September 2018 ini para elit politik kembali menggunakan isu anti-komunisme dan film “Penumpasan Pengkhianatan G-30S/PKI” sebagai komoditas politik menuju Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Partai Berkarya—pimpinan Tommy Soeharto, menggelar nonton bareng (nobar) film G-30S/PKI. Rizieq Shihab dengan FPI juga menyerukan pemutaran serentak film G-30S/PKI. Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI, juga sempat menantang KASAD untuk memerintahkan nobar film G-30S/PKI serentak di semua wilayah. Entah karena takut beda dan dituduh alias dicap komunis atau memang sama-sama meneruskan warisan Orde Baru (Orba), kubu Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin lalu menyusul mengadakan Nobar film G-30S/PKI. Dedi Mulyadi, Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi-Amin di Jawa Barat (Jabar) merencanakan nobar di Kantor Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golongan Karya (Golkar) Jabar tanggal 29 dan 30 September.
Padahal film G-30S/PKI itu sendiri bertentangan dengan sejarah. Tidak ada penyiksaan korban penculikan. Tidak ada mutilasi alat kelamin para jenderal. Apalagi, juga tidak ada tindak tari telanjang oleh anggota Gerwani. Hasil visum dokter membantah hal itu. Sehingga Film G-30S/PKI tidak lebih dari pemalsuan sejarah dan salah satu bagian dari sekian banyak hoax sekaligus ujaran kebencian untuk pembenaran kekuasaan Orba. Dengan melarang penerbitan media massa dan memonopoli wacana lewat Berita Yudha, hoax 65 disebarluaskan. Amuk massa sengaja diciptakan dan merajalela. Banyak rakyat jelata yang tidak bersalah dipersekusi atau diperlakukan sewenang-wenang. Banyak aktivis buruh, petani, dan pelajar diculik, dipenjarakan, diasingkan, bahkan dieksekusi secara tidak adil. Para aktivis perempuan banyak yang dipersekusi, dipenjarakan, disiksa, diasingkan, bahkan juga dikenai kejahatan seksual. Terdapat pula kasus-kasus perbudakan seksual secara sporadis. Banyak sarjana yang sebelumnya membaktikan diri ikut memberantas buta huruf dan membantu kesehatan rakyat, turut dianiaya dan dijagal. Sedangkan para mahasiswi dan mahasiswa yang berkuliah di luar negeri tidak boleh kembali bila tidak menyatakan diri mendukung Orba dan Harto. Orang-orang Tionghoa juga dijadikan korban pogrom alias perburuan rasis. Dituduh antek RRT dan harta bendanya dihancurkan serta atau dijarah. Diiringi dengan genosida pula. Perjuangan kebangsaan dan kerakyatan Indonesia diluluhlantakkan sejak itu di atas genangan pelanggaran HAM besar-besaran, bahkan terbesar setelah Holocaust di Eropa.
Kami tidak mau kembali dibodohi dan diadudomba dengan isu rekayasa anti-komunisme serta hoax 65 yang sekadar alat bagi elit politik untuk saling berebut kekuasaan. Kami tidak mau Peristiwa 65 dengan pelanggaran HAM berat serta genosidanya terulang kembali.
Oleh karena itu kami, Komite Aksi Kamisan Malang menuntut:
- Hentikan Hoax 65. Jangan sebarkan pembodohan yang memalsukan sejarah dan penuh dengan ujaran kebencian anti-rakyat.
- Luruskan sejarah yang dibengkokkan oleh tirani.
- Tuntaskan seluruh kasus pelanggaran HAM 65 serta rehabilitasi dan tegakkan keadilan bagi seluruh penyintas dan korban pelanggaran HAM 65.
- Berikan jaminan demokrasi dan penegakan HAM bagi seluruh rakyat.
Comment here