Opini Pembaca

30 Nyawa Melayang Akibat Tambang, Itu Bukan Takdir

Metode open pit mining bisa saja telah dipelajari Alif  Al Faruchi (biasa disapa Alif) di SMK Geologi Pertambangan Tenggarong. Metode tambang terbuka dengan hasil membentuk cekungan berupa kolam ini, bukan saja menjadi impian tempat Alif bekerja nanti. Tapi, turut menjadi kolam yang menenggelamkan dirinya. Di tahun 2015 silam, hal yang sama terjadi pada Muliadi, siswa asal sekolah   yang sama dengan Alif, juga meregang nyawa di kolam tambang.

Siang itu (21/10), Alif dan kawan-kawannya pergi memancing ke kolam bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja oleh PT. Trias Patriot Sejahtera. Tak kunjung mendapatkan ikan, Alif beserta kawan-kawannya memutuskan berenang ke tengah kolam. Keputusan itu membuat alif harus meninggalkan mimpi-mimpi untuk bisa bekerja di pertambangan. Ironisnya, Alif meninggal dunia di tempat yang dia impikan.

Keputusan Alif adalah rangkaian bagaimana bumi Kalimantan Timur berubah menjadi kolam-kolam beracun dan mematikan. Ini bukan semata-mata takdir seperti yang disampaikan Gubernur Kaltim yang baru dilantik sebulan lalu, Isran Noor. Sebagaimana rekaman wawancara yang dipublikasi oleh S-TV, saat ditanya tanggapan tentang korban yang berjatuhan akibat lubang bekas tambang, Isran Noor, tanpa rasa bersalah mengatakan, “itu sudah nasibnya”.

Sementara itu, dalam sebuah gambar yang dipublikasi melalui instagram @kabarsamarinda, Hadi Mulyadi (wakil gubernur Kaltim) merencanakan Peraturan Daerah (Perda) yang melarang keberadaan LGBT di Kaltim. Alasan perencanaan penetapan Perda tersebut, karena Hadi Mulyadi menganggap LGBT sebagai sumber bencana.

Ketika ada anak yang tenggelam di bekas lubang tambang, mereka menyebutnya sebagai takdir. Sementara ketika terjadi banjir, kerusakan lingkungan, pencemaran udara, mereka akan bilang, itu karena LGBT. Sungguh pasangan yang sesuai. Jika Gubernur kehilangan kemanusiaannya, Wakil Gubernur kehilangan akalnya. Bisa kita bayangkan bagaimana jika rakyat masih mempercayakan kesejahteraannya pada dua “ekor” manusia tersebut.

Perlu diketahui  Kalimantan Timur adalah salah satu dari Provinsi  penghasil utama Batubara. Terdapat 1404, Izin Usaha Pertambangan (IUP)  dikeluarkan oleh pemerintah daerah, provinsi dan kab/kota. Akibatnya, 4.464 bekas lubang tambang hingga kini dibiarkan terbuka (dengan asumsi, setiap IUP, meninggikan tiga lubang tambang). Khusus di Samarinda, ada 232 lubang yang ditinggalkan begitu saja.

Lubang tambang akan terus merenggut nyawa jika krisis ini tak segera dituntaskan. Kita sudah tidak boleh lagi terjebak dan mempercayakan penyelesaian krisis lingkungan ini kepada pemerintah. Pergantian kepala daerah hingga pengisi kursi dewan, adalah salah satu ilusi terbesar yang membelenggu nalar rakyat hari ini. Padahal, mulai dari rekam jejak, isi kampanye hingga program kerja sama sekali tak mencerminkan kepentingan rakyat.

Satu hal yang penting untuk ditekankan bahwa, nyawa manusia yang hilang tersebut, adalah hasil dari produk kebijakan politik. Kebijakan itu lahir dari apa yang kita sebut dengan Pemilu, pesta demokrasi para elit politik setiap 5 tahunan.

Pemilu hanyalah ajang bagi pengusaha-pengusaha untuk mendapatkan garansi bisnis mereka agar tetap lancar. Atas garansi itulah modal-modal kampanye politisi ini didapatkan.  Inilah alasan kenapa sejak awal sebelum Pemilu dilaksanakan,  bahwa tak ada jalan lain, jika bukan rakyat sendiri yang memimpin, tak akan ada perubahan.

Perjuangan Lingkungan Bersamaan dengan Pembebasan Manusia

Pengembangan industri pertambangan selalu dikaitkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bermakna peningkatan konsumsi dan produksi komoditas industri tanpa pertimbangan masa depan. Akibat logika semacam inilah alam tak lagi mampu menopang kehidupan manusia di masa yang akan datang. Demi mengembalikan kondisi alam seperti semula, pertumbuhan ekonomi harus berada di titik nol persen, atau dikenal sebagai zero growth. Kapitalisme dengan watak akumulatif dan eksploitatif tidak akan mampu memberikan dampak baik terhadap persoalan alam di bumi ini.

Korbannya adalah kelas buruh dan rakyat tertindas lainnya yang semakin terhisap ditambah harus hidup di wilayah yang tercemar udaranya lewat asap hasil pembakaran batubara,  saat hujan turun, dengan sekejap banjir mengikuti. Sementara para  pemilik modal, CEO atau pemegang saham, hingga kaki tangannya (baca: para politisi), memilih membangun rumah di lokasi yang jauh dari polusi dan banjir. Inilah ironi yang nyata kita hadapi.

Perjuangan lingkungan harus bagian dari perjuangan penumbangan sistem kapitalisme, bukan perjuangan yang merasa tak ada kaitannya dengan sistem ekonomi politik.  Alih-alih perjuangan itu malah membentengi kapitalisme. Melakukan reorganisasi secara radikal terhadap cara produksi kapitalisme. Itulah satu-satunya jalan penyelamatan lingkungan yang berkesinambungan. Jelas sudah segala fakta yang ada disekeliling kita. Memilih jalan tengah melalui konsep good will dengan maksud agar terjadi keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan biaya lingkungan yang masih bisa ditanggung, adalah omong kosong.  Kerusakan alam merupakan konsekuensi mutlak atas sistem modal yang tak memikirkan kemanusiaan dan kelestarian alam. Ingat, daya pendorong utama kapitalisme adalah keuntungan. Apapun yang tak menguntungkan: rehabilitasi lahan kritis, tak akan pernah terselesaikan.

Harapan satu-satunya kini ada di tangan rakyat pekerja, yang bersatu dan berjuang untuk berkuasa. Pemilik perusahaan dan elit-elit politik adalah penyebab dari kerusakan lingkungan, serta membuat jutaan manusia mati sia-sia di atas reruntuhan tanah longsor, timbunan kayu dari banjir bandang, kelaparan, sakit, badai akibat perubahan iklim, dan lainnya. Kuasa rakyat adalah keharusan bagi kehidupan yang adil dan sejahtera.

ditulis oleh Kuggy Kayla, kader KPO PRP, dan Musa Talutama, anggota Lingkar Studi Kerakyatan.

Loading

Comment here