gerakan melawan kekerasan seksual. Namun juga di dalam gerakan itu sendiri. Di rilis terbaru #KitaAGNI pada tanggal 11 November 2018, walau tidak secara langsung menyebutkan penentangan terhadap tuntutan LSS namun menggunakan argumentasi yang sama. Rilis tersebut menyebutkan “Akan tetapi, kami menyadari bahwa perjuangan semestinya dilakukan tanpa kekerasan baik fisik maupun verbal. Kami secara konsisten berusaha menghindari bentuk-bentuk solidaritas berujung pada perundungan dan persekusi personal (penekanan dari penulis) karena hal tersebut justru dapat menjadi “boomerang” bagi penyintas yang telah gagah berani melangkah hingga sejauh ini.”
Tulisan ini akan menjelaskan mengapa mengusung tuntutan “Pecat EH dan HS”. Hal yang perlu dilihat kembali adalah, apa tujuan dalam gerakan ini. Memang, dalam keadaan seperti ini perdebatan antar kelompok pergerakan sering sekali muncul, tak dapat terhindarkan dan merupakan hal yang wajar. Persoalan selanjutnya, apakah perjuangan dapat bernafas panjang dan sampai pada kebutuhan yang dituju.
Kapitalisme Yang Seksis
Kita hidup dalam masa kapitalisme, kapitalisme membiakan seksisme. Perempuan dikomodifikasi serta dijadikan objek, stereotip gender bahwa perempuan seolah seharusnya hanya berada di dapur, kasur dan sumur masuk ke setiap pemikiran mereka yang hidup dalam masyarakat kapitalis ini. Tidak ada yang bisa lari dari dominasi ideologi tersebut. Ini artinya dalam masyarakat kapitalis saat ini, posisi perempuan dan laki-laki tidak berada dalam posisi yang setara.
Seksisme membuat kekerasan seksual terhadap perempuan diwajarkan, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual justru disalahkan, bahkan bukan itu saja. Pelaku kekerasan seksual dengan korbannya dianggap setara dan atau sama-sama bertanggung jawab atas kekerasan seksual. Kita juga dapat melihat bagaimana pelaku kekerasan seksual itu dilindungi dan dibenarkan.
Kita dapat melihat pernyataan, seperti pernyatan Kapolri, yang mengatakan bahwa korban perkosaan ditanya apakah nyaman diperkosa. Lalu calon Hakim Agung yang mengatakanpemerkosa dan korbannya sama-sama menikmati.
Kita juga dapat melihat seksisme di institusi Pendidikan. Dalam periode 2015-2016 di Universitas Indonesia (UI) terdapat 30 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan tanpa penyelesaian. Tidak ada keadilan bagi para penyintas.
Mari kita lihat apa yang terjadi di UGM. EH melakukan kekerasan seksual pada tahun 2015 namun tetap dipertahankan di UGM. Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto mengatakan, EH cuma diberi sanksi pemberhentian mengajar sementara dan tak diizinkan membimbing skripsi. Erwan berkata “tidak bisa” memecat EH karena kewenangan itu ada pada Kementerian Ristekdikti dan Badan Kepegawaian Negara. Dia kemudian kembali melakukan kekerasan seksual. Selain itu patut diduga bahwa terdapat kasus kekerasan seksual lain yang dilakukan EH. Sementara itu HS melakukan kekerasan seksual pada pertengahan 2017 dan dia tetap dapat terus kuliah hingga hampir diwisuda pada November 2018 ini.
Pejabat Departemen Pengabdian kepada Masyarakat DPkM yang dimuat dalam “Nalar Pincang UGM atas Kasus Pemerkosaan” mengatakan bahwa penyintas juga berperan atas terjadinya kekerasan seksual. “Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi gereh (ikan asin dalam bahasa jawa) pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan,” tuturnya menganalogikan. Ambar Kusumandari selaku Kepala Subdirektorat KKN yang baru, Ambar justru membenarkan pemberian nilai C oleh DPL, setelah sebelumnya mengonfirmasi bahwa jarak pondokan HS tidak jauh dari pondokan Agni. “Kalau gitu, berarti Pak Adam tidak sepenuhnya bersalah. Seandainya kamu tidak menginap di sana kan tidak akan terjadi, tho?” begitu yang Agni ingat atas ucapan Ambar.
Dalam kekerasan seksual yang dilakukan HS saat Kuliah Kerja Nyata (KKN), UGM mengeluarkan peraturan yang justru menyalahkan perempuan. Dalam peraturan tersebut, UGM mengatakan bahwa “Mahasiswi dilarang berkunjung sendirian ke pondokan mahasiswa”, “mahasiswi dilarang berpergian malam sendirian”, “mahasiswi tidak boleh menginap di pondokan mahasiswa”, “mahasiswi mewaspadai adanya percobaan tindakan asusila/sexual harassment”.
Sementara itu Rektor UGM, Panut Mulyono, menganggap pelaku kekerasan seksual dengan penyintas setara. “Karena dua-duanya anak kami, kami ingin menyelesaikan dengan pola yang mendidik agar keduanya mendapat pelajaran tetapi tidak ada yang dihancurkan”.
Kami juga mendengar argumentasi yang mengatakan bahwa pelaku HS berasal dari keluarga tidak mampu, kasihan jika di-DO. Sungguh ironis, UGM menggunakan alasan miskin untuk membela pelaku kekerasanseksual. Namun UGM tidak pernah peduli dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terus meningkat ataupun mahasiswa-mahasiswa yang dikeluarkan karena tidak mampu membayar kuliah. Saya teringat cerita kawan saya, tentang seorang kawannya meninggal dunia. Dia bekerja dengan ikut-ikut proyek dosen, tentunya dengan upah yang tidak seberapa dan tidak ada kepastian kerja. Uangnya dihabiskan untuk membiayai kuliah S2nya sementara biaya hidupnya tidak jelas. Pola makannya tidak jelas dan kadang Cuma makan dua hari sekali. Gara-gara itulah dia kemudian meninggal dunia. Ada pula teman saya sendiri yang terpaksa harus keluar dari UGM karena kondisi keuangannya yang saat itu tidak dapat mengakomodir biaya kuliah di UGM. Ia terpaksa harus berhenti kuliah satu tahun dan memulai kuliahnya di universitas lain dari semester satu. Atau lihat saja EH yang hingga sekarang tidak dipecat dari UGM. EH adalah dosen terpandang yang memiliki banyak akses.
Beberapa waktu lalu kita dikagetkan dengan berita dipancungnya Tuti Tursilawati. Dia adalah perempuan pemberani yang melawan majikannya yang akan memperkosanya. Dalam pembelaan diri tersebut, majikannya mati. NamunTuti yang justru dihukum pancung.
Kemudian Baiq Nuril, mantan guru honorer SMAN 7 Mataram, korban pelecehan seksual secara verbal oleh kepala sekolah SMA Negeri 7 Kota Mataram justru divonis enam bulan penjara dan denda 500 juta rupiah karena melanggar UU ITE.
Sementaraitu Agni sudah berjuang sejak September 2017, namun tidak diberikan keadilan. Justru November dia diberikan nilai C. Selama perjuangannya, birokrat-birokratkampus UGM berulang kali menyalahkannya dan meminta menerima kasus kekerasan seksual tersebut.
Betapa ironisnya, semua kemudahan diberikan untuk perlindungan dan pembelaan terhadap pelaku kekerasan seksual, berbanding terbalik dengan sikap terhadap korban kekerasan seksual dan solidaritas untuknya.
Kita memperjuangkan pembebasan perempuan serta kesetaraan, termasuk kesetaraan dalam hubungan personal antar manusia. Kapitalisme mengembangbiakkan seksisme. Sehingga perempuan dianggap sebagai barang atau objek seperti “ikan asin” yang wajar dimakan oleh “kucing”. Padahal perempuan bukanlah objek seksual, dimana bagaimana cara berpakaiannya akan menunjukan bahwa dia ingin diperkosa. Demikian juga apakah perempuan berada dalam satu rumah, bahkan dalam satu kamar, bukan menunjukan bahwa dia ingin berhubungan seksual. Hubungan personal harus berdasarkan atas kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat. Namun kita juga harus mengingat baik-baik bahwa perempuan tidak dalam posisi yang setara dalam masyarakat kapitalis.
Membangun Gerakan Melawan Kekerasan Seksual
Apa kemudian tuntutan yang harus kita bawa pada saat ini? Terdapat beberapa kriteria dalam mengajukan tuntutan: apakah tuntutan tersebut menjawab situasi kongkrit, yaitu isu aktual yang muncul pada saat perjuangan ini? Apakah tuntutan tersebut memenuhi, bahkan jika sebagian, kepentingan mendesak, objektif dari massa terkait dengan persoalan yang muncul saat ini? Apakah tuntutan tersebut mampu memobilisasi massa, yaitu berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kesiapan berjuang massa? Apakah pengalaman perjuangan untuk tuntutan tersebut akan membantu massa untuk mengatasi ilusi mereka terhadap sistem kapitalis yang mengembangbiakan seksisme, termasuk di dalam institusi Pendidikan?
Tuntutan “Pecat EH”, “Pecat HS” serta “Pecat Dosen dan Mahasiswa Pelaku Kekerasan Seksual” menjawab situasi konkret yang muncul saat ini, yaitu kekerasan seksual yang mereka lakukan dan bagaimana menghentikannya. Tuntutan tersebut juga memenuhi kepentingan mendesak massa maupun penyintas. Demikian tuntutan tersebut juga mampu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Tuntutan tersebut memudahkan kita menunjukan bagaimana kapitalisme bahkan institusi pendidikan sekalipun mengembangbiakkan seksisme. Seksisme yang melindungi pelaku kekerasan seksual dan menyalahkan korban kekerasan seksual. Massa akanmelihat bagaimana birokrat UGM terus melindungi EH maupun HS.
Apakah Tuntutan Tersebut Persekusi?
Pertama, jika kita melihat definisi persekusi dalam Cambridge Dictionaryitu artinya, “unfair or cruel treatment over a long period of time because of race, religion, or political beliefs”. Dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan: “Perlakuan tidak adil atau kejam selama jangka panjang karena ras, agama, atau keyakinan-keyakinan politiknya.” Persekusi itu dilakukan oleh kelompok-kelompok fasis, bigot, rasis, dan atau reaksioner terhadap etnis minoritas, terhadap kelompok agama minoritas, terhadap kelompok komunis, dan sebagainya. Ketika tuntutan “Pecat EH”, “Pecat HS” ataupun “Pecat Dosen dan Mahasiswa Pelaku Kekerasan Seksual” disebut sebagai persekusi maka sebenarnya mereka sedang membenarkan kekerasan seksual itu sendiri, mereka sedang membenarkan pelaku kekerasan seksual.
Sebab dengan demikian mereka menyamakan pelaku kekerasan seksual dengan kelompok ras, agama atau politik tertentu yang tidak bersalah. Sementara mereka yang menentang kekerasan seksual dilihat sebagai kelompok fasis, rasis ataupun reaksioner setaraf dengan FPI, FUI, PP, ataupun ISIS.
Kedua, persekusi dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap mereka yang dikuasai. Seperti yang sudahdituliskan di atas: dalam kapitalisme yang seksis posisi perempuan tidak setara. Dalam kekerasan seksual para penyintas bukan saja mengalami kekerasan seksual namun juga disalahkan atas kekerasan seksual. Sementara para pelaku kekerasan seksual bukan saja melakukan kekerasan seksual, melainkan mereka dilindungi dan dibenarkan melakukan kekerasan seksual. Jangankan untuk mementungi pelaku kekerasan seksual, seperti yang dilakukan oleh Gulabi Gang di India, untukmengangkat isu “Pecat” saja, paduan suara pembela pemerkosa sudah demikian bising.
Ketiga, menuntut pecat EH, HS ataupun dosen dan mahasiswa lain pelaku kekerasan seksual adalah menuntut pertanggungjawaban UGM. Tidak banyak berbeda dengan tuntutan meminta pelaku kekerasan seksual di-drop out atau mengeluarkannya. Apakah artinya tuntutan-tuntutan tersebut harus dihapuskan? Ataukah konsekuensi dari menyerang tuntutan “Pecat” dan mencapnya sebagai persekusi adalah dihapuskannya tuntutan yang akan berhadap-hadapan langsung dengan birokrat UGM? Apakah itu berarti kita sekedar mengarahkan gerakan ini menjadi lobi-lobi dan negosiasi tanpa henti dan hasil dengan birokrat-birokrat kampus? Apakah konsekuensinya berarti memperbesar serangan balik terhadap perjuangan melawan kekerasan seksual?
Swing Voter: Gerakan Berprinsip atau Tanpa Prinsip?
Swing Voter atau Undecided Voter sebenarnya adalah istilah yang merujuk pada suara pemilih yang tidak berafiliasi terhadap partai politik atau kandidat tertentu dalam pemilihan umum dan mereka dilihat dapat berpindah-pindah dukungannya.
Argumentasi yang berkembang adalah tuntutan “Pecat EH”, “Pecat HS” ataupun “Pecat Dosen dan Mahasiswa Pelaku Kekerasan Seksual” adalah persekusi. ‘Persekusi’ itu akan membuat para swing voter tidak mendukung gerakan melawan kekerasan seksual. Ujungnya adalah tuntutan-tuntutan tersebut sebaiknya dihapuskan.
Pertama, kekerasan seksual adalah persoalan struktural. Kapitalisme yang seksis ini melanggengkan kekerasan seksual. Maka ketika perjuangan melawan kekerasan seksual dilancarkan, serangan balik dari mereka yang berkuasa adalah kepastian. Dalam perjuangan pembebasan perempuan gelombang pertama yang menuntut hak memilih dan dipilih untuk perempuan, misalnya. Kelas penguasa menentangnya dan bahkan memenjarakan aktivis-aktivis perempuan saat itu. Marsinah yang memperjuangkan kenaikan upah seharga sebatang rokok, dibunuh oleh Rezim Militer Soeharto. Mereka dapat juga memobilisasi massa untuk menghancurkan perjuangan atau memanipulasi perjuangan tersebut.
Kedua, sebagai akibat kepungan dan hegemoni kapitalisme serta inherennya seksisme dalam masyarakat kelas maka seksisme merasuk ke dalam pikiran setiap orang. Oleh karena itu jangan heran jika kita berhadapan dengan tanggapan-tanggapan yang seksis terhadap perjuangan melawan kekerasan seksual. Pun begitu sebenarnya berapa banyak mereka yang secara terbuka dan terangan-terangan mendukung para pemerkosa dan atau menolak pemecatan mereka dari UGM? Sepanjang pengetahuan kami, hanya seberapa gelintir saja. Ada satu mahasiswa di Fakultas Psikologi yang menolak bergabung karena menurutnya terlalu bold (tegas.ed) tuntutan tersebut, ada satu akun di Line yang meminta pelaku diperlakukan setara, ada sekitar tiga orang di aksi #KitaAGNI yang meminta LSS menurunkan poster EH dan HS, ada satu orang yang mengaku wartawan namun menakut-nakuti akan adanya serangan balik dari pelaku. Ditambah beberapa orang lagi yang selalu ingin melindungi pelaku kekerasan seksual dengan argumentasi persekusi, persekusi, dan persekusi. Sementara itu ada puluhan organisasi dan ribuan orang yang menyatakan dukungan terhadap tuntutan-tuntutan tersebut.
Ketiga, jika perjuangan ini ingin berhasil maka harus diperluas, semakin konsisten dan demokratis. Itu artinya kita harus menjelaskan dan meyakinkan ribuan orang tersebut untuk terlibat aktif. Mengajak mereka memberikan dukungan, bukan hanya tanda tangan namun juga mobilisasi aksi massa. Dengan memperkuat kesadaran mereka bahwa kita memperjuangkan para penyintas, kita juga akan maju memperjuangkan pembebasan perempuan dan oleh karena itu kita memperjuangkan penghancuran kapitalisme yang membiakkan seksisme.
Sama sekali tidak ada alasan untuk mengambil jalan kompromi dengan menghilangkan tuntutan “Pecat” tersebut. Kompromi, seperti dengan membesar-besarkan stigma persekusi justru akan memundurkan gerakan dan memperkuat seksisme beserta serangan baliknya.
Keempat, argumentasi swing voter ini mengungkap bobroknya politik Indonesia. Kebobrokan yang ingin dicopy-paste alias dijiplak ke perjuangan melawan kekerasan seksual. Kita semua dapat dengan mudah melihat bagaimana elit-elit politik bisa saling bersatu dan berpisah tanpa mempedulikan prinsip yang diperjuangkan. Tidak ada ideologi, tidak ada program bagi mereka yang paling penting adalah mendapatkan jabatan. Jokowi yang diserang dengan isu rasis justru memilih Ma’ruf Amin salah satu inisiator gerakan rasis 212 sebagai calon wakil presiden, demi menarik lebih banyak lagi suara. Bukankah seharusnya yang dilakukan adalah melawan rasisme itu? Sama halnya dengan itu, dalam kasus di UGM, hanya demi menarik swing voter itu maka gerakan melawan kekerasan seksual diminta mengamini bahwa penyintas itu sama dengan pelaku kekerasan seksual. Ini bukan hanya kapitulasi terhadap musuh tapi juga apologi atau pembelaan terhadap pelaku kekerasan seksual. Bahkan juga berarti mengamini bahwa kampus tidak harus mengambil sikap tegas terhadap pelaku kekerasan seksual.
———-
Persoalan kekerasan seksual di dalam institusi pendidikan ini juga tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa institusi pendidikan borjuis tidaklah demokratis. Ilmu pengetahuan yang diajarkan juga bukan untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kelas buruh dan rakyat. Termasuk persoalan seksisme yang dibiakan oleh kapitalisme. Perjuangan melawan kekerasan seksual juga merupakan bagian dari perjuangan kami untuk Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis dan Bervisi Kerakyatan.
———-
Dalam praktek perjuangan, kami menyerukan persatuan dan mobilisasi aksi massa seluas-luasnya semua kelompok dan individu dalam perjuangan melawan kekerasan seksual di kampus. Bahkan dengan kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dengan kami. Perdebatan ataupun pendiskusian dapat dibuka seluas-luasnya demi memajukan perjuangan ini.
Ditulis oleh Riang Karunianidi, anggota Lingkar Studi Sosialis
[…] mereka tidak dan belum bisa menjelaskan tuduhan tersebut. Sementara LSS sendiri sudah menjelaskan pandangan-pandangannya secara […]
[…] Sebelumnya serangan dilancarkan terhadap tuntutan “Pecat EH” dan kemudian “Pecat HS”, dengan tuduhan persekusi. Kami sudah menjelaskan bantahan-bantahan terhadap tuduhan tersebut. […]
[…] Sebelumnya serangan dilancarkan terhadap tuntutan “Pecat EH” dan kemudian “Pecat HS”, dengan tuduhan persekusi. Kami sudah menjelaskan bantahan-bantahan terhadap tuduhan tersebut. […]