Malang (29/8/2018), nonton bareng dan diskusi film “Tanah Mama Papua” yang rencananya diselenggarakan jam 18.00 oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota (KK) Malang diberhentikan akibat intimidasi aparat Indonesia. Insiden ini membuktikan hak-hak demokratis dan kebebasan berkumpul serta berpendapat para pelajar Papua masih terus diberangus negara Indonesia.
Sore sebelumnya jam 16.30, beberapa orang dari pihak RT, Intel, dan Kepolisian Lowokwaru bergerombol menghampiri kontrakan putri Wamena di Landungsari—tempat rencana diadakannya nobar. Para pejabat dan aparat itu masuk tanpa izin maupun salam, dan serta-merta memerintahkan mematikan TV. Enam orang pejabat dan aparat itu juga memaksa pintu-pintu kamar dibuka lalu menggeledah. Tiga orang intel kemudian naik ke lantai dua serta melakukan pemfotoan dan pemeriksaan secara paksa. Itu semua dilakukan tanpa surat perizinan maupun surat tugas. Para pemudi Papua penghuni kontrakan yang kaget dengan ulah demikian, sontak menggugat para pejabat dan aparat itu.
“Kenapa harus menggeledah? Bapak dari mana? Kenapa harus datang banyak orang? Kenapa harus difoto?” adalah berbagai pertanyaan yang dilontarkan kaum muda Papua disana dalam insiden itu. Sehingga pada jam 17.40 mereka menelepon Badan Pengurus Harian (BPH) Koordinator Wilayah (Korwil) Jayawijaya Wamena Malang.
Mendengar insiden itu, BPH bersama beberapa pelajar senior mendatangi kontrakan putri Wamena Malang pada jam 17.55. Namun begitu mengetahui kedatangan BPH, enam intel dan aparat langsung berhamburan keluar dari dalam rumah kontrakan lalu kabur. Tinggal Ketua RT/RW dan dua intel yang mengklaim sebagai staf Kelurahan Tlogomas. Keduanya ditahan dari meninggalkan tempat sampai menjelaskan alasan tindakan demikian. Kepada BPH, keduanya berdalih melakukan pendataan penduduk. Tapi dalih ini tidak masuk akal karena bukan hanya menyalahi prosedur, tidak dilengkapi dokumen-dokumen resmi, tapi juga melanggar norma-norma karena tindakan di lapangan menunjukkan pemaksaan sekaligus intimidasi. BPH juga mempertanyakan bilamana itu adalah aktivitas pendataan warga maka mengapa berpakaian preman. Dalih ini semakin ganjil pula karena pendataan warga seharusnya dilakukan berurutan rumah ke rumah pada semua hunian, tapi sore itu hanya kontrakan putri Wamena saja yang disasar. Ketua RT tidak bisa memberikan jawaban berarti maupun menunjukkan dokumen resmi. Sehingga BPH menuntut keduanya agar menunjukkan kartu identitas. Orang yang mengaku Ketua RT menunjukkan KTP sebagai warga Tlogomas namun tidak punya identitas maupun dokumen yang menunjukkan jabatannya sebagai Ketua RT. Sedangkan sang intel berkelit tidak membawa penunjuk identitas.
Menanggapi itu BPH meminta Ketua RT agar melakukan klarifikasi serta membuat surat permohonan maaf kepada para penghuni kontrakan dan ke organisasi. Sebab tindakan para pejabat dan aparat itu bukan hanya melanggar norma kesopanan namun juga tidak ubahnya seperti pencuri. Beberapa menit kemudian pada jam 18.20 para pejabat dan aparat itu meninggalkan kontrakan para pelajar Papua. Nobar Tanah Mama dihentikan namun diskusi tetap dilanjutkan kaum muda Papua di sana.
Sebelum insiden ini, pada 28 Agustus 2018, ada gerombolan berkostum Arema berdemonstrasi di depan Balai Kota menolak AMP. Mereka yang mengatasnamakan Solidaritas Arek Malang untuk NKRI (SAM-NKRI) itu bukan hanya menuduh AMP sebagai separatis. Namun juga menyamakannya dengan radikalisme dan terorisme serta meminta aparat menindak tegas. Bahkan dalam salah satu posternya mereka menuntut bubarkan dan proses hukum tokoh-tokoh AMP di Malang Raya. Mereka berdalih menghargai dan mencintai para pelajar Papua di Malang yang setia kepada NKRI padahal dalam kasus-kasus intimidasi dan persekusi sebelumnya terdapat rasisme anti-kulit hitam yang disebarkan. (lk)
Comment here