Pernyataan Sikap

Pernyataan Sikap Gerakan Rakyat Demokratik-Papua

Nomor: B1/KPP/B1/VII/2018

Tutup Freeport, Lawan Militerisme, Pasar Modern Bagi Orang Papua
Viva Demokrasi! Hidup Rakyat Papua! Bersatu Untuk Pembebasan Nasional!

1. Tutup Freeport

Pada 12 Juli 2018 lalu, Freeport dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) bersepakat bahwa 51 persen saham Freeport akan dibeli oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui PT. Inalum. Kesepakatan ini terjadi setelah 51 tahun (1967-2018) perusahaan tambang raksasa itu menancapkan cakar-cakarya di bumi Amungsa. Tentu, dari sudut pandang mereka, ini sebuah prestasi kerjasama.
Ini sungguh tidak manusiawi, tidak adil dan biadap. Sebab selama 51 tahun itu juga emas, tembaga, uranium milik orang Papua dijarah lalu dibagi-bagi untuk memperkaya diri mereka. Sementara orang Amungme, Kamoro, dan Papua pada umumnya tidak pernah dilibatkan dalam setiap kontrak karya dan negosiasi apapun. Justru mayoritas orang Papua dibiarkan tetap miskin dan tertindas, dibiarkan mengais rejeki di areal pembuangan tailing/limbah.
Freeport adalah wujud nyata Imperialisme dan kapitalisme di tanah Papua. Freeport adalah pintu masuk bagi militer dan segala bentuk pelanggaran HAM di Papua. Demi Freeport, TNI-Polri telah menangkap, menyiksa, dan membunuh banyak manusia Papua. Freeport telah merusak sendi kehidupan suku Amungme dan Kamoro. Freeport telah menguasai kekayaan agraria suku Amungme dan rakyat Papua dengan sewenang-wenang. Freeport telah merusak lingkungan alam di wilayah adat suku Amungme dan Kamoro. Freeport juga telah menelantarkan sekitar 8000 buruhnya yang sebagian besar orang Papua. PT Freeport adalah akar masalah rakyat Papua. Freeport adalah gerbang kesengsaraan bagi rakyat Papua. Oleh karenanya maka gerbang itu harus ditutup!

2. Stop Militerisme

Stop militerisme harus terus disuarakan oleh seluruh rakyat Papua. Konsentrasi tentara dan polisi dalam jumlah berlebihan, juga segala pendekatan yang militeristik harus selalu ditolak dari tanah Papua. Pasukan organik dalam bentuk komando teritorial (koter) dan pasukan non organik harus terus ditolak karena kehadiran mereka justru memberi rasa tidak aman. Mempertahankan Koter sama artinya meletakan bom waktu bagi demokrasi. Jangan lupa, tentara dan polisi adalah pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap manusia Papua. Ingat, budaya kekarasan dan premanisme adalah budaya negatif dan merupakan budaya tentara dan polisi karena itu harus dibersihkan dari bumi Papua. Banyak bukti menunjukan bahwa kehadiran tentara dan polisi di tanah Papua lebih karena kepentingan memberi jaminan bagi operasionalisasi modal.

3. Pasar Khusus Bagi Orang Asli Papua di Seluruh Tanah Papua

Di setiap kabupaten/kota di seluruh tanah Papua tentu kita dapat lihat dan rasakan bagaimana pedagang orang asli Papua berjualan di atas tanah, tanpa atap, dan tanpa modal. Sebagian besar dari mereka adalah ibu rumah tangga dari keluarga-keluarga orang Papua di perkotaan yang kondisi ekonomi rumah tangganya sangat minim. Mereka mengambil peran sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, membantu suami-suami mereka mencari nafkah guna menghidupi keluarga mereka. Mereka adalah pedagang kecil yang tidak mendapat keadilan. Merekalah wujud ketidakadilan sosial di ujung hidung para elit modal dan pemerintahan, namun tetap tanpa perhatian serius.
Pasar modern yang khusus bagi orang Papua adalah wujud keadilan sosial. Sekaligus sebagai cara memfasilitasi orang Papua untuk berlatih menjadi pelaku ekonomi yang handal, sehingga kelak mereka mampu bertransformasi menjadi tulang punggung ekonomi Papua.

Hanya satu kata:
Bongkar Hollandia 26.08.2018

Loading

Comment here